Akhir Juni 2022, Afghanistan menggelar pertemuan Majelis Nasional di Ibu Kota Kabul. Pertemuan ini setara musyawarah MPR di Indonesia, saat wakil pemerintah bertemu dengan utusan dari lebih dari 3.500 pemimpin suku, tetua adat, tokoh masyarakat, serta pemuka agama dari seluruh wilayah Afghanistan. Namun ada yang berbeda dalam acara Majelis Nasional tahun ini. Setelah Taliban kembali berkuasa , tidak ada satupun perempuan hadir dalam sesi Majelis Nasional.
Juru bicara Taliban, saat dikonfirmasi media massa, berdalih perempuan tetap berpartisipasi dalam Majelis Nasional. Hanya saja, wujudnya adalah “diwakilkan oleh anak lelaki mereka.”
Abdul Salam Hanafi, Wakil Perdana Menteri kabinet Taliban, dengan percaya diri mengklaim aspirasi kaum perempuan di Afghanistan tetap bisa tersampaikan di acara Majelis Nasional. “Perempuan adalah ibu dan adik serta kakak kami. Taliban menghormati perempuan. Buktinya, anak-anak lelaki para perempuan yang menjadi tokoh masyarakat tetap hadir di acara ini. Artinya, para perempuan tetap terlibat dalam pertemuan ini, meski tidak secara langsung,” ujar Hanafi dalam konferensi pers.
Dalam kesempatan terpisah, merespons banyaknya protes bahwa perempuan tak lagi dilibatkan Majelis Nasional, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid berusaha membela keputusan organisasinya. Mujahid berdalih bahwa yang tidak ingin melihat perempuan ikut datang di Majelis Nasional adalah para pemuka agama Islam, bukan petinggi Taliban.
Pertemuan ini merupakan strategi Taliban untuk mendapat dukungan politik mayoritas elemen di Afghanistan. Sejak berhasil merebut ibu kota Kabul tahun lalu, kekuasaan Taliban masih belum kokoh. Mayoritas negara di dunia juga tidak bersedia menganggap Taliban sebagai pemerintahan yang sah di negara Asia Tengah itu.
Aksi teror, peledakan bom, serta sabotase masih rutin terjadi di berbagai kota Afghanistan enam bulan terakhir, karena Taliban sendiri memiliki banyak musuh dari sesama kelompok ekstremis Islam. Sebelum acara Majelis Nasional dimulai pada 30 Juni, baku tembak dilaporkan terjadi di luar gedung pertemuan. Tiga orang ekstremis tewas, menurut klaim Taliban, dan situasi sudah terkendali. Mujahid enggan merinci apa motif serta siapa pihak yang melakukan serangan menjelang acara Majelis Nasional tersebut.
Acara Majelis Nasional kini tidak bisa lagi diliput media. Hanya media milik pemerintah boleh masuk ke gedung pertemuan, itupun untuk sesi pertemuan terbuka. Rapat-rapat yang membahas isu penting, termasuk negosiasi Taliban dengan para pemimpin suku, tidak boleh lagi diliput seperti biasanya. Pertemuan Majelis Nasional berakhir pada 2 Juli 2022.
Taliban diyakini para pengamat sangat membutuhkan dukungan politik dalam negeri, karena bantuan internasional amat minim. Negara itu dalam ancaman krisis ekonomi, pangan, serta energi. Mayoritas negara di dunia enggan menormalisasi hubungan dagang, selagi Taliban masih melanggar janjinya sendiri dengan melakukan berbagai jenis pelanggaran HAM.
Sebelum merebut Kabul, juru bicara Taliban sempat meyakinkan dunia internasional bahwa mereka akan mengormati hak perempuan serta kelompok minoritas di Afghanistan. Nyatanya, tak sampai tiga bulan berkuasa, perempuan kembali dilarang bersekolah, harus memakai niqab, serta sangat sulit keluar rumah.
Minoritas Hazara, Sikh, serta penganut Hindu juga mengalami diskriminasi rutin dari pejabat pemerintah. Taliban lantas berdalih bahwa segala diskriminasi tersebut merupakan tafsir mereka atas ajaran Islam serta menghormati “tradisi” yang dianut penduduk Afghanistan.