Himpitan ekonomi memaksa Abdul Rahim (49), warga Pinrang, Sulawesi Selatan, menawarkan tubuhnya untuk menerima 17 suntikan dosis vaksin, jatah milik 15 orang. Pengakuannya sebagai joki vaksin dalam sebuah video yang viral di media sosial membuat Polres Pinrang bergerak dan meminta penjelasan pelaku bersama 18 orang saksi, termasuk para vaksinator. Sempat disangka orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), pada Rabu (29/12) kemarin Abdul resmi ditetapkan polisi sebagai tersangka.
Abdul dianggap cukup terbukti memanfaatkan ketakutan orang lain untuk mengeruk keuntungan dengan mahar Rp100-800 ribu. Ia dijerat UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular Pasal 14 mengenai manipulasi pengadaan dan pelaksanaan vaksin. Ancaman pidana satu tahun penjara dengan denda maksimal Rp1 juta menantinya. Sementara, 15 orang pengguna jasanya masih berstatus saksi sampai berita ini ditulis. Eng ing eng.
“Yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara joki vaksin. Sementara pengguna jasa akan didiskusikan dulu dengan pihak Kejaksaan Negeri Pinrang.” kata Kasat Reskrim Polres Pinrang AKP Deki Marizaldi, dilansir CNN Indonesia.
“Kita sudah periksa petugas vaksinator baik di PKM PKM Mattiro Bulu dan PKM Salo, sementara masih ada 5 saksi lagi dari koordinator vaksinator dan titik-titik lainnya. Kita sudah berkoordinasi dengan Satgas dan Dinkes untuk saksi ahlinya guna mengungkap fakta terkait dampak dari tindakan Abdul Rahim,” tambah Deki.
Kepada penyidik, Abdul mengaku pangsa pasarnya adalah para tetangga dekat yang takut jarum suntik. Puskesmas, rumah sakit, dan lokasi vaksinasi massal jadi tempatnya beraksi menawarkan jasa, kebanyakan hasil promosi dari mulut ke mulut. Saat penyidikan, para vaksinator menyebut pihaknya tak bisa menghafal setiap orang yang divaksin karena jumlahnya ribuan dan mereka semua memakai masker.
Pertanyaan besar netizen: apa dampak begitu banyak dosis vaksin tersebut ke tubuh Abdul? Apakah ini akan jadi awal kemunculan mutan?
Turunkan ekspektasi kalian. Kepada awak media, Abdul menyebut hanya merasakan efek lemas. “Seandainya saya tidak ketahuan, mungkin saya masih menggantikan pasien untuk suntik vaksin. Seandainya kalau saya muntah-muntah atau sakit jantung atau apa yang parah, mungkin saya akan berhenti saat itu juga. Tapi, selama ini tidak ada gejala yang parah, paling saya cuma merasa pusing dan sedikit lemas, tapi tidurnya enak,” beber Abdul di Mapolres Pinrang, Rabu (22/12) silam, dilansir Detik.
Menanggapi kasus, epidemiolog Griffith University Dicky Budiman menyayangkan praktek joki bisa terjadi, sebab menempatkan kesehatan masyarakat dalam kondisi berbahaya. “Karena nanti ada orang dianggap memiliki status vaksinasi penuh, padahal sebetulnya tidak, dan mereka bisa jalan ke mana-mana. Orang yang tak divaksinasi penuh jauh lebih berisiko terinfeksi maupun menularkan. Apalagi, orang yang enggak mau divaksinasi cenderung abai jaga jarak dan pakai masker,” kata Dicky saat dihubungi VICE.
Perkara hukuman, Dicky mempercayakan sepenuhnya kepada penegak. Namun, masalah ini harus dikelola pemerintah secara efektif untuk kepentingan kesehatan masyarakat. “Pertama, memperlihatkan bahwa vaksin tidak berbahaya, tidak membuat keracunan atau mengubah seseorang menjadi magnet. Kedua, kasus dijadikan bahan literasi. [Pemerintah] mencari tahu mengapa mereka [pengguna jasa] enggak mau [divaksinasi] dan hasilnya dipaparkan kepada publik,” tutup Dicky.