Perempuan itu tidak menyangka abang sepupunya pulang dalam kondisi tinggal nama dari panti rehabilitasi milik Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin. Keluarga awalnya sempat menaruh asa pada panti milik politikus Golkar itu, dengan harapan dia bisa sembuh dari ketergantungan narkoba, serta bertobat melakukan tindakan kriminal yang pernah diperbuatnya. Seorang kenalan yang pertama kali memberitahukan adanya panti dengan metode unik untuk menangani para pecandu narkoba.
“Abang sepupu dulu dibawa ke sana. Dia memang pecandu narkoba dan sudah dua kali masuk penjara,” kata perempuan berinisial FD, dalam rekaman yang didapatkan VICE dari Koordinator KontraS Sumut, Amin Multazam.
Awalnya keluarga besar dan FD merasa lega memberangkatkan saudara mereka itu ke kerangkeng di Langkat. Tidak sampai sebulan, salah satu pengelola kerangkeng memberitahukan, bahwa sepupu FD meninggal karena sakit lambung. Keluarga tidak mempercayai info tersebut, setelah melihat kondisi jenazahnya.
“Bagian rahangnya luka, dan di bagian badannya juga ada luka-luka. Makanya ketika abang sepupu saya itu dikabarkan meninggal, kami diberitahu bahwa jenazahnya sudah dimandikan di sana, kami pun heran kenapa tidak dimandikan di sini [rumah keluarga],” kata FD. Kelurga sempat berniat mengusut lebih lanjut penyebab kematiannya, namun ibu korban mengatakan telah mengiklaskan kematian sang anak.
Setelah kasus kerangkeng manusia itu terungkap, seiring penangkapan Bupati Langkat oleh KPK akibat kasus suap, muncul fakta-fakta lain yang menegaskan kecurigaan FD. Para pecandu yang tinggal kerangkeng sang bupati itu ternyata dipekerjakan tanpa diupah, di perkebunan kelapa sawit PT Dewa Rencana Peranginangin, milik Terbit Rencana Perangin Angin.
Mantan penghuni kerangkeng itu, berinisial TT, bersedia bercerita pada lembaga pemantau yang melakukan investigasi. Lelaki 25 tahun itu mengaku menghuni di kerangkeng Bupati Langkat selama setahun, sejak Januari 2020. Selama di sana, saban hari dia bekerja mengumpulkan sawit dari pohon dan membawanya ke pabrik tanpa pernah dibayar. Dia hanya diberi makan, sehari dua kali.
Dugaan ‘perbudakan modern’ di Langkat pertama kali dibeberkan Migrant Care ke publik, lalu ditindaklanjuti Komnas HAM. Kerangkeng Langkat yang berfungsi sebagai panti rehabilitasi itu telah beroperasi lebih dari sepuluh tahun, seperti diungkap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LSPK). Diperkirakan lebih dari 2.000 orang pernah dikerangkeng di tempat yang menyerupai penjara itu—setiap hari kurang lebih 100 orang diterima di sana. Terbit adalah pengurus ormas Pemuda Pancasila, sehingga reputasinya cukup disegani warga sekitaran Langkat.
Namun, yang tak banyak diketahui publik, kasus kerangkeng manusia di belakang kediaman Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin, sekaligus mengungkap tabir ‘perbudakan modern’ berbagai perkebunan kelapa sawit seantero Sumatra Utara. Kasus ini hanya puncak gunung es praktik tak manusiawi yang sering terjadi di kebun sawit.
Menguak Tabir ‘Perbudakan Modern’ di Perkebunan Sawit
Kasus kerangkeng manusia untuk dipekerjakan tanpa upah di perkebunan kelapa sawit, rupanya tidak jauh berbeda dengan kondisi perburuhan di perkebunan pada umumnya di Sumatra Utara. Banyak pekerja sawit di Sumut mengalami isolasi dan hak-hak mereka sebagai pekerja diabaikan.
“Pada kasus di Langkat, penjara itu memang ada, tapi dalam riset yang pernah kami lakukan, buruh itu terpenjara oleh sistem itu sendiri, mereka terisolasi ke dunia luar, mereka terlilit hutang, tidak punya kartu identias, itu kan masuk ‘perbudakan modern’, caranya berbeda tapi substansinya sama,” kata Ketua Umum Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo), Herwin Nasution kepada VICE.
Malah kata Herwin, kasus di Langkat, bila dilakukan kajian lebih dalam bisa ditemukan masalah ketenagakerjaan lainnya, misalnya mengapa memperkerjakan pecandu narkoba di perkebunan. “Bagaimana jadinya kalau orang yang kena narkoba disuruh kerja, ya kan rentan terjadi kecelakaan kerja,” katanya.
Belum lagi soal hak-hak pekerja yang harus diterima apabila mereka dipekerjakan, selain upah, mereka juga seharusnya mendapatkan jaminan kesehatan, juga perlindungan kerja. “Jika pun mereka direhabilitasi, namun apabila mereka dipekerjakan, hak-hak mereka sebagai pekerja harus dipenuhi, mereka tidak boleh dipekerjakan begitu saja,” kata aktivis buruh yang akrab disapa Masdon itu.
Menurut Masdon, kasus Langkat makin ironis lantaran membuktikan feodalisme industri perkebunan yang berlangsung sejak masa kolonial Hindia Belanda terus terjaga. Kasus macam ini juga tidak menambah positif citra Indonesia sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Dengan perkebunan seluas 14,60 juta hektare, industri sawit Indonesia memproduksi 46,99 juta ton crude palm oil (CPO) per tahun, menyumbang pajak hingga Rp20 trilliun per tahun dan menyerap 20 juta tenaga kerja.
Sumatra Utara termasuk salah satu provinsi penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia setelah Kalimantan dan Riau. Bahkan, kelapa sawit disebut sebagai sumber penopang ekonomi terbesar provinsi Sumut. Dengan luas 1.325.100 hektare, lahan perkebunan kelapa sawit dan 81 perusahaan, industri kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 568.509 pekerja. Namun fantastisnya nilai ekonomi industri sawit menyisakan kondisi pilu bagi para buruh-buruhnya.
Penerapan sistem perekrutan buruh harian lepas [BHL] membuat nasib buruh sengsara berkelanjutan, kata Masdon. Buruh diupah tidak layak, beban kerja yang berlebihan, terisolasi, perusahaan cenderung mengabaikan pendidikan dan kesehatan anak-anak buruh, tidak ada kontrak kerja, tidak ada slip gaji, dan banyak yang kemudian tinggal di barak tidak layak huni.
“Saya pernah mengadvokasi buruh harian lepas yang meninggal setelah diterkam buaya. Perkebunan itu berada di daerah terpencil dan barak buruh itu tidak ada fasilitas MCK, jadi kalau mau buang air ke sungai, dan di sana dia diterkam buaya. Ironisnya, perusahaan perkebunan mengatakan buruh itu tidak terdaftar di perusahaannya,” kata Masdon.
Meski akhirnya berhasil diadvokasi, kejadian itu membuktikan buruknya sistem perekrutan buruh di berbagai perkebunan Sumut.
Perekrutan buruh ini dilakukan secara sistematis: perusahaan perkebunan merekrut kepala rombongan [KR] untuk mencari buruh harian lepas, KR merekrut BHL dari daerah dan mempekerjakan mereka di luar administrasi—perkebunan lepas dan hak buruh ada di tangan KR yang mengeksploitasi para buruh.
Sebelum buruh dipekerjakan, KR melilit para buruh dengan utang—caranya dengan membiayai transportasi buruh dari daerah asalnya ke lokasi perkebunan dan nantinya dibayar buruh selama tiga bulan pertama bekerja. Upah rendah dan beban kerja yang berat membuat mereka terus terbelit hutang yang terus bertambah. Buruh hanya diupah Rp28.000 untuk per ton kelapa sawit yang berhasil mereka panen. Upah itu dibayar per bulan, atau kadang setiap dua bulan, setelah dipotong biaya transportasi dari tempat tinggal ke lokasi perkebunan dan potongan utang biaya hidup sehari-hari.
Eksploitasi dan praktik mengarah ke perbudakan dan perdagangan manusia itu didokumentasikan Masdon dan Rustam Pakpahan dalam buku berjudul “Buruh Bongkar: Sebuah Kajian Tentang Perdagangan Manusia Dalam Sistem Rekrutmen Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara”, yang memotret praktek ‘perbudakan modern’ di perkebunan sawit di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal, Sumut.
“Dari 1,5 juta buruh di perkebunan di Sumut, 65 persennya merupakan buruh harian lepas, yang kondisinya sangat memprihatinkan, mereka terjebak dalam sistem yang mengarah ke perbudakan modern,” kata Masdon.
Jeratan utang, beban kerja berlebihan dan upah rendah membuat buruh tetap dijerat kemiskinan. Situasi itu sekaligus memaksa beberapa keluarga buruh melarikan diri dari kampung halamannya, karena tidak tahan dengan lilitan utang.
“Beban kerja banyak, upah kecil dan terus terbelit utang, sistem itu membuat mereka seperti diperbudak terus-menerus,” kata Masdon.
Rendahnya upah buruh di perkebunan sawit acap kali memaksa mereka bekerja lebih keras untuk mengejar target produksi demi mendapat upah yang cukup. Situasi ini memaksa mereka mengajak istri dan anak-anak ikut bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Kondisi ini terjadi pada buruh migran yang didatangkan dari lokasi yang jauh dari perkebunan, misalnya Nias. Banyak di antara mereka yang datang bersama keluarga, meski yang direkrut perkebunan hanyalah satu—umumnya kepala rumah tangga, tapi belakangan anak dan istrinya ikut bekerja.
“Buruh yang direkrut itu sebenarnya satu orang, tapi keluarganya ikut dibawa dan akhirnya mereka ikut bekerja. Ada perusahaan yang mengupah satu buruh dari satu keluarga, dan ada juga yang langsung mempekerjakan anak-anak,” kata Misran Lubis, Jaringan LSM Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) kepada VICE.
Meski sudah banyak aturan melarang pekerja anak, antara lain Konvensi Hak Anak tahun 1990 yang ikut diratifikasi Indonesia, Konvensi ILO No. 182 tahun 199 terkait batasan usia anak bekerja, serta penghapusan pekerja anak yang dituangkan dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, namun beleid tersebut hanya garang di atas kertas. Pengabaian aturan sering dilakukan perusahaan perkebunan sawit yang dikelola masyarakat secara mandiri.
“Selain sistem buruh harian lepas, bermunculannya perkebunan sawit di daerah yang dikelola masyarakat mendorong praktek pekerja anak di perkebunan,” kata Misran.
Jubir Bupati Membantah Tuduhan Perbudakan
Tuduhan adanya praktek penyiksaan dan perbudakan manusia itu telah dibantah Bupati Terbit, melalui juru bicaranya dalam jumpa pers di Kota Medan pada awal Februari 2022.
“Sepanjang yang keluarga ketahui di sana tidak ada perbudakan, sepanjang yang diketahui keluarga, keluarga punya standar bagaimana memanusiakan manusia,” kata juru bicara bupati, Sangap Surbakti, didampingi koleganya Mangapul Silalahi, menjawab pertanyaan VICE.
Yang terjadi di kerangkeng tersebut, kata Sangap, sekadar upaya merehabilitasi mantan pecandu narkoba. “Kenapa digembok, karena pengguna zat adiktif itu, pada waktu tertentu bisa nagih, bayangkan ketika jam segini [malam] nagih dan tidak digembok, bayangkan apa yang terjadi, mohon maaf, tindak kekerasan seksual pun bisa terjadi,” ujarnya.
Polda Sumut telah memeriksa 63 saksi terkait keberadaan kerangkeng manusia itu dan menemukan adanya tiga korban meninggal yang terindikasi dari penemuan kuburan di sekitar lokasi kerangkeng, juga enam orang cacat diduga usai dianiaya.
Berdasar temuan LPSK, KontraS Sumut, juga Forum Peduli Buruh Sumatera Utara, para penghuni kerangkeng dipekerjakan mulai pukul 08.00–18.00 tidak menerima upah. Juga temuan KontraS Sumut, bahwa selama masih dalam tahap pembinaan, para penghuni yang bekerja sama sekali tidak mendapatkan upah.
Lebih dari sekedar melanggar aspek perizinan dan tindakan yang melampaui kewenangan, KontraS Sumut menilai, kerangkeng manusia itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).
“Seperti hak untuk tidak disiksa, hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani maupun hak untuk tidak diperbudak sebagaimana diatur oleh pasal 28I UUD 1945,” kata Amin, mengutip kesimpulan KontraS Sumut.