Melalui video TikTok, pasukan keamanan Myanmar mengancam akan menghabisi para pengunjuk rasa yang menolak pengambilalihan kekuasaan sepihak oleh militer. Mereka memasang ekspresi menakutkan, lalu membidik senapan otomatis ke arah kamera.
Sedikitnya 30 orang tewas sejak ditangkapnya Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Sebagian besar kasus kematian terjadi selama lima hari terakhir. Selain kekerasan yang dilakukan aparat di jalanan, pemantau hak digital dan jurnalis menemukan berbagai video ancaman yang melibatkan tentara Myanmar di TikTok.
Dalam video yang telah dihapus, dua lelaki berseragam tentara tampak membidik senapan sambil berseru: “Apa yang akan kamu lakukan jika ‘pantatmu gatal’? Kami akan menembakmu.” Istilah “pantat gatal” atau “ass is itchy” dalam bahasa Burma berarti seseorang melakukan apa yang seharusnya tidak mereka lakukan. VICE World News tidak dapat memverifikasi identitas mereka.
Sementara itu, video lain mempertontonkan lelaki yang memperingatkan penonton untuk “berdemo secara damai” jika tidak ingin menanggung akibatnya. Pengguna TikTok itu tampaknya seorang tentara.
“Kami harus menembak ini. Tidak pakai peluru karet. Lihat ini… peluru sungguhan,” katanya sembari menarik magasin yang terisi penuh.
Pekan ini, aktivis hak digital Htaike Htaike Aung mengungkapkan lewat Twitter, ada ratusan video serupa yang ditemukan di platform tersebut. Dia mendesak TikTok untuk segera menghapus video yang mempromosikan kekerasan.
John Quinley, peneliti Fortify Rights di Myanmar, menegaskan kepada VICE World News, TikTok seharusnya “tidak memperbolehkan segala bentuk hasutan untuk melakukan kekerasan di platformnya.” Menurutnya, TikTok harus segera menghapus konten semacam itu.
Banyak aktivis di Twitter yang meminta TikTok untuk menghapus video-video tersebut karena menyebarkan ujaran kebencian. Tuntutan itu memiliki kemiripan dengan tuntutan yang sebelumnya ditujukan ke Facebook, di mana kegagalannya mengendalikan ujaran kebencian meluas jadi pembantaian Muslim Rohingya pada 2017.
Facebook telah menghapus semua akun militer dari platformnya sejak kudeta, setelah sebelumnya memblokir panglima tertinggi Min Aung Hlaing pada 2018. Sang jenderal, yang terlibat langsung dalam penindasan etnis minoritas di Myanmar, kini menjabat sebagai kepala Dewan Administrasi Negara — nama baru junta militer — usai menggulingkan Suu Kyi.
Jumlah pengguna TikTok di Myanmar meningkat drastis selama pandemi corona, tapi kebijakan Facebook yang ketat kemungkinan menjadi alasan kenapa tentara beralih ke platform berbagi video itu.
Dalam pernyataan yang diterima VICE World News, TikTok mengaku “berkomitmen memberi rasa aman” bagi pengguna platform. Namun, mereka tidak mengomentari video yang menampilkan pasukan keamanan Myanmar.
“Pedoman Komunitas kami dengan jelas menyatakan TikTok tidak mengizinkan konten yang menghasut kekerasan dan menyebarkan informasi salah yang merugikan individu, komunitas atau masyarakat luas. TikTok akan terus mengikuti prinsip-prinsip ini secara global,” begitu isi pernyataannya.