Kadang-kadang orang bebal harus kena getahnya sendiri baru bisa sadar. Ini yang coba disampaikan Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Martina Yulianti lewat media sosialnya. Sebagai jubir, Martina proaktif mengajak warga Kutai dan sekitarnya untuk menjaga kesehatan dan memerangi hoax seputar Covid-19.
Namun mengingat ada bagian masyarakat yang masih saja menganggap pandemi ini “direkayasa”, Martina mengunggah ajakan di Facebook kepada orang yang tak percaya Covid-19 untuk magang di Unit Gawat Darurat (UGD) Covid dan ruang jenazah.
“Jikalau ada yang masih memandang hal ini sesuatu yang dibuat-buat direkayasa, mengandung modus. Saya tantang kamu untuk magang satu hari di UGD COvid, satu hari di ruang jenazah,” tulis perempuan yang juga Pelaksana Tugas Direktur RSUD Aji Muhammad Parikesit tersebut. Tantangan segera jadi perbincangan dan menyebar di internet.
Saat dikonfirmasi, Martina menyebut rekayasa Covid-19, seperti tudingan bahwa vaksin itu berbahaya misalnya, cukup mempengaruhi masyarakat sekitar. “Tidak banyak [yang percaya], tapi ada. Saya sudah instruksikan insan kesehatan Kutai Kartanegara perang melawan Covid-19 dan para penyebar hoaks. Sebab, hoaks juga melemahkan upaya kemanusiaan kita,” kata Martina kepada Kompas. Padahal, Martina mengumumkan per 20 Juli kemarin, RSUD Aji Muhammad Parikesit tidak mampu lagi bisa menerima pasien Covid-19 maupun yang bukan karena keterbatasan ruang IGD dan tenaga medis.
Kekesalan berujung tantangan dari pejabat pada kelompok yang tidak mempercayai Covid-19 juga disampaikan Bupati Banyumas Achmad Husen. Melalui instagram pribadinya, Achmad menantang orang-orang yang kerap melakukan provokasi Covid-19 tak bahaya untuk melihat langsung pasien di ruang ICU dan isolasi bersamanya.
“Kalau konsekuen, logis, dan berani, ayo kita lihat dengan mata kepala sendiri di ruang ICU/isolasi RS yang ada pasien Covid-nya. Saya akan temani sampai selesai. Jangan hanya gemar memprovokasi orang lain tapi harusnya berani bertanggung jawab terhadap pendapatnya. Saya tunggu sampai dengan dua minggu ke depan,” tulis Achmad.
Berbeda dari tantangan terbuka yang dilakukan Achmad dan Martina, petugas pemakaman Covid-19 di Demak, Jawa Tengah, langsung mengajak Suranto untuk ikut proses pemulasaran jenazah. Pasalnya, Suranto terekam mengunggah postingan mengaku tak percaya bahaya Covid-19 di sebuah grup Facebook. Pada akhirnya Suranto ketakutan dan meminta maaf. Petugas juga menyebutkan Suranto menolak sembari terlihat ingin menangis kala diajak ikut proses pemulasaran di RSUD setempat.
Satu setengah tahun menjalani pandemi, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Covid-19 masih menjadi pekerjaan besar pemerintah. Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo mencatat masih ada 17 persen dari total masyarakat Indonesia yang tidak mempercayai adanya Covid-19. Kalau datanya benar, berarti kelompok ini mencapai 45 juta jiwa, jumlah yang jelas terlampau banyak.
Data lain yang menunjukkan krisis literasi pandemi: Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei terhadap 1.200 responden di 34 provinsi pada akhir Juni kemarin terkait vaksin. Hasilnya, ditemukan 23,5 persen responden tidak percaya vaksin bisa mencegah masyarakat dari tertular virus.
“Walau hampir 90 persen responden setuju pada program vaksinasi, tapi banyak yang tidak percaya bahwa vaksinasi bisa mencegah masyarakat tertular virus Corona, persentasenya sebesar 23,5 persen,” ujar Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam rilis survei virtual di kanal YouTube LSI, pada 18 Juli 2021.
Djayadi menambahkan, responden yang tidak percaya efek vaksin mayoritas tersebar di tiga wilayah besar, yaitu Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi, dan Provinsi Jawa Timur.
Kepala Laboratorium Departemen Ilmu Sosiologi Universitas Sumatera Utara (USU) Muba Simanihuruk mengatakan fenomena ‘Covidiot’ bisa terjadi sebab teori konspirasi dan hoax bebas disampaikan berulang-ulang. “Kebohongan yang diulang-ulang masif lewat hoax dan teori konspirasi diyakini sebagian masyarakat sebagai kebenaran. Implikasinya, korban Corona meningkat dan kepercayaan pada pemerintah ambruk,” kata Muba kepada Detik.
Terkait mengentaskan masalah kebebalan masyarakat akan bahaya Covid-19. Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menyarankan perlunya intervensi para tokoh masyarakat, “Penguat strategi pandemi itu tentu harus ada literasi. Literasi ini harus melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, maupun ya tokoh dari kalangan-kalangan grup itu sendiri. Apakah itu pekerja pasar, mahasiswa, dan sebagainya. Mereka bisa menggunakan bahasa mereka sendiri sehingga akan lebih efektif,” kata Dicky saat dihubungi VICE.