Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Perspectives on Psychological Science menemukan, neoliberalisme semakin memperlebar kesenjangan ekonomi.
Kesimpulan itu muncul setelah para peneliti dari New York University dan American University of Beirut bekerja sama menganalisis data yang terkumpul selama 20 tahun dari 160 negara. Pandangan neoliberalisme yang mendominasi berbagai lembaga sosial dan ekonomi dunia telah menjadikan kesenjangan ekonomi sesuatu yang lumrah.
“Institusi, kebijakan dan hukum negara tak hanya membentuk kehidupan sosial kita, tetapi juga sangat memengaruhi pola pikir kita sebagai masyarakat,” kata Shahrzad Goudarzi, mahasiswa Ph.D. NYU yang memimpin penelitiannya, saat memberi keterangan pers.
Tim Goudarzi tertarik membuktikan benar tidaknya pernyataan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher pada 1981, bahwa sistem ekonomi dan politik dapat membentuk “hati dan jiwa”. Para peneliti mengartikan neoliberalisme sebagai “pendekatan sosial ekonomi dominan” dan akar “privatisasi, penghapusan konsep pemerintahan yang bertanggung jawab atas warga negaranya, dan pembatasan program redistribusi” yang telah mendominasi sejak 1970-an hingga saat ini.
Goudarzi dkk. lalu mengukur kekuatan neoliberalisme yang dianut suatu negara dengan Indeks Kebebasan Ekonomi ciptaan Fraser Institute, lembaga pemikir libertarian Kanada. Faktor-faktor yang dinilai mencakup “ukuran pemerintahan”, “regulasi bisnis, kredit dan tenaga kerja”, dan “kebebasan perdagangan secara internasional”.
Setelah itu, para peneliti mempelajari hasil World Values Survey untuk mengevaluasi sifat psikologis manusia terhadap ketidaksetaraan. Survei tersebut dilakukan empat tahun sekali untuk melihat pandangan seseorang terkait pernyataan-pernyataan, seperti “Diperlukan perbedaan pendapatan yang lebih besar sebagai insentif upaya individu” dan “Diperlukan pendapatan yang lebih setara”.
Hasil analisis menunjukkan korelasi antara penerimaan paham neoliberalisme dan keunggulan “penalaran berbasis kesetaraan”, istilah yang digunakan para ahli psikologi sosial untuk menggambarkan preferensi atas keuntungan daripada kesetaraan: pandangan yang mengedepankan pemberian upah sesuai waktu, tenaga dan keterampilan yang dikerahkan seseorang. Dengan kata lain, neoliberalisme telah mendorong keyakinan bahwa seperti halnya orang miskin, orang kaya pantas mendapatkan apa yang mereka peroleh karena mereka “bekerja lebih keras”.
“Institusi dapat mempromosikan kesejahteraan dan solidaritas, atau justru menimbulkan kompetisi, individualisme dan hierarki,” terang Goudarzi. “Studi kami menemukan, neoliberalisme telah mendorong kesenjangan ekonomi yang lebih besar di seluruh dunia, jadi bukan hanya di negara-negara industri.”
Para peneliti membuktikan sistem politik mampu membentuk keyakinan, tapi sayangnya, mereka tidak mencoba mencari korelasinya ke arah lain, bahwa keyakinan yang tersebar luas mampu mengubah sistem dalam periode waktu yang sama—yakni dalam kurun empat tahun.
“Manusia mungkin membentuk sifat ekonomi yang mereka anut secara intuitif, tapi penelitian kami menunjukkan sebaliknya—sistem ekonomi membentuk psikologi manusia hingga menyesuaikannya,” ujar Goudarzi. “Reformasi pasar bebas neoliberal tampaknya meningkatkan preferensi terhadap kesenjangan ekonomi.”