Masih ingat saat penampilan nerd dibilang enggak keren? Kamu mungkin akan menjawab “enggak” kalau lahir pada atau setelah era 90-an. Sebab di tahun-tahun itulah anak geek mulai bersikap low-profile. Mereka mengubur dalam-dalam celana bokser kartun kebanggaan dan merangkul budaya pop, membanjiri dunia perfilman dengan ikon-ikon yang inspirasi dunia nyatanya terasa lebih manusiawi.
Anggota geng dalam film Quentin Tarantino berdebat tentang film gangster. Tokoh-tokoh dalam film indie Kevin Smith, yang bekerja sebagai karyawan toko, beradu mulut gegara Star Wars. Sejak nama keduanya melejit, semakin banyak film bermunculan yang dunianya terasa dekat dengan kehidupan asli penonton. Penulis skenario mana pun yang ingin cepat sukses mau tak mau menanggalkan wawasan budaya mereka — semakin enggak bermutu filmnya, semakin bagus. Pekerjaan dan kehidupan yang dulunya digambarkan membosankan dalam film kini menjadi kualifikasi penting menuju kesuksesan di industri hiburan Hollywood.
Di layar kaca, Buffy dan teman-temannya menjuluki diri mereka sebagai “Scooby Gang” saat berpetualang membunuh vampir. Sering kali mereka terdengar mengutip tontonan ikonik dari The Untouchables hingga The X-Files. Sementara itu, Seinfeld mengajak penonton menikmati sitkom dalam sitkom.
Namun, Scream tetap menjadi film meta yang tiada tandingannya. Karakter-karakternya secara tak langsung membongkar formula film slasher, yang merupakan genre Scream, di setiap lanjutan filmnya. Serial ini merupakan kemenangan postmodern: skenario Kevin Williamson menginspirasi genre-genre pengikutnya dengan keganasan yang setara. Bisa dibilang Scream film paling keren sepanjang dekade.
Kini, seperempat abad telah berlalu, dan Scream lagi-lagi mendapatkan versi terbaru. Seperti yang pernah dikatakan tokoh super jahat Dr. Evil: “Tak ada manusia yang lebih menyedihkan selain anak hipster yang bertambah tua.”
Ungkapan itu mungkin agak kasar untuk menggambarkan Scream 2022, yang masih tergolong layak ditonton dan menonjolkan kekejian yang sangat inovatif. Akan tetapi, adegan cerdas yang membuat filmnya ikonik — tokoh utama remaja mendiskusikan motif kejahatan Ghostface — gagal total dalam reboot kali ini. Kita sudah berulang kali menonton adegan ini. Postmodernisme sudah basi.
Scream bukan satu-satunya film “self-aware” yang digarap sutradara Hollywood baru-baru ini. No Time To Die dipenuhi adegan dan obrolan yang mengingatkan kita pada film-film Bond terdahulu. Saking banyaknya, film berdurasi hampir tiga jam itu terasa amat memuakkan.
Setidaknya itu masih lumayan buat ditonton, tak seperti The Matrix Resurrections yang menghabiskan lima menit cuma untuk membicarakan interpretasi populer dari film orisinil Matrix. Lebih parahnya lagi, ada adegan tokoh antagonis mengatakan, “Induk perusahaan tercinta kita, Warner Bros, bakalan bikin sekuel dari trilogi ini.” Film pertamanya sukses membuat kita bertanya-tanya akan eksistensi diri kita, sedangkan The Matrix Resurrections hanya tertarik menjustifikasi atau membenarkan kemunculan sekuel.
Anehnya, film baru Matrix dan Scream sama-sama dimulai dengan pengulangan adegan pembuka film pertama yang ikonik. Lebih aneh lagi, keduanya berhasil mengangkat momen karakter dalam film baru menonton film aslinya. Semua ini tentu sangat “self-aware”, sangat memanjakan diri. Kedua film yang sukses mengobrak-abrik dunia di sekitarnya kini hanya bisa bercermin ke dalam dunianya sendiri.
Mungkin ini menandakan masa-masa suram Hollywood, di mana waralaba film memprioritaskan nostalgia atau “fan service” demi profit semata.
Tapi ada masalah lain juga. Unsur “self-awareness” yang membedakan Scream dengan film lainnya pada 1995 digadang-gadang amat mengesankan. Hal itu menempatkan film dan penontonnya sebagai suatu yang cerdas, bijaksana di tengah arus utama dan mencemooh film-film sampah yang mengikutinya.
Namun, film “self-reflexive” semacam ini lama-lama menjadi mainstream juga. Di layar kaca, format mokumenter menjadi dambaan tontonan komedi cerdik. Ada ledakan sitkom yang para komediannya memerankan versi fiksi dari diri mereka sendiri, seperti Seinfeld. Film-film seram sekelas Scream bahkan diparodikan dalam serial Scary Movie. Film horor yang terinspirasi dari film horor menjadi sangat populer.
Kegagalan para pelopor di era 90-an dalam mewujudkan kembali kejeniusan awal mereka semakin menjadikan film meta tontonan yang medioker. Tapi ada pengecualian di sini. Setelah sukses dengan Buffy the Vampire Slayer, popularitas Joss Whedon terus meroket hingga dua dekade kemudian. Gaya filmnya yang khas begitu didewakan di Hollywood. Sayang sekali, perbuatannya yang kurang terpuji membawa Joss Whedon ke ambang kehancuran.
Tapi jauh sebelum itu, setelah melalui berbagai proyek penulisan naskah, skenario dan menyutradarai film bergengsi, dia berhasil menjadi tokoh kunci di balik Marvel Cinematic Universe — media waralaba yang mendapatkan ketenarannya sebagian karena menyinggung dan memasukkan unsur-unsur dari film Marvel lainnya. Industri ini benar-benar menguntungkan, dengan kekayaan melebihi US$25 miliar.
Scooby Gang Joss Whedon, yang terinspirasi dari film kartun Scooby Doo, nyatanya hanyalah pelopor dari generasi pahlawan super smart-ass yang menguasai tangga box office saat ini. Adegan meta yang dulu bikin penonton mengangkat alis dan dianggap lain daripada yang lain menjadi sumber penghasilan utama industri film 20 tahun kemudian.
Unsur “Self-aware” kini tak lagi mengomentari formula film Hollywood. Unsur itu sekarang sudah menjadi formula kesuksesan dunia perfilman. Ironis banget, ya?