Sebuah video viral yang menggegerkan Pakistan membuat seorang ulama sepuh ditangkap polisi. Aparat di Kota Lahore menjerat sang mufti dengan pasal perkosaan, yang menyasar santri-santrinya.
Pelaku bernama Azizur Rehman, pengurus madrasah Jamia Manzoor-ul-Islamia. Penangkapan itu dilakukan berbekal rekaman video amatir, yang menunjukkan Rehman memaksa salah satu santri berhubungan seks. Penangkapan berlangsung pada 20 Juni 2021 lalu tanpa perlawanan dari pengurus ponpes. Selain Rehman, polisi juga mencokok dua anak sang ulama karena diduga mengancam para santri agar tutup mulut.
Inspektur Jenderal Inam Ghani, selaku Kepala Kepolisian Provinsi Punjab, mengkonfirmasi penangkapan sang ulama, serta akurasi video yang menyebar di masyarakat.
Kasus ini terkuak berkat keberanian santri yang menjadi korban perkosan Rehman. Video pendek itu direkam dengan ponsel, menunjukkan seorang remaja disetubuhi oleh Rehman. Dalam video yang viral, sosok santri itu menambahkan rekaman suaranya, menjelaskan konteks seks yang tidak konsensual itu.
Dia mengaku sebagai korban perkosaan, dan selama beberapa tahun sudah mengadukan perilaku sang ulama ke banyak pihak. Tapi dia malah diancam oleh anak Rehman agar tidak membocorkan perilaku ayah mereka. Kini sang santri terpaksa bersembunyi, setelah berhasil kabur dari pesantren dan menyebar video tersebut.
“Saya tidak mendapat keadilan sama sekali. Tidak ada yang percaya ketika saya bilang jadi korban pemerkosaan,” kata sang remaja lelaki ini, dengan suara terisak dalam video. “Saya siap mengakhiri hidup karenanya.”
Video tersebut hingga artikel ini dilansir masih beredar di kalangan pengguna Twitter dan YouTube Pakistan. VICE World News tidak menautkan cuplikannya, untuk melindungi privasi korban.
Sebelum ditangkap, sang ulama mengunggah lebih dulu video klarifikasi ke medsos, membantah dirinya pemerkosa. Rehman mengaku dibius dan difitnah oleh sosok perekam video, seolah-olah sedang berhubungan badan.
“Lihat, badan saya tidak terlihat bergerak di video itu. Saya pun pasti tahu kalau sedang direkam dengan ponsel bila berhubungan badan secara sadar,” kata Rehman.
Setelah diinterogasi polisi, Rehman mengakui mengajak beberapa santri berhubungan seks dan menurutnya semua itu terjadi secara konsensual, seperti dilaporkan situs berita Dawn. Namun, untuk kasus dalam video yang viral, si ulama mengaku sekadar “membantu” santri tersebut supaya bisa lulus ujian.
Syed Nayab Haider, juru bicara Kepolisian Punjab, mengaku akan menganalisis video yang viral. “Bukti yang ada saat ini sudah cukup kuat [untuk disebut pemerkosaan]. Namun perlu ada pemeriksaan lanjutan supaya kasusnya cukup untuk maju ke pengadilan,” ukar Haider saat dihubungi VICE World News.
Menurut Haider, aparat berhasil menemukan sang santri yang merekam video. Dia sudah masuk program perlindungan saksi dan menjalani terapi untuk memulihkan kesehatan mentalnya. “Kami tentu tidak bisa menjelaskan dia di mana, tapi intinya korban dalam kondisi sehat secara fisik,” tandas Haider.
Akibat kasus ini, Wafaq-ul-Madaris selaku lembaga yang membina pesantren di seantero Pakistan, mencabut gelar mufti yang melekat pada Rehman. Dia tidak boleh lagi mengajar seumur hidup dan tidak bisa disebut ulama oleh masyarakat.
Rehman adalah sosok ulama yang cukup terkenal, karena pandangan konservatifnya. Ponpes yang dia kelola mendapat murid dari kalangan menengah atas Pakistan. Rehman pernah viral beberapa tahun lalu, karena menyulut unjuk rasa yang menuduh video klip musisi Pakistan masuk kategori penistaan agama, lantaran disyuting dalam masjid.
Lebih dari 2,2 juta anak hingga remaja menempuh pendidikan formal di lembaga pesantren di seluruh Pakistan. Menurut investigasi yang dilansir Associated Press pada 2020, terjadi banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren, namun ditutup-tutupi oleh pemerintah.
Amna Baig, selaku komandan divisi perlindungan anak di Kepolisian Pakistan, mengakui bila kemungkinan masih banyak kasus perkosaan serupa tapi tidak dilaporkan korban, atau ditutupi oleh pihak madrasah.
“Kasus yang viral di Lahore hanya puncak gunung es kasus serupa di lingkungan pesantren,” kata Baig, saat diwawancarai VICE World News. “Salah satu problemnya, karena anak-anak tidak sadar mereka menjadi korban kejahatan seksual. Mereka juga belum paham mekanisme melapor ke aparat bila menjadi korban.”
Merujuk kesimpulan penelitian lain yang terbit pada 2020, diperkirakan delapan anak menjadi korban kekerasan seksual setiap hari di seluruh Pakistan. Kasus di Lahore ini menyulut kesadaran netizen di Pakistan soal maraknya kekerasan seksual, sekaligus potensi banyak lelaki diperkosa tapi tidak berani melapor karena malu atau diancam.
Baig mengaku selama bekerja sebagai polisi di Pakistan, menilai banyak lelaki yang jadi korban pemerkosaan cenderung tertutup. Ada faktor budaya maskulin yang berperan sehingga korban jadi enggan melapor ke polisi. “Mereka takut direndahkan balik kalau mengaku jadi korban pemerkosaan, apalagi di budaya Pakistan, konsep harga diri masih sangat berpengaruh,” tutur Baig.
Follow Pallavi Pundir di Twitter.