Band indie kenamaan Tanah Air, Stars and Rabbit, pada awal November 2022 merilis materi anyar yang konsepnya amat segar dalam lanskap musik Indonesia. Band beranggotakan Elda Suryani dan Didit Saad itu berkolaborasi dengan reporter investigasi Ian Urbina, menyorot pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan di laut, dengan tajuk ‘The Outlaw Ocean Music Project’. Sangat sedikit musisi lain di Indonesia merilis materi berdasarkan tafsir atas laporan jurnalisme investigasi.
Ada tiga lagu Stars and Rabbit yang dirilis dalam EP Far Away From Land, terdiri atas “13 Miles Offshore”, “While We Beat the Waves”, serta “Soul Whispers”. Lirik-liriknya menggambarkan keterasingan, ketakutan, serta renungan atas bermacam marabahaya di laut lepas. Lirik-lirik tersebut didasarkan pada salah satu bab dalam buku Ian Urbina.
Sementara itu gitar kini tidak terlalu dominan seperti materi mereka sebelumnya di album Rainbow Isles atau On Different Days selepas Didit Saad gabung. Suara synth serta komposisi yang lebih atmosferik mewarnai suara khas Elda dalam tiga single anyar ini.
Dalam video yang diposting oleh The Outlaw Ocean Project, Stars and Rabbit merefleksikan mengapa mereka tertarik pada buku The Outlaw Ocean yang ditulis oleh Ian Urbina pada 2019.
“Jika Anda benar-benar peduli dengan laut, cerita Ian menjadi sangat penting,” kata Elda, seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima VICE. “Sebuah perjalanan yang intens dan berbahaya selama lima tahun diilustrasikan dengan jelas seolah-olah kita berada disana menyaksikan langsung apa yang orang bisa lakukan ketika jauh dari daratan tanpa hukum. Mengetahui bahwa apapun yang bisa terjadi di laut sangatlah mengejutkan.”
“Saya langsung yakin bahwa ini adalah proyek yang berharga karena sebagai musisi kami terpanggil untuk ikut ambil bagian dalam menyuarakan isu ini,” imbuh Elda.
The Outlaw Ocean Music Project, program yang dijalankan oleh label Synesthesia Media, adalah upaya global dan ekspansif untuk menyebarluaskan jurnalisme investigasi The Outlaw Ocean Project kepada khalayak luas, dengan cara merilis musik yang terinspirasi oleh liputan lepas pantai.
Beragam genre dari klasik, hip-hop hingga elektronik, ratusan musisi dari seluruh dunia bergabung dalam proyek ini. Bahkan banyak menggunakan audio rekaman kejadian di lapangan dalam lagu ciptaannya.
VICE sendiri pernah mewawancarai Urbina membahas bukunya. Jurnalis investigatif yang pernah menulis untuk the New York Times hingga the Atlantic itu menghabiskan waktu lima tahun melaut, demi mendapatkan data-data untuk penulisan buku The Outlaw Ocean.
Buku ini berisi kisah-kisah macam ini yang menceritakan pelanggaran hukum serta hak asasi manusia di laut. “Saya memikirkan lautan sebagai tempat ‘di luar jangkauan hukum,’ alih-alih tempat yang penuh aktivitas ilegal,” kata Ian. “Dengan perspektif seperti itu, saya tidak menghakimi etika perilaku semua orang yang dituliskan dalam buku ini. Saya hanya mengamati mereka dari luar.”
Cerita-cerita The Outlaw Ocean membongkar kenyataan rahasia “di atas dan di bawah permukaan laut,” kata Ian, mencakup cerita tentang dokter relawan yang menyediakan aborsi di sudut samudra, pekerja kapal tanpa dokumen yang mati di laut, hingga pembuangan sampah ilegal di laut. Itu belum termasuk pengamatan Ian atas berbagai kejahatan khas maritim, seperti pembajakan, perbudakan, hingga pencurian ikan.
Di daratan, pembaca mungkin merasa tidak terlibat dalam isu-isu kejahatan maritim. Faktanya perabadan manusia modern sangat mengandalkan laut. Kapal laut mengangkut 90 persen produk perdagangan global. Selain itu, 56 juta orang di dunia bekerja di kapal nelayan, merujuk data di buku Ian. Pencurian ikan memasok sebagian besar persediaan pangan dunia, yang menjadi tantangan pelik yang tak kunjung diatasi pasar, pemerintah, maupun organisasi nirlaba.