Berita  

Stigma ala OrBa Tak Lagi Dipertahankan, Keturunan PKI Bisa Daftar TNI

stigma-ala-orba-tak-lagi-dipertahankan,-keturunan-pki-bisa-daftar-tni

Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu institusi di negara ini yang memiliki reputasi keras memegang sikap antikomunis, khususnya sejak Tragedi 1965. Tak sedikit purnawirawan jenderal rutin mengobarkan sentimen fobia menjelang akhir September, menyebut sel-sel PKI siap bangkit lagi merebut Indonesia. Orde Baru, rezim otoriter yang didominasi petinggi militer, sampai menerapkan sistem “Bersih Lingkungan” demi menyisihkan orang yang memiliki keluarga anggota Partai Komunis Indonesia, sehingga tidak bisa diterima di pemerintahan dan dinas tentara.

Di tengah sejarah lembaga yang kerap disebut mendiskriminasi keturunan korban 1965, pernyataan terbaru Panglima TNI Andika Perkasa membawa terobosan besar. Dia menuntut seluruh matra TNI tidak lagi melarang pendaftaran calon taruna yang keluarganya dulu pernah menjadi anggota atau simpatisan PKI. Keputusan ini disampaikan Andika saat memimpin rapat koordinasi penerimaan prajurit TNI tahun 2022, mencakup seleksi perwira prajurit karier, bintara prajurit karier, dan tamtama prajurit karier, yang ditayangkan lewat akun YouTube pribadinya.


“Zaman saya tidak ada lagi [penyaringan seleksi berdasar] keturunan dari [PKI] apa tidak. Karena apa? Saya gunakan dasar hukum,” ujar Andika.

Dalam rekaman YouTube tersebut, Andika terlihat mendikusikan kenapa salah satu poin seleksi prajurit TNI yang masih menyorot status keturunan PKI. Salah satu soal tersebut tertulis: “Bagaimana pendapat Sdr/i terhadap keturunan pelaku pemberontakan komunis yang menjadi anggota TNI/PNS TNI?”

Jenderal Andika menyampaikan pada jajaran stafnya, TNI tidak bisa lagi memakai dasar hukum TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 untuk otomatis melarang partisipasi keturunan anggota PKI mendaftar jadi prajurit. Sebab, isi dalam TAP MPRS tersebut hanya melarang penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme di Indonesia. TNI, menurutnya, tidak berhak membatasi hak warga negara untuk bergabung dengan militer, akibat pilihan politik keluarganya puluhan tahun lalu.

“Keturunan [PKI] ini apa dasar hukumnya, apa yang dilanggar sama dia? Jadi jangan kita mengada-ngada,” tandas Andika. “Kalau kita melarang, pastikan kita punya dasar hukum.”

Merujuk laporan Kompas.com, dalam sesi tersebut Andika sekaligus memerintahkan penghapusan syarat bisa berenang dan tes akademik untuk calon taruna. Dua tes itu, menurut Panglima TNI, membatasi cakupan calon prajurit yang barangkali berniat bergabung dengan militer Indonesia, tapi lantas gentar dan tidak percaya diri sesudah membaca persyaratannya.

“Kita enggak fair juga, karena ada orang yang enggak pernah renang,” kata Andika. Untuk pengganti tes akademik, Panglima TNI menyarankan seleksi menggunakan IPK untuk calon perwira, atau ijazah SMA bagi calon tamtama.

Rangkaian perubahan progresif itu dalam seleksi TNI, terutama soal penghapusan batasan bagi keluarga keturunan PKI, disambut baik pengamat. Keluarga PKI hingga masa setelah reformasi masih sering mengalami diskriminasi yang tidak perlu di Indonesia. Salah satunya, mereka juga seharusnya berhak mengabdikan diri untuk negara melalui militer.

“Kita tahu negara ini memang punya keputusan politik yang melarang ajaran komunisme, tapi kan mestinya itu tidak boleh diterapkan secara membabibuta. Apalagi hukum positif kita tidak mengenal dosa warisan,” kata Khairul Fahmi, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), saat diwawancarai BBC Indonesia.

Saat diwawancarai media, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi sendiri tidak mempersoalkan bila TNI kini membolehkan keluarga yang punya leluhur PKI mendaftar seleksi. Meski begitu, dia meminta TNI tetap rutin menjalankan pengawasan ideologi para prajurit, agar tidak bertentangan dengan Pancasila.

“Selama memang tetap ada tes wawasan kebangsaan dan memastikan tidak terpapar pemikiran leninisme, komunisme dan marxisme yang merupakan ajaran terlarang berdasar TAP MPRS no 25/1966,” kata Bobby.

Periode kepemimpinan Andika sebagai panglima, serta sebelumnya KSAD, membuahkan terobosan penting lain. Misalnya, penghapusan tes keperawanan yang diumumkan pada 2021. Tes yang tidak ilmiah dan mengabaikan kehormatan perempuan itu akhirnya tak lagi diterapkan bagi calon prajurit Korps Wanita serta calon istri prajurit. “Tes keperawanan” juga biasa disebut tes dua jari, mengacu pada teknik memasukkan dua jari ke dalam vagina calon prajurit untuk memeriksa apakah ada kerusakan pada selaput dara sebagai syarat lolos seleksi.

Peneliti Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono, saat dihubungi VICE tahun lalu, menyebut bahwa perubahan ini bukan semata inisiatif Andika seorang. Ada perubahan di internal institusi yang mengharapkan TNI lebih inklusif.

“Saya tahu banyak keluarga besar TNI, termasuk dari kalangan istri dan anak perempuan, juga keberatan dengan praktik yang merendahkan perempuan ini. Mereka bekerja di balik layar guna mendorong suami, ayah atau kakek mereka untuk lakukan perubahan,” kata Andreas kepada VICE.