Sekolah kedinasan di Indonesia adalah harapan meraih hidup lebih baik, tapi selama bertahun-tahun ada saja siswa yang harus diantar pulang dalam keadaan tak bernyawa. Penyebab kematian siswa polanya selalu sama di berbagai sekolah kedinasan, yakni akibat aksi pelonco senior kepada junior yang melibatkan kekerasan fisik.
Perbuatan yang sama membuat hidup Zidan Muhammad Faza (21) terenggut sia-sia. Taruna tingkat III di Politeknik Ilmu pelayaran (PIP) Semarang itu tewas dihajar lima kakak kelasnya dalam acara “tradisi pembinaan” di Mess Indo Raya, Krajan, Kota Semarang, Senin, 6 September 2021.
Dalam kronologi yang disampaikan polisi, “tradisi pembinaan” ini adalah tes kekuatan fisik yang diujikan senior kepada junior, sebelum para junior ini mulai tinggal di mes.
Praktiknya seperti ini, sesuai kronologi yang dituturkan Polrestabes Semarang. Pada Senin malam nahas itu, sebanyak 8 orang taruna Angkatan 54 di mess itu memanggil 15 orang taruna Angkatan 55. Setelah mereka berkumpul, tes pun dimulai. Caranya, para senior bergiliran memukuli ke-15 orang adik kelasnya. Tanpa menimbulkan korban pun, tradisi ini pastinya memicu pertanyaan: para taruna ini membayangkan mereka akan berlayar melawan bajak laut atau gimana?
“Tradisi budayanya uji fisik, jadi satu per satu junior dipukul. Korban awalnya kuat saat seniornya mukul satu per satu. Tapi begitu terakhir oleh seniornya yang bernama Caesar, korban roboh jatuh dan tak sadarkan diri,” papar Kapolrestabes Semarang Kombes Pol. Irwan Anwar, dikutip CNN Indonesia.
“Tes” itu berlangsung “lancar” hingga korban Zidan bersiap menerima pukulan kelima dari seniornya bernama Caesar Richard Bintang Samudra Tampubolon (23), taruna PIP tingkat VIII. Pukulan itu mengenai ulu hati, membuat Zidan roboh tak sadarkan diri. Caesar dan satu orang saksi kemudian bergegas membawa Zidan ke rumah sakit. Korban masih hidup saat tiba di RS, namun akhirnya meninggal dunia.
Insiden itu membuat para pelaku panik. Mereka lantas bersepakat mengarang cerita bahwa Zidan dipukul Caesar karena motor mereka bersenggolan, saat melintas di jalan luar mess.
“Para senior ini sepakat membuat cerita bila korban tak sadar karena dipukul oleh Caesar karena dipicu senggolan motor di jalan kampung. Caesar pun sepakat karena merasa bersalah seiring korban roboh setelah dipukulnya,” tambah Irwan.
Cerita khayal itulah yang mereka sampaikan kepada polisi, kemudian tersebar di media. Kisah ini sempat cukup solid, bahkan penghuni mess mengaku tidak tahu soal kejadian tersebut. Namun, penyelidikan polisi tak menemukan bukti lain. Hari ini Polrestabes Semarang mengumumkan kronologi tentang “tradisi pembinaan” tadi.
Bersamaan dengan itu, lima senior yang terlibat pemukulan telah dijadikan tersangka. Selain Caesar, mereka adalah Budi Darmawan, Aris Riyanto, Albert Jonathan Ompusuhu, dan Andre Arsprila. Menurut polisi, mereka dijerat KUHP Pasal 170 tentang melakukan kekerasan berujung maut, dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.
Sejauh ini respons PIP dan Kemenhub, sebagai instansi yang mengelola PIP, sekadar normatif saja. Direktur PIP telah menonaktifkan Wakil Direktur III dan Kepala Pusat Pengembangan Karakter Taruna dan Perwira Siswa.
Sedangkan rilis dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemenhub sekadar menyatakan tak menolerir kekerasan di lingkungan kampus Kemenhub, serta menyerahkan penyidikan kasus kepada polisi. Juga disebut dalam rilis bahwa selama ini Kemenhub selalu menerapkan standar pengawasan dan pencegahan kekerasan.
Rilis itu tidak menjawab, juga tidak menunjukkan komitmen, untuk menghentikan kekerasan berujung kematian yang sudah langganan terjadi di sekolah kedinasan.
Pada 2017 lalu, seorang taruna juga tewas dikeroyok senior di lembaga pendidikan Kemenhub, Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta Utara. Amirulloh Adityas Putra, baru berusia 18 tahun, tewas saat ia dan 5 rekannya sesama taruna junior dipelonco malam-malam oleh 4 senior. Kejadian persis sama dengan yang dialami Zaidan: mereka dijejer dan diberi pukulan bergantian. Amirulloh ambruk pada pukulan kesekian, oleh pukulan di ulu hati pula.
Kasus itu membuat sang kepala sekolah dipecat, serta Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga membentuk tim investigasi internal karena di STIP.
Kasus kekerasan di sekolah kedinasan bisa dideret panjang, tak sedikit yang mengakibatkan kematian. VICE sempat membuat laporan mengenai problem laten sekolah kedinasan ini, mengaitkannya dengan kultur kekerasan yang muncul akibat ideologi militerisme Orde Baru.
Di STIP Jakarta Utara saja, 3 taruna tewas dan 1 gegar otak karena ulah senior sepanjang 2008-2017. Selain Amirulloh, korban adalah Agung B. Gultom (20) yang dihajar 10 senior sampai mati pada 2008; Jegos (19) yang dianiaya kakak kelas hingga gegar otak, masih di 2008; serta Dimas Dikita Handoko, tewas di tangan senior pada 2014.
Kampus Kemenhub lain yang pernah jadi lokasi pembunuhan taruna adalah Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan (ATKP) Makassar. Pada 2019, Aldama Putra Pongkala (19) tewas karena senior, diduga kuat akibat dikeroyok.
Di luar kampus Kemenhub sama saja. Pada 2017, misalnya, taruna Akpol Semarang Brigdatar Mohammad Adam (21) dikeroyok sampai mati oleh 14 senior. Namun, di antara kampus-kampus kedinasan itu, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang paling identik dengan kekerasan pada siswa berujung kematian.
Dari sekian kasus, yang paling meledak adalah kematian praja, sebutan siswa di kampus ini, atas nama Cliff Muntu pada 2007. Meninggal saat sesi pelonco malam hari yang dilakukan para senior, kematiannya sempat ditutupi oleh kampus yang beralasan Cliff meninggal di rumah sakit. Dekan IPDN Lexie M. Giroth bahkan diduga memerintahkan agar jasad Cliff disuntik formalin agar menyamarkan lebam.
Kasus ini menjadi skandal nasional setelah dibongkar oleh dosen IPDN Inu Kencana Syafiie. Inu kemudian merilis buku berjudul IPDN Undercover yang mengekspose kekerasan di lingkungan IPDN. Ia mengklaim, ada 17 kematian tidak wajar di kampus ini selama rentang 1990-2007.
Kasus Cliff berakhir dengan 7 pelaku dijatuhi penjara 8 bulan dan 3 tahun. Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi sempat dinonaktifkan karenanya. Yang tragis, dua tahun kemudian Sumaryadi kembali jadi rektor, hingga akhirnya dipecat pada 2013, bukan karena kasus Cliff, melainkan ketahuan punya istri simpanan.