Berita  

Stigma Terhadap Orang Gemuk Dapat Membahayakan Perempuan Hamil

stigma-terhadap-orang-gemuk-dapat-membahayakan-perempuan-hamil

Beberapa tahun lalu, saat saya melakukan pemeriksaan rutin ke ginekolog, sang dokter tiba-tiba memberi tahu, saya enggak akan bisa hamil kalau terus “seperti ini”. Saya bingung apa maksudnya karena saya periksa bukan buat konsultasi soal kehamilan. Usiaku kala itu bahkan masih terlalu muda untuk membahasnya. Terlebih lagi, dokter asal memberikan diagnosis tanpa melakukan tes kesuburan dan hanya melihat ukuran tubuh saya yang besar.

Saat saya menceritakan pengalaman ini di Instagram, banyak pengikut mengatakan mereka pernah mengalami hal serupa.


“Dokter kandungan melarang saya untuk hamil. Katanya saya ‘tidak akan bertanggung jawab’,” kenang Céline lewat DM. Lalu ada Gaëlle yang divonis tidak subur, padahal belum pernah melakukan pemeriksaan. “Hatiku hancur mendengarnya… Tapi ternyata, itu cuma omong kosong. Saya langsung hamil setelah percobaan pertama,” tulisnya.

Kisah Gaëlle membuat kita, para perempuan gemuk, tersadar, ucapan dokter tidak bisa langsung dipercaya. Penelitian bahkan telah menunjukkan, rata-rata dokter hanya sebentar memeriksa pasien gemuk, jarang membangun hubungan baik dengan mereka dan memandang mereka secara negatif. Bias ini sering mengakibatkan dokter melihat pasien gemuk hanya melalui lensa rata-rata kelompok daripada memperhatikan kebutuhan dan kesehatan individu.

Mentor kesuburan Nicola Salmon di Inggris paham betul permasalahan ini. Nicola dinyatakan tidak akan bisa hamil saat dia baru 16 tahun. Alasannya karena dia mengidap Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS), gangguan yang menyebabkan menstruasi tidak teratur dan kerap dikaitkan dengan penambahan berat badan dan ketidakseimbangan hormon. “Saya diberi tahu, satu-satunya cara menyembuhkan ini yaitu dengan menurunkan berat badan,” terangnya. “Karena itulah saya menghabiskan sepanjang masa remajaku untuk menurunkan berat badan, naik lagi, melalui seluruh siklus itu.”

Tapi kenyataannya, dia mudah mendapat keturunan. “Saat itu, saya sedang gemuk-gemuknya dan memiliki siklus [menstruasi] lebih dari 100 hari. Saya akhirnya terpikir, ‘Kalau saya saja bisa hamil, terus kenapa kami dikasih tahu kayak begini? Apa buktinya dokter bisa berkata demikian?’”

Berangkat dari pengalaman ini, Nicola bertekad membantu perempuan gemuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak.

Dia yakin sebagian besar penelitian medis yang menjadi acuan tenaga kesehatan saat menangani pasien gemuk “didasarkan pada asumsi gemuk tidak sehat dan sebisa mungkin dihindari”.

Rata-rata, penelitian menunjukkan, tingkat kesuburan akan menurun saat Indeks Massa Tubuh (BMI) meningkat, terutama jika telah melebihi angka 30. BMI yang lebih tinggi juga terhubung dengan peningkatan peluang keguguran dan terjadinya komplikasi selama hamil, serta keberhasilan program bayi tabung yang lebih rendah. Namun, pernyataan-pernyataan ini sering dijadikan landasan bahwa semua orang dengan BMI lebih tinggi cenderung susah hamil dan melahirkan bayi yang sehat. Padahal kenyataan, setiap individu punya kondisi kesehatan yang berbeda-beda.

BMI tidak bisa dijadikan patokan untuk memeriksa kesehatan karena tidak mempertimbangkan massa otot, dan itu juga tidak membuat perbedaan antara orang gemuk yang sehat dan tidak sehat secara metabolik. Selain itu, “penurunan kesuburan tak melulu berarti tidak subur sama sekali,” ujar Nicola. Usia, misalnya, juga bisa menjadi faktor seseorang sulit hamil secara alami, tapi masih bisa dibantu cara alternatif seperti assisted fertilisation.

Sains belum menemukan hubungan sebab akibat antara kegemukan dan ketidaksuburan. Kita juga tidak tahu apakah kelebihan sel-sel lemak dalam tubuh, atau apakah kedua gejala tersebut merupakan akibat dari penyebab lain. Ini sangat penting karena meskipun penurunan berat badan kerap dianjurkan sebagai cara mempermudah kehamilan, belum banyak bukti yang mendukung hal tersebut.

Sebuah meta-analisis tahun 2017 yang meninjau 40 penelitian membenarkan bahwa penurunan berat badan dapat membantu orang gemuk hamil secara alami, tapi cara ini tidak membuat perbedaan apa pun selama program bayi tabung dan tidak meningkatkan peluang perempuan gemuk untuk melahirkan bayi yang sehat. Selain itu, “tak ada satu pun penelitian yang memisahkan efek diet untuk menurunkan berat badan dari tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan seperti pola makan sehat atau berolahraga,” imbuh Nicola.

Studi lain yang diterbitkan awal tahun ini memperhatikan kemajuan 379 perempuan tidak subur dengan BMI di atas 30 selama menjalani program gaya hidup sehat dengan harapan dapat meningkatkan kesuburan. Para peserta dibagi menjadi dua kelompok: pertama wajib menjalani diet ketat dan serangkaian olahraga untuk menurunkan berat badan, sedangkan kelompok lain fokus pada peningkatan aktivitas fisik tanpa tujuan menurunkan berat badan. Mereka kemudian diberikan obat kesuburan setelahnya. Namun, para peneliti tak melihat perubahan apa pun pada tingkat kesuburan mereka, yang berarti masalah sesungguhnya tidak terletak pada berat badan mereka.

Nicola mengutarakan, ada banyak alasan mengapa tingkat infertilitas jauh lebih tinggi pada orang bertubuh besar. “Stigma terhadap berat badan merupakan faktor yang jarang dipertimbangkan,” tuturnya. “Saat kita stres, kadar hormon stres [kortisol] akan meningkat. Peningkatan ini dapat berdampak pada kadar hormon dan fungsi tubuh kita. Fisiologi kita terpengaruh.”

“Weight cycling” — proses penurunan dan kenaikan berat badan secara berulang yang umum terjadi pada orang dengan BMI tinggi — juga dikaitkan dengan risiko kesehatan, seperti tingkat peradangan dan fluktuasi hormon yang lebih tinggi, yang dapat mengganggu keseimbangan yang diperlukan untuk pembuahan. Mirisnya, saat perempuan gemuk sulit hamil, banyak dokter ogah melakukan tes pemeriksaan tambahan untuk melihat kondisi kesehatan mereka. Pelayanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS), misalnya, tidak menyediakan program bayi tabung bagi pasien dengan BMI di atas 25. Tindakan diskriminatif terhadap orang gemuk masih banyak terjadi di Inggris, Eropa dan berbagai belahan dunia lain.

Diskriminasi dan penghinaan juga terjadi sepanjang masa kehamilan. “Jangan kebanyakan pas hamil!” kata dokter kandungan Céline, yang juga terheran-heran kenapa tunangan Céline mau menikahinya.

Seseorang bernama Sonia meminta agar dokter kandungan berhenti memeriksanya keras-keras sampai dia kesakitan, tapi sang dokter malah menjawab: “Saya tidak bisa melihat apa-apa karena badanmu tertutup lemak.”

Saya benar-benar patah hati saat membaca kisah Diane. “Orang mempermasalahkan berat badanku selama saya hamil,” tulisnya. “Mereka bilang saya akan kena diabetes gestasional — nyatanya tidak. Mereka bilang anakku akan terlahir gemuk — itu tidak benar. Mereka bilang saya akan mengalami komplikasi — tapi saya baik-baik saja. Mereka lalu memaksaku untuk diinduksi lebih awal agar bayinya tidak terlahir ‘terlalu gendut’. Bayi saya belum siap lahir, jadi mereka akhirnya melakukan operasi caesar darurat padaku. Saya mengalami pendarahan, bayiku mengalami masalah pernapasan — kami berdua hampir mati gara-gara mereka fobia gemuk.”

Kita semua sudah tahu bahwa orang gemuk diperlakukan tidak adil, tapi saya tetap tak habis pikir, bagaimana bisa dokter yang seharusnya berperan menjamin kesehatan para pasiennya, malah berbuat jahat hanya karena berat badan pasien. Andaipun benar orang gemuk umumnya kurang subur, bukan berarti mereka bisa diperlakukan semena-mena. Mereka hanyalah manusia biasa yang berhak dihargai dan diperlakukan secara terhormat. Kita merasa kasihan pada perempuan kurus yang sulit hamil, tapi giliran hal itu terjadi pada orang gemuk, malah mereka yang disalahkan. Makanya jangan kegemukan, mungkin begitulah kata orang-orang.

“Yang salah sebenarnya bukanlah tubuh kita, melainkan sistem yang berlaku di sekitar kita,” tandas Nicola. Dia menemukan banyak kliennya hanya membutuhkan pengobatan yang lebih disesuaikan dengan kondisi mereka. “Klien saya yang mengalami PCOS sebenarnya cuma butuh induksi ovulasi untuk meningkatkan kesuburannya, tapi mereka tidak bisa mendapatkan perawatan itu.”

Banyak perempuan gemuk meminta bantuan Nicola karena mereka diabaikan oleh nakes saat mengajukan untuk ikut program bayi tabung. Mereka selalu mendengar alasan seperti tingkat keberhasilannya rendah. “Padahal, penelitian yang dijadikan acuan kerap memberikan pengobatan yang sama pada waktu yang sama persis, tanpa mempertimbangkan orang gemuk mungkin membutuhkan dosis yang lebih tinggi atau prosedur yang berbeda.”

Saya berharap artikel ini dapat memberi pembaca sekalian secercah harapan, dan mungkin bisa menjadi pertimbangan atau bahan diskusi dengan dokter. Saya harap artikel ini akan memberikanmu kekuatan untuk memperjuangkan hak-hakmu mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan diperlakukan secara adil. Tak ada satu pun orang, terutama mereka yang berkewajiban menjamin kesehatan pasiennya, yang dapat memperlakukanmu dengan buruk.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Belgium.