Dewan Rakyat Malaysia, pada Senin (3/10), menyetujui rancangan undang-undang yang akan menjadi payung hukum untuk menangani kasus pelecehan berulang tapi tidak melibatkan agresi fisik, seperti menguntit, memaksa berkenalan, memantau setiap gerak-gerik seseorang di sekitar tempat tinggal mereka, atau memberikan sesuatu tanpa persetujuan. Amandemen KUHP menetapkan hukuman maksimal tiga tahun penjara, denda, atau keduanya bagi warga yang melanggar peraturan ini.
“Saya yakin [undang-undang] ini akan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap mereka yang rentan menjadi korban. Saya sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan,” ucap Mas Ermieyati Samsudin, Wakil Menteri di Departemen Perdana Menteri bidang Hukum dan Parlemen, pada Senin. “Sudah sering terjadi pelaku lolos dari hukum. Kita bisa mencegah itu terjadi dengan adanya amandemen ini.”
Keputusan ini adalah sebuah kemenangan bagi para aktivis yang sangat gigih memperjuangkan terwujudnya undang-undang anti-penguntitan di Malaysia. LSM Women’s Aid Organisation, misalnya, telah mengajukan pemidanaan terhadap penguntit sejak 2014.
“Banyak orang heran [Malaysia] tidak punya undang-undang anti-penguntitan, karena seharusnya undang-undang ini sudah ada sejak dulu,” kata Louise Tan, anggota Women’s Aid Organization yang mengurus kampanye, saat dihubungi VICE World News.
Dia menambahkan, kesediaan anggota parlemen mempertimbangkan RUU menandakan mereka “mengakui trauma yang dialami para penyintas.”
Persetujuannya terjadi tepat di saat pemerintah Malaysia menghadapi gelombang kritik akibat kurangnya perlindungan bagi target aksi penguntitan.
Tahun lalu, seorang ibu di kota Ipoh tewas ditikam oleh kekasihnya di depan anak-anaknya. Perempuan 31 tahun itu sudah berulang kali melaporkan pelaku ke polisi karena sering mengganggu dan memaksa masuk ke rumahnya. Namun, polisi hanya menghukumnya atas tuduhan memasuki properti orang tanpa izin. Pelaku tidak jera sama sekali, dan terus mendatangi rumah korban setelah bebas dari penjara.
Pada 2017, seorang warga Kuala Lumpur menembak mantan istrinya di tempat kerja korban usai bertengkar dengannya. Perempuan itu juga sudah melaporkannya ke polisi, tapi tidak jelas bagaimana kelanjutannya. Pelaku bunuh diri setelah melakukan aksinya.
Hukum yang mengatur pelecehan di Malaysia hanya menangani kasus penguntitan yang melibatkan kekerasan fisik, terlepas dari kenyataan tindakan itu berpotensi mengarah ke perilaku yang lebih ekstrem dan dapat membuat penyintas tertekan. Kepada Reuters, seorang penyintas menceritakan pengalamannya dikejar penguntit ke mana pun ia pergi. Perempuan itu terpaksa berhenti dari pekerjaannya dua kali karena ketakutan. Penguntit juga tiada henti menghubungi ponselnya setiap hari. Sayangnya, pihak berwajib kerap tidak memperlakukannya sebagai tindak kriminal.
Tan mengatakan, tiadanya undang-undang yang secara khusus mengatur penguntitan, insiden semacam ini ditangani sebagai pelanggaran terpisah, bukan pola penguntitan yang berkelanjutan.
“[Korban] perlu melaporkannya berulang kali ke berbagai platform, dan setiap insiden hanya akan dievaluasi sesuai tingkatannya masing-masing,” terangnya. “Pelanggarannya jarang sekali ditangani secara totalitas.”
Malaysia menjadi salah satu dari segelintir negara di Asia yang memiliki undang-undang anti-penguntitan. India menetapkan penguntitan sebagai tindak kejahatan bersama dengan seperangkat undang-undang anti-pemerkosaan pada 2013, sedangkan Singapura mengakuinya dalam undang-undang anti-pelecehan pada 2014. Tahun lalu, Jepang memperluas cakupan tindakan penguntitan yang diatur dalam UU, seperti memasang alat pelacak GPS pada mobil target dan mengirimi surat dengan maksud mengganggu korban.
Pemerintah Malaysia sebenarnya telah membentuk komite yang berfungsi mengatur RUU anti-penguntitan pada 2019. Namun, pembahasannya cukup lamban, terlepas dari janji akan diajukan ke parlemen akhir tahun lalu.
RUU baru disahkan Dewan Rakyat pekan ini setelah melewati pembacaan pertama pada Agustus, dan masih harus menerima persetujuan dari majelis tinggi Dewan Negara sebelum ditandatangani oleh Raja Malaysia.
“Masih ada selangkah lagi [bagi penyintas] untuk mendapatkan perlindungan dari para penguntit,” kata Tan. “Kami harap para penyintas bisa menjadi lebih tenang setelah UU ini disahkan. Karena saat ini, cuma mereka yang bisa melindungi dirinya sendiri.”
Follow Koh Ewe di Twitter dan Instagram.