Ketakutan terbesar kita sejak kecil adalah kehilangan orang tua untuk selama-lamanya. Kita tak sanggup membayangkan hidup tanpa mereka, bahwa suatu saat nanti ayah ibu tak lagi berada di sisi kita. Barulah ketika kita beranjak dewasa kita memahami kematian sebagai sesuatu yang pasti, dan kita harus siap menghadapinya kapan pun itu terjadi pada orang-orang tersayang. Namun, itu tidak menghilangkan fakta betapa sulitnya memproses kematian di saat umur kita masih tergolong muda.
“Proses berduka sulit dihadapi pada usia berapa pun, tapi terasa lebih berat bagi mereka yang baru berusia 20-an dan 30-an. Tak banyak teman mereka yang mengalami hal serupa,” terang Nici Harrison selaku pendiri The Grief Space, platform yang menjadi sarana bagi orang berkabung mengatasi kesedihan mereka.
Kematian bisa datang begitu saja, atau terjadi setelah melalui proses yang panjang. Tak adanya tempat untuk bersandar membuat anak tidak bisa cepat menyesuaikan diri atau menerima situasi pasca ditinggal orang tua mereka.
Harrison paham betul betapa beratnya itu. Dia meluncurkan The Grief Space pada 2020, setelah ibunya bunuh diri. Harrison menyaksikan perjuangan ibu melawan depresi selama hidupnya, tapi dia tetap tidak siap ditinggal mati saat dia baru 23 tahun. Melewati masa-masa berkabung terasa begitu menyakitkan.
“Kesedihan menyeretku jauh ke dalam jurang,” kenangnya. “Saya merasa terasing dari dunia luar. Hidup saya berubah drastis. Menjalani terapi tidak cukup. Saya butuh tempat untuk mencurahkan betapa besarnya kesedihanku. Saya ingin bertemu orang-orang yang telah kehilangan orang tua sepertiku… karena itulah saya menciptakan The Grief Space.”
Dia menyebut komunikasi yang buruk sebagai masalah terbesar dalam menerima kematian. “Manusia tidak memiliki bahasa yang tepat untuk menunjukkan kalau mereka tidak ingin orang lain membuat keadaannya lebih baik; mereka cukup menyaksikan prosesnya saja. Sulit sekali membicarakan betapa susahnya mengusir kesedihan, betapa itu bisa sangat mengubah kehidupan kita, dan menyeret kita pada kesepian yang berkepanjangan.”
Rachel Wilson merasa sendirian ketika ibunya meninggal karena kanker. Dia baru 26 tahun kala itu, dan tak ada kenalannya yang melewati fase serupa. Wilson terseret dalam kesedihan yang berlarut-larut setelah mendengar kabar ibunya menderita kanker setahun sebelumnya. Alih-alih mempersiapkan diri untuk apa yang akan terjadi, dia justru bersikap denial atau menyangkalnya.
“Saya merasa terisolasi dan kebingungan setelah mendengar diagnosis awal,” kata perempuan yang menceritakan pengalamannya dalam buku berjudul Losing You(ng): How to Grieve When Your Life is Just Beginning. “Saya cuma bisa denial selama ibu sakit. Sulit rasanya menjalani kehidupan ‘normal’ layaknya orang dewasa berusia 25 tahun; menyelesaikan S2, mengikuti wawancara kerja dan berkencan, saat saya tahu suatu saat nanti ibu akan pergi.”
Tak sedikit yang merasa bersalah setelah ayah ibunya meninggal. Perasaan ini bisa muncul karena mereka tidak berada di sisi orang tua pada saat-saat terakhir mereka, atau justru melepaskan diri dari pengalaman hidup sendiri. Teman-teman Wilson sangat suportif, tapi dia merasa mereka tidak benar-benar memahami kesedihannya. Dia pun meminta saran pada podcast The High Low, dan dari situ dia berkenalan dengan para pendengar yang sepengalaman dengannya.
Siapa sangka, langkah yang dia ambil kala itu berujung pada terciptanya The Grief Network, perkumpulan orang-orang yang pernah melalui proses berkabung di usia muda. Membentuk komunitas dan bersandar pada support system yang tersedia — bisa melalui teman atau anggota keluarga yang masih hidup — dapat membantu meredakan emosi. Perasaan juga akan lebih tenang jika dikelilingi orang-orang yang mengenal almarhum dan memahami siapa dirimu sebelum berduka.
Saat Emily Thornton berusia 26, ibunya meninggal karena kejang akibat tumor otak. Kejadiannya sekitar delapan tahun lalu. Dia bersyukur teman-temannya sungguh perhatian dan mampu menariknya keluar dari kondisi terpuruk. Beruntungnya lagi, banyak dari mereka memahami betapa beratnya kehilangan ayah ibu.
“Setiap orang berduka dengan cara yang berbeda… Dengan egois kamu berharap dunia berhenti saat orang yang dicintai meninggal. Rasa duka penuh dengan pasang surut, tapi untungnya teman-temanku sangat baik dan sabar. Tindakan kecil sangatlah berarti.”
Teman-temannya mengirim karangan bunga setiap tahun — pada hari ulang tahun ibunya, saat merayakan Hari Ibu dan peringatan kematian ibu Thornton. Mereka bahkan ikut lari maraton untuk mengenang masa hidupnya. Sementara itu, Thornton merasa lebih terhubung dengan ibunya setelah belajar tarot — ibunya juga tertarik dengan tarot. Perjalanan hidupnya menjadi lebih mudah sejak dia sering bermimpi dikunjungi ibu.
Ibu Lina Barker meninggal secara tak terduga saat dia baru 25 tahun. Besar di keluarga Muslim, dia sulit menghadapi kenyataan jenazah ibunya harus segera dikubur — terlebih lagi ibunya tinggal di luar negeri.
“Semua terjadi begitu cepat. Saya dengar kabar ibu meninggal pukul 7 pagi, dan saya segera terbang ke Tanzania pukul 8 malam. Ibu sudah siap dikubur setibanya saya dan saudara perempuan di sana. Saya tak sempat mencerna pikiranku.”
Banyak kenalan yang melayat ke rumah Barker sepulangnya dia ke Inggris. Namun, kehadiran mereka justru membuatnya kewalahan, sehingga dia memutuskan pindah ke luar negeri demi memproses kematian ibunya. “Dari situlah kesedihan mulai menghinggapi hatiku. Proses pemakaman ibu begitu sibuk, sehingga saya baru bisa fokus mengelola perasaan pribadi setelah pindah ke Belanda.”
Tak ayal lagi, ada ketegangan yang lebih besar saat anak dibebani tanggung jawab setelah orang tuanya meninggal. Mau tak mau mereka harus mengimbangi antara perasaan berkabung dan kewajibannya sebagai anak. Lisa Smith* kehilangan ayahnya, yang sudah lama tidak dia temui, pada usia 23. Kedua orang tuanya berpisah karena sang ayah memperlakukan ibunya dengan kasar secara emosional. Akan tetapi, begitu ayahnya meninggal karena sakit, Smith lah yang harus mengurus segala sesuatunya, seperti mempersiapkan upacara pemakaman.
“Ada banyak urusan administrasi yang harus diselesaikan,” tutur Smith. “Ayah wafat tanpa meninggalkan sepeser pun untuk biaya pemakaman. Saya sampai harus mencicil pakai uang sendiri. Saya kecewa ayah tak terpikir menyisihkan sedikit uangnya agar saya tidak perlu menanggung semuanya. Saya sakit hati melihat uang berkurang setiap bulan untuk membayar cicilan; ini membuat proses berkabung semakin sulit.”
Selang beberapa waktu, teman Smith juga ditinggal orang tuanya. Namun, alih-alih merasakan duka yang sama, dia justru membandingkan nasibnya dengan teman, yang jauh lebih beruntung dan mendapat warisan. Sedangkan Smith terlilit utang dan cicilan, temannya bisa jalan-jalan dan beli rumah.
“Saya sulit menerima fakta tidak ada hal baik untukku,” lanjutnya. “Saya melalui semua ini dengan berfoya-foya, padahal saya sadar saya tak sanggup menanggung biayanya. Saya merasa saya pantas mendapatkan hal-hal bagus dan menikmati hidup setelah semua yang saya lalui. Saya hedon beli baju, mempercantik kuku dan kelayapan pakai kartu kredit. Sekarang saya harus bekerja keras melunasinya.”
Masa berkabung dapat membuka pikiran dan memberi kesempatan bagi mereka yang berduka untuk mempertimbangkan kembali prioritas dalam hidup. Smith pribadi merasa lega setelah ayah meninggal. Dia bergantung pada podcast Griefcast oleh Cariad Lloyd dan praktik “membersihkan kematian” — proses menata ulang kehidupan yang ngetren di Swedia — untuk berdamai dengan dirinya. Sementara bagi Barker, keputusannya pindah ke luar negeri membuat emosinya lebih terhubung meski pada awalnya dia sempat mengesampingkan kesedihan ditinggal ibu. Wilson sekarang lebih memprioritaskan kesejahteraan fisik dan mentalnya, sedangkan Thornton menyadari pentingnya menghabiskan waktu bersama keluarga.
Kehilangan orang tua saat kita baru beranjak dewasa mengingatkan kita betapa berharga dan singkatnya waktu. Anak muda mungkin cukup kreatif mencari komunitas dan menemukan mekanisme koping alternatif untuk mengatasi rasa duka mereka — baik melalui spiritualitas, terapi, pelarian maupun hubungan pertemanan — tapi setiap orang punya cara dan waktunya masing-masing untuk memproses perasaan mereka.
“Rangkul semua yang kamu rasakan,” ujar Harrison. “Carilah dukungan yang kamu butuhkan dan jangan lupa jaga kesehatan; proses berkabung sangat melelahkan. Rawatlah dukamu, ciptakan ruang untuk menghadapinya dan biarkan itu — percayalah semua selalu berubah. Kamu tak perlu ‘melupakan’ rasa berdukamu, tapi kamu bisa mengendalikannya dengan lebih baik dan memulai hidup baru di sekitarnya.”
*Nama telah diubah