Kentut sering dikaitkan dengan perasaan jorok dan jijik, sehingga dianggap aib besar bagi kebanyakan orang. Rasanya malu bukan kepalang saat kita kelepasan buang angin di tempat umum, apalagi jika suaranya menggelegar dan mengeluarkan bau tak sedap.
Flatulensi juga dapat menyebabkan masalah. Pada 2018, pesawat yang terbang dari Dubai ke Amsterdam terpaksa mendarat di Vienna gara-gara penumpang kentut terus. Juni lalu, seorang lelaki di Austria harus berurusan dengan aparat karena dia “kentut sepenuh hati” di hadapan mereka.
Lalu ada pula yang menjadikan kentut sebagai lelucon. Tak jarang orang sengaja buang angin di dekat sahabat atau keluarga untuk menjahili mereka.
Padahal, kentut bagus untuk kesehatan tubuh. Studi yang dilaksanakan peneliti Universitas Exeter pada 2014 menemukan, hidrogen sulfida — senyawa yang dikeluarkan bersamaan dengan kentut — dapat melindungi sel manusia yang rusak akibat penyakit seperti kanker. Dengan demikian, kita seharusnya tidak perlu malu untuk kentut. Menahannya kelamaan tidak baik, lho.
Namun menariknya, ada segelintir orang di dunia ini yang justru sange dengan aroma kentut. Mereka-mereka yang memiliki fetish kentut atau “eproctophilia” biasanya merasakan kenikmatan seksual baik saat mengentuti maupun dikentutin pasangan. Cara menikmatinya pun macam-macam. Beberapa suka menghirupnya dalam-dalam, sedangkan lainnya merasa puas setelah mendengar suara kentut yang keras. Meski kentut berhubungan dengan kotoran tubuh, komunitas eproctophilia paling benci disama-samakan dengan coprophilia alias fetish dengan kotoran manusia.
Terapis seks dan hubungan Sarah Berry menjelaskan, kentut bisa menjadi preferensi seksual seseorang karena adanya pengalaman buruk yang menimbulkan rasa malu atau reaksi negatif lain. Hal ini disepakati oleh dua lelaki yang memiliki fetish kentut.
Jason* pernah berkhayal main bareng Pumbaa, karakter yang suka kentut dalam animasi The Lion King, saat masih enam tahun. Lelaki hetero asal Amerika Serikat itu geli dengan kentut semasa kecilnya, tapi kedua orang tuanya bersikap sebaliknya. “Mengucapkan ‘kentut’ saja tidak boleh. Mungkin dari situ saya merasa kentut tabu dan dilarang.”
Ric*, lelaki gay 52 tahun di Australia, juga tertarik dengan kentut sejak masih kecil. “Sebagai anak bocah, saya mengagumi anak laki-laki lain yang berani dan tidak malu kentut di tempat umum. Mereka tampak bebas, percaya diri dan agak memberontak,” kenangnya. Dia ingin berani seperti mereka.
Kepercayaan diri Ric terus tumbuh seiring dengan bertambahnya usia. Sejak mengeksplorasi orientasi seksualnya, dia mulai haus akan reaksi lelaki lain. “Suatu hari, saya merasa letih dan ingin mengejutkan orang. Saya kentut keras-keras di depan cowok saat ganti pakaian olahraga di kampus,” dia mengakui. “Saya jadi rajin melakukannya. Kadang-kadang saya menerima respons [positif].”
Jason dan Ric sadar bahwa diri mereka tertarik secara seksual dengan kentut karena pengalaman emosional. Kentut dapat menciptakan rangsangan yang tak tertahankan. Mereka bahkan bermasturbasi sambil membayangkan adegan kentut. Ketika artikel ini ditulis tiga tahun lalu, Jason belum berani mendiskusikan fetishnya secara terang-terangan. Dia tidak pernah merasakan nikmatnya di kehidupan nyata. “Saya bergabung di forum online dan berkenalan dengan orang-orang yang punya fetish ini,” terangnya. Dia cenderung menonton video untuk memenuhi fantasi.
“Videonya tidak mengandung unsur seks atau telanjang,” lanjut Jason. “Model di kebanyakan video yang saya tonton pasti sendiri. Mereka berpakaian lengkap atau mengenakan pakaian seksi kayak lingerie.”
Di usia 40, Ric pergi ke luar negeri untuk menemui lelaki lebih tua yang sudah mengetahui fantasinya. “Kami menghabiskan 24 jam berduaan. Kami mengentuti satu sama lain di berbagai lokasi (misalnya restoran), serta mengentuti tangan dan wajah.” Sejak hari yang memuaskan itu, Ric telah berulang kali kentut untuk memuaskan imajinasi liarnya di kehidupan nyata. Jika lelaki yang dia suka tinggal di luar negeri, mereka akan berkentut ria lewat Skype.
Fabio*, lelaki hetero yang sudah menikah di Brasil, memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Selain sering dikentutin, dia merupakan lelaki hetero yang lebih menyukai kentut sesama jenis. Fabio senang mendengar kentut teman-temannya ketika masih lima tahun. Beberapa tahun kemudian, dia menghabiskan waktu bersama sepupu di apartemen mereka di São Paulo. “Dia sengaja kentut di depan wajahku saat kami nonton TV. Dia hanya iseng,” tuturnya. “Dia tidak sadar kalau saya mendekati bokong untuk mengendusnya. Mimpiku menjadi kenyataan berkat kentutnya.”
Terlepas dari latar belakang, orientasi seksual dan pengalaman mereka dengan eproctophilia, fetish ketiga lelaki ini didorong oleh unsur keintiman dari kentut. Jason menganggap berbagi kentut dapat mematahkan ekspektasi masyarakat. “Perempuan kurang terbuka dengan hal semacam itu kecuali mereka benar-benar nyaman berada di dekatmu. Saya melihatnya sebagai tanda kasih sayang,” ujar Jason.
Penerimaan sosial juga berperan dalam eproctophilia Fabio. Dia hanya tertarik dengan kentut para lelaki modis yang lebih tampan dan cerdas daripada dirinya. Jika lelaki tampan dan pintar bersedia kentut di depannya, “itu berarti dia menyukaiku dan memungkinkan saya untuk mengenalnya lebih dalam dengan cara berbeda,” kata Fabio, “karena orang biasanya tidak tahu kentut seseorang.” Menurutnya, kentut memanusiakan manusia. Ketika seseorang yang lebih hebat darinya kentut di hadapan Fabio, aktivitas ini membuat posisi mereka setara dengannya. Ini menenangkan otak untuknya.
Ric juga memprioritaskan kecerdasan. Dia sangat terinspirasi oleh kenalan asal Prancis yang pernah bekerja dengannya di era 90-an. Orang itu adalah lelaki pertama yang mengungkapkan kenikmatan kentut kepadanya. Ric menggambarkan kebahagiaan yang dirasakan ketika bisa mengartikulasikan keinginannya dengan lelaki cerdas lain yang memahami fetish ini. “Bagi saya, [berbagi kentut] adalah keintiman bersama, suatu bentuk pembebasan dan pengakuan atas asal-usul hewani seseorang.”
*Nama telah diubah untuk melindungi privasi.
Follow Richard di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Canada pada Maret 2018.