Mungkin tak banyak pembaca awam yang tahu, salah satu pemasukan terbesar Taliban selama ini adalah produksi opium di pegunungan Asia Tengah. Sebanyak 80 persen pasokan heroin dan opium di dunia berasal dari Afghanistan.
Dalam momen jumpa pers perdana pekan lalu setelah sukses merebut Ibu Kota kabul, Taliban mengaku siap meninggalkan bisnis haram tersebut jika kembali berkuasa. Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujihad, menyatakan setiap milisi dan warga di wilayah kekuasaan mereka bakal menyetop semua jenis produksi budi daya tanaman poppy.
“Kami siap menjamin kepada sesama penduduk Afghanistan maupun seluruh dunia, organisasi kami tidak akan lagi terlibat produksi segala jenis narkotika,” kata Mujahid. “Tidak ada lagi yang boleh bercocok tanam [heroin] maupun menyelundupkannya.”
Meski demikian, Muhajid mengakui klaim itu memiliki “prasyarat” supaya terpenuhi. Taliban mengaku butuh “bantuan internasional”, agar para mujahid di pedalaman Afghanistan bisa lepas sepenuhnya dari bisnis heroin. Sebagai salah satu negara termiskin di dunia, Taliban mengklaim tak banyak opsi yang tersisa bagi masyarakat maupun anggotanya di pedesaan untuk mencari uang, kecuali bercocok tanam opium.
Berdasarkan perkiraan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), hasil panen biji opium di Afghanistan bisa mencapai nilai US$350 juta. Rata-rata petani menjual bahan baku opium senilai US$55 per kilogram. Bahan baku itu lantas diolah lagi menjadi heroin, produk paling murni dan paling bikin kecanduan dari biji opium, untuk diedarkan ke berbagai negara.
Nilai bisnis heroin yang bersumber dari ladang-ladang Afghanistan menurut PBB mencapai US$1,4 miliar. Bahkan harga jual heroin asal Afghan di pasaran Eropa, bisa 10 kali lipat dari harga yang diterima petani miskin setempat.
Penghasilan rata-rata masyarakat Afghanistan hanya setara Rp716 ribu per bulan. Alhasil, terlibat dalam proses budidaya opium bisa membuat satu desa terbebas dari kelaparan. Tak banyak tersedia lapangan kerja memadai serta halal, khususnya di desa-desa yang terletak di perbukitan dan pegunungan. Taliban mengakui, minat masyarakat dan bekas milisi untuk terus bercocok tanam opium tetap tinggi.
Sebagai organisasi militan yang menjunjung nilai Islam konservatif, Taliban sebetulnya tidak pernah suka mencari uang dengan mengizinkan produksi opium maupun heroin. Bisnis haram itu dijalankan atas keterpaksaan, dengan dalih mencukupi kebutuhan ekonomi masyarakat.
“Petinggi Taliban sadar, sampai mereka bisa menyediakan pekerjaan alternatif bagi masyarakat pedesaan yang terbiasa menanam opium, maka mereka tidak bisa mengutuk bisnis narkoba sepenuhnya sesuai ajaran Islam,” ujar salah satu mantan anggota pasukan khusus Inggris, yang beberapa kali mengunjungi Provinsi Helmand, kepada VICE. Provinsi Helmand memiliki jumlah lahan opium terbesar di seantero Afghanistan.
“Bisnis heroin lah yang dulu memberi makan para mujahid bertahan menghadapi gempuran Uni Soviet, sampai akhirnya Taliban bisa cukup kuat untuk merebut negara pada dekade 90’an,” ujarnya.
Mantan prajurit ini, menolak diungkap identitasnya atas alasan keamanan, direkrut pemerintahan demokratis Afghanistan setelah invasi Amerika Serikat pada 2001. Sejak 2008 sampai tahun lalu, dia diminta memata-matai rantai distribusi heroin di negara tersebut. Kesimpulannya, setelah sempat terusir dari kekuasaan akibat invasi AS, Taliban kembali ke pegunungan, dan memilih jadi pelindung bisnis heroin untuk mencukupi kebutuhan organisasi.
“Taliban bertindak layaknya centeng, melindungi lahan-lahan opium dari sergapan tentara Afghanistan, lalu menetapkan pajak dari hasil penjualan para petani,” ujarnya.
Menurut pengamat, ucapan jubir Taliban mengindikasikan mereka siap bernegosiasi dengan Amerika Serikat atau Uni Eropa, supaya mendapat keuntungan bila menyetop bisnis heroin sepenuhnya. Praktik ini pernah mereka lakukan pada awal tahun 2000. Ketika itu, Taliban bersedia menyetop produksi opium secara nasional selama beberapa bulan, asal Afghnistan mendapat bantuan internasional.
Amerika Serikat, setahun sebelum melakukan invasi, kala itu bersedia memberi bantuan bernilai ratusan juta dollar. Namun, sebelum Taliban sempat membagikan dana tersebut kepada ratusan petani, efek penyetopan produksi opium terlanjur memicu kesulitan di banyak desa. Pada awal 2001, ribuan orang dari pedalaman Afghanistan menyeberang ke Pakistan, karena tak punya uang untuk membeli makan dan mengalami kelaparan akut. Mayoritas adalah keluarga petani opium.
“Taliban tentu tidak ingin insiden serupa terjadi ketika mereka sepenuhnya melarang produksi opium,” kata mantan prajurit Inggris tersebut. “Saya yakin, mereka akan membujuk AS untuk memberi bantuan lagi. Kita harus ingat, Taliban terbukti adalah negosiator yang jago.”