Tutup akun Facebook sudah.
Hapus akun Instagram sudah.
Blokir nomor WhatsApp sudah.
Kartu SIM juga sudah dipatahkan.
Raghav telah melakukan segala cara untuk menghapus jejak digitalnya. Namun, itu tak mampu mengurangi rasa cemasnya setiap kali menerima panggilan dari nomor tidak dikenal.
Lelaki 24 tahun yang tinggal di Siliguri, kota di kaki pegunungan Himalaya di negara bagian Benggala Barat, menjadi korban pemerasan seksual yang menggerayangi para laki-laki India selama lockdown. Raghav meminta agar namanya diubah karena sensitivitas masalah ini.
Berbagai penelitian menunjukkan, pandemi COVID-19 telah mengubah “cara kita menggunakan internet”. Dengan ditutupnya sarana umum, segala bentuk komunikasi dan kegiatan sosial terpaksa pindah ke media sosial.
Para penipu juga tidak mau kalah. Mereka punya modus baru untuk menguras uang korban.
Praktik penipuan dengan metode phishing kian menjamur di India, biasanya melibatkan tautan situs palsu untuk mencuri data kartu kredit hingga pemerasan dengan ancaman menyebarkan rekaman webcam korban saat menonton video mesum. Kasus terbaru telah memanfaatkan teknologi canggih semacam deepfake.
Raghav hanyalah satu dari sekian ribu laki-laki yang menjadi korban penipuan ini.
Pada 26 Juli, petugas sales toko pakaian itu menerima permintaan berteman dari perempuan bernama Divya Sarma di Facebook. “Akunnya tampak asli karena kami punya dua teman yang sama: kolega perempuan dan saudara jauh,” tuturnya. “Foto profilnya juga terlihat asli. Dia foto bersama keluarga mengenakan [pakaian tradisional Pakistan] salwar kameez. Kami mulai chatting-an di Facebook messenger dan tukeran nomor WhatsApp beberapa hari kemudian. Obrolan kami mendadak berubah jadi sexting.”
Perempuan itu melancarkan modusnya tak lama setelah menerima nomor ponsel Raghav.
“Saya masih takut menceritakan apa yang terjadi pada malam mengerikan tanggal 30 Juli,” katanya, kegelisahan terdengar nyata di suaranya. Staf VICE mengajaknya bertemu di kedai lokal untuk mendengarkan pengalaman buruk Raghav. Sepanjang kami mengobrol pun, dia enggan membuka masker. Dia khawatir wajahnya masuk kamera CCTV. Tapi meskipun belum siap, dia tetap menceritakan peristiwa yang menimpanya agar orang lain tak mengalami hal serupa.
“Teman Facebook baru saya mengirim SMS sekitar pukul 10 malam. Dia minta video call,” ujarnya. “Saya mengangkat teleponnya, dan di ujung sana, tampak perempuan dari foto profil. Dia lumayan dan tampak tinggi. Sepertinya dia berusia 30-an dan berbicara bahasa Hindi dengan aksen India utara.”
Akan tetapi, pembicaraan mereka selanjutnya benar-benar tak terduga.
“Dia mulai meraba-raba tubuhnya, dan meminta saya menanggalkan pakaian. Semenit kemudian, saya cuma bisa melihat dia bermasturbasi; wajahnya tidak terlihat. Saya melakukan hal yang sama tapi menunjukkan wajah. Ini kesalahan terbesar saya telah menunjukkan wajah.”
Sejam kemudian, Raghav menerima kiriman video sedang telanjang dan bermasturbasi melalui WhatsApp. Wajah perempuan di pojok telah diburamkan.
“Saya syok melihat video itu dan langsung menghapusnya. Tapi beberapa detik setelahnya, saya menerima telepon WhatsApp dari nomor tak dikenal. Saya mengangkat teleponnya dan mendengar laki-laki mengancam akan menyebarkan video jika tidak membayar 5.000 Rupee (Rp966 ribu). Dia bilang videonya akan diunggah ke YouTube dan dibagikan ke teman-teman Facebook.”
Panik, Raghav buru-buru menutup telepon dan memblokir nomor tersebut.
“Saya tidak bisa tidur. Saya merasa bersalah dan malu. Saya juga mati kutu, jadi hal pertama yang saya lakukan di pagi hari yaitu meminta saran dari saudara ipar.”
Ketika sedang membicarakan apa yang harus dilakukan, Raghav menerima pesan WhatsApp dari nomor lain yang juga tak dikenal. Pesan itu berisi tangkapan layar video diunggah ke YouTube. Pemilik nomor tersebut meneleponnya. “Kali ini orang itu menyerang saya [secara verbal] dan memaksa saya untuk mentransfer uang secepatnya. Saya tidak menggubrisnya, sesuai arahan saudara ipar. Saya memblokir nomor itu dan mematikan ponsel.”
Dia lalu menonaktifkan semua akun media sosial dan membeli nomor baru. Raghav belum siap membuat akun Facebook dan WhatsApp lagi. Walaupun penipu tidak dapat melacak keberadaan Raghav, masih ada kekhawatiran videonya bocor. “Saya tahu penipu tidak bisa menghubungi saya, tapi saya yakin videonya masih beredar di luar sana, jauh di dalam dark web.”
Senasib dengan Raghav, duda 42 tahun bernama Krishna juga terjebak dalam kasus video seks melalui WhatsApp. Lelaki yang tinggal di Gorubathan, 60 kilometer dari Siliguri, meminta agar namanya diubah untuk melindungi identitas.
“Semua terjadi sangat cepat,” katanya kepada VICE. “Dari permintaan berteman di Facebook sampai ngeseks di kamera, semuanya terjadi hanya dalam empat hari, tapi meninggalkan luka seumur hidup.”
Krishna takut melaporkannya ke polisi.
“Saya punya toko kelontong di desa kecil yang warganya saling mengenali satu sama lain. Saya takut keluarga mengetahui kejadian ini,” ungkap Krishna. Dalam kasusnya yang terjadi Juni lalu, dia dipaksa membayar 4.000 Rupee (Rp773 ribu).
“Selama satu minggu, saya menerima telepon dan pesan bernada ancaman dari berbagai nomor tak dikenal. Mengikuti saran teman, saya memblokir semua akun media sosial dan mengubah nomor telepon. Saya tak lagi menerima telepon pemerasan sejak itu.”
Polisi telah mempersempit penyelidikan pada geng yang beroperasi di negara bagian Uttar Pradesh, Haryana dan Rajasthan di India. lokasi pertigaan itu menciptakan “titik hitam” untuk jaringan seluler. Keberadaan sejumlah menara telekomunikasi di ketiga tempat mempersulit pelacakan lokasi tepatnya.
Pihak berwajib menyatakan pemerasan semacam itu semakin sering terjadi, dan menandakan gelombang baru serangan phishing. Hasil perasan juga disalurkan melalui beberapa gateway dan dompet online, sehingga asal-usulnya semakin sulit dilacak.
“Ketika korban pemerasan seks menghubungi kantor, hal pertama yang mereka katakan yaitu telah melakukan kesalahan besar. Mereka terdengar sangat ketakutan dan bersalah,” Tenzing Loden Lepcha, inspektur polisi departemen investigasi kejahatan (CID) di Sikkim, memberi tahu VICE. “Mereka tidak memahami telah terjebak dan merupakan korban.”
Kantor polisi tempatnya bekerja telah menerima lebih dari 50 laporan pemerasan berkedok seks sejak lockdown babak kedua. “Sebagian besar pelapor berasal dari kelas pekerja berusia antara 30-an hingga akhir 50-an. Jumlah pemerasan biasanya berkisar 5.000-20.000 Rupee (Rp966.000-3,8 juta).”
Pihak berwajib telah membongkar sejumlah kasus penipuan berkedok seks selama pandemi. Di negara seperti India, sentimen “log kya kahenge?” (apa kata orang?) membuat korban pemerasan seperti Raghav dan Krishan takut untuk melapor ke polisi. Mereka hanya bisa menderita dalam diam setelah terperangkap di sisi gelap teknologi.
Pengalaman buruk ini meninggalkan luka yang sulit diobati.
“Saya sampai kepengin mengakhiri hidup karena video ini merusak kesehatan mental saya,” ungkap Krishna. “Tapi saya memutuskan untuk menghadapinya saja ketika memikirkan putriku, yang bisa jadi yatim piatu tanpa saya.”
Follow Diwash di Twitter.