Rubrik ‘Ask VICE’ diperuntukkan bagi para pembaca yang membutuhkan saran VICE untuk menyelesaikan masalah hidup, dari mengatasi cinta yang bertepuk sebelah tangan hingga menghadapi teman kos yang rese.
Curhatan pembaca: Teman saya, panggil saja Esmée, sepertinya terlilit utang. Meski dia bertingkah seolah-olah dia baik-baik saja, saya sangat mengkhawatirkan keadaannya.
Esmée beberapa kali gonta-ganti pekerjaan, tampaknya belum menemukan passion dan masih terus bereksplorasi. Tentu tidak ada yang salah dengan hal itu. Akan tetapi, gaya hidup Esmée agak berantakan, dan dia terlalu spontan menjalani hidup.
Belum lama ini, Esmée kehilangan pekerjaannya karena burnout parah. Dia berusaha mencari pekerjaan baru, tapi selalu gagal dan akhirnya keluar setelah beberapa minggu bekerja. Hidupnya semakin tidak teratur.
Saya memperhatikan Esmée sekarang lebih sering rebahan dan nonton TV sepanjang hari. Dia selalu beli makanan dan tidak pernah masak sendiri. Bahkan saat saya main ke rumahnya, Esmée lebih memilih pesan lauk yang berbeda tiga kali sehari daripada belanja bahan makanan. Dia juga menggunakan jasa bersih-bersih rumah, dan sering membelikan hadiah mahal untuk keponakannya yang baru lahir. Esmée belanja baju baru hampir setiap minggu, sampai-sampai rumahnya penuh bungkusan bekas paket. Entah dapat dari mana uang yang ia pakai untuk belanja.
Namun, saya tidak sengaja menemukan amplop dari layanan pinjam online ketika mampir ke rumahnya beberapa minggu lalu. Ada juga surat tunggakan yang sudah berbulan-bulan lamanya.
Saya mencoba bertanya pelan-pelan tentang kondisinya, dan apakah dia butuh “bantuan finansial”. Esmée menepis kekhawatiranku dan bilang dia baik-baik saja. Dia bergurau saya kedengaran seperti ibunya.
Saya benar-benar ingin membantu Esmée, tapi tidak tahu bagaimana memulainya. Apa yang bisa saya lakukan supaya dia tidak tersinggung?
Banyak anak muda merasa keteteran memenuhi biaya hidup yang terus naik, tapi mereka sungkan mengungkapkannya karena berbagai alasan. Barangkali mereka takut dicap boros, atau dikira tidak bisa mengelola keuangan, sehingga akhirnya mereka berjuang sendirian. Maka dari itu, kita, sebagai orang terdekat mereka, bisa memberikan dukungan untuk meringankan bebannya. Dukungan tidak melulu harus berupa pinjaman uang, selalu ada untuk mereka saja sudah cukup. Lantas pertanyaannya, gimana caranya agar mereka mau terbuka tanpa menyinggung perasaan mereka?
Annemiek den Held, pekerja sosial yang membantu warga Amsterdam melunasi utang sewa kontrakan dan asuransi kesehatan, mengatakan, pertama-tama kamu dapat mengamati perubahan pada perilaku teman. Hal-hal kecil seperti kurang bersemangat atau tak mampu ngerem keinginan belanja bisa menjadi tanda mereka mengalami masalah keuangan.
Menurut Annemiek, orang yang terlilit utang tak jarang malah rajin belanja untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang mereka hadapi. Pasalnya, orang cenderung lebih impulsif ketika stres. Kondisi ini kemudian diperparah oleh menjamurnya layanan pay later, yang menawarkan kemudahan untuk bayar belakangan.
“Stres mampu memengaruhi cara kerja otak,” terang Annemiek. “Kamu sulit berpikir jernih saat stres, sehingga kamu tidak dapat membuat keputusan jangka panjang. Kamu akhirnya memilih hal-hal yang bersifat kesenangan sementara.”
Jika kamu melihat teman kalap memesan gofood, padahal biasanya tidak seperti itu, mungkin ada alasan lebih serius yang menyebabkannya bertingkah begitu.
Orang akan semakin kebingungan melihat tagihan yang membludak karena penghasilan tidak cukup untuk menutupinya. Akibatnya, mereka terjerumus utang. “Kamu mungkin masih bisa bayar listrik, tapi menunggak tagihan lain. Lama-lama akan terjadi efek domino yang sulit diakhiri,” tutur Annemiek.
Jika kamu ingin mengulurkan tangan kepada teman yang kesulitan soal uang, Annemiek menyarankanmu untuk mengajaknya ngobrol berdua saja. Pilihlah waktu yang tepat supaya obrolan mengalir lancar, dan kamu dapat mendengarkan ceritanya tanpa menghakimi keputusan teman. “Memang paling gampang menasihati mereka, tapi percayalah itu takkan membantu sama sekali,” lanjutnya. “Dengarkan cerita mereka tanpa niatan menggurui.”
Annemiek menambahkan, setiap orang punya caranya masing-masing melunasi utang, sehingga penting bagimu untuk tidak bersikap sok tahu. Cari tahu apa yang teman kamu butuhkan. Apakah mereka butuh saran, atau sebatas ingin curhat? Bisa juga mereka cuma ingin ditemani saat mengecek tunggakan.
Selain itu, kamu dapat membantunya berhenti dari kebiasaan impulsif, jika mereka menunjukkan tanda-tanda tersebut. Kamu bisa mengajaknya belanja bahan makanan di pasar, atau mempersiapkan lauk untuk dimakan bersama-sama. “Sebisa mungkin jangan memberikan uang kepada teman,” Annemiek menegaskan. “Jangan lakukan itu jika kamu tidak tahu masalahnya secara keseluruhan. Bisa-bisa masalah akan semakin parah jika mereka diberi uang.”
Langkah selanjutnya yang bisa kamu lakukan adalah berusaha memahami alasan-alasan lain yang mendasari ketidakmampuan teman mengelola uang. Utang sering kali menandakan isu yang lebih serius. Teman kamu mungkin sedang dalam tekanan, atau ada masalah di tempat kerjanya. Itulah sebabnya kamu perlu mengetahui penyebab mereka terlilit utang terlebih dahulu, baru kemudian mengajaknya bicara atau memberikan saran yang tepat jika dibutuhkan. Dukungan yang bisa kamu berikan yaitu menghubungkannya dengan organisasi atau terapis yang bisa membantu mengatasi masalahnya.