Rantai pasok global merasakan tekanan yang sangat tinggi selama setahun terakhir. Bertambahnya jumlah barang yang dikirim berarti tumpukan kontainer yang membawanya pun semakin tinggi. Alhasil, semakin banyak pula kargo yang terjatuh ke laut. Hanya dalam dua bulan, kontainer yang hilang dua kali lipat lebih banyak dari rata-rata tahunan. Majalah American Shipper mengungkapkan, ada lebih dari 2.675 kontainer—berisi furnitur, alat kebugaran, dan barang elektronik—yang hanyut dalam lima insiden sepanjang 30 November 2020 hingga 30 Januari 2021.
Cuaca buruk, lonjakan permintaan terkait pandemi, dan ukuran kapal yang semakin besar membuat perjalanan semakin berbahaya. Insiden Terusan Suez yang macet awal tahun ini diyakini disebabkan oleh ukuran Ever Given yang sangat besar dan banyaknya kontainer yang diangkut. Selain kerugian secara finansial, kontainer yang hilang dapat mencemari lingkungan. Plastik bisa bertahan hingga ratusan atau bahkan ribuan tahun di laut, lalu terpecah menjadi partikel-partikel kecil yang akan menyebabkan kerusakan pada ekosistem laut.
World Shipping Council (WSC) melaporkan pada 2020, jumlah kontainer yang hilang setiap tahun menurun. WSC memperkirakan dari 226 juta kontainer yang diangkut setiap tahunnya, tak sampai seperseribu dari satu persen yang hilang. Walaupun begitu, kabar ini tetap saja tidak bagus untuk lingkungan.
Diperkirakan 90 persen barang yang diperdagangkan diangkut oleh kapal kargo, dan akan terus meningkat selama puluhan tahun. Ukuran kapal lama-lama akan semakin membesar untuk menampung semuanya. Pasti akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk membersihkan satu kontainer yang jatuh.
Dalam studi terbaru yang terbit di jurnal Environmental Pollution, peneliti menggunakan media sosial dan pemodelan oseanografi untuk melacak sekitar 1.500 kartrid tinta yang jatuh di Samudra Atlantik utara pada 2014. Barangnya jatuh di New York, tapi terseret sampai ke pantai-pantai Florida dan Norwegia.
“Tumpahan kargo tidak sering terjadi, tapi perkiraan menunjukkan ada ribuan kontainer yang hanyut di laut setiap tahun,” ujar penulis utama Andrew Turner dalam siaran pers. “Ini bisa menyebabkan kerusakan pada dasar laut, tapi—seperti yang ditunjukkan dalam studi—akan menimbulkan dampak yang lebih luas begitu pecah.”
Tim gabungan dari Universitas Plymouth di Inggris dan Lost at Sea Project juga menganalisis kartrid yang hilang. Mereka melihat kartrid tersebut telah mengalami pelapukan yang signifikan, serta melepaskan mikroplastik dan chip elektronik ke laut.
“Kartrid ini diklasifikasikan sebagai limbah elektronik karena memiliki tag elektronik. Sebenarnya ada peraturan ketat terkait pengangkutan dan pembuangannya, tapi tak ada satu pun yang mengatur kehilangan limbah elektronik dari kontainer,” bunyi email Turner.
Di awal pandemi, pakar menduga perdagangan global akan mengalami penurunan drastis. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjelaskan, peningkatan e-commerce dan maraknya praktik WFH mendorong lonjakan permintaan untuk produk manufaktur, yang banyak di antaranya diangkut oleh kapal kargo.
Kapal-kapal besar di perairan berombak bukanlah kombinasi yang tepat, tapi terpaksa dikerahkan guna memenuhi permintaan konsumen yang meningkat selama pandemi. Jonathan Ranger selaku kepala kelautan Asia Pasifik di perusahaan asuransi American International Group Inc. memberi tahu Bloomberg, kapten memiliki opsi untuk menghindari perairan berbahaya saat badai. Jalankan secepat mungkin, tapi “jangan mengitari badai. Lewati saja,” katanya.
Kenaikan permintaan diperparah oleh angin musim dingin yang ekstrem di Pasifik Utara. Dua dari lima kecelakaan besar terjadi di sana, dan sebagian besar kargonya hilang. Kepala ahli meteorologi The Weather Company, Todd Crawford, mengatakan bahwa menurut hasil analisis dari data cuaca tahun 1948 hingga sekarang, ini merupakan angin terkuat kedua yang pernah dicatat.
Angin kencang di Pasifik Utara biasanya dikaitkan dengan musim dingin El Niño, tapi Crawford mengutarakan sekarang adalah musim dingin La Niña. Perubahan pola La Niña dan El Niño merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang telah diproyeksikan, tapi angin kencang tahun ini belum dikaitkan dengan pola cuaca tertentu.
Crawford mengatakan, ilmuwan masih menginvestigasi penyebab musim dingin berangin ini: bagaimana suhu laut yang menghangat mengubah La Niña dan El Niño, dan bagaimana pencairan es Arktik mengubah aliran jet. Terlepas dari penyebabnya, perubahan pola cuaca dapat memengaruhi masa depan perjalanan kapal kargo.
“Butuh waktu yang lama untuk memahami perubahan pola cuaca ini,” simpul Crawford.