SMA Negeri 1 Dramaga, Bogor, Jawa Barat sedang dalam sorotan. Pada Jumat (16/9) lalu, salah satu guru yang mengurus bidang kesiswaan ngide-ngide mengumpulkan para siswi yang “bolos” salat duha dengan alasan sedang menstruasi. Motif si guru ingin memeriksa kejujuran muridnya dengan cara yang problematis: ia meminta sesama siswi untuk meraba rok temannya dengan tujuan memeriksa ada-tidaknya pembalut.
Aksi yang sudah tergolong pelecehan seksual ini kontan memancing protes orang tua murid ke sekolah. Kabar kasus ini juga langsung beredar di media sosial, bahkan muncul tudingan kalau para siswa sampai diminta membuka celana dalam sebagai pembuktian sedang haid.
Sekolah lantas merespons lewat juru bicaranya, Baitul Harahap. Doi membantah terkait tuduhan membuka celana dalam yang diarahkan ke sekolahnya. Namun, ia mengonfirmasi bahwa memang ada perintah saling raba bagian belakang rok oleh seorang guru perempuan.
“Ibu gurunya juga menyampaikan, ‘Mohon maaf ke kalian, apa kalian misalkan mau menerima seperti begini, istilahnya orang Sunda dicabak [dipegang] sedikit aja, kalau dicabak ada pembalut, oh benar, sedang datang bulan,’” kata Baitul kepada Detik, Rabu (21/9) kemarin.
Pemeriksaan ini dilakukan sang guru kepada siswi kelas X sampai XII. Baitul menyampaikan tidak semua siswi kena raba karena keburu harus masuk kelas. Ia menyebut cara ini dilakukan secara spontan oleh sang guru karena curiga semakin banyak siswi yang bolos ibadah.
“Iya, [sebelumnya] belum ada [permintaan seperti ini], yang saya bilang tadi, spontan. Dari kesiswaan kan mereka mungkin punya data melihat anak-anak putri semakin bertambah [yang tidak ikut salat duha] gitu. Oh iya, mungkin siklusnya seperti itu, tapi kok ini tambah banyak,” tambahnya.
Pihak sekolah mengaku bahwa orang tua murid yang protes atas kejadian ini sudah datang ke sekolah dan masalah diklaim sudah selesai dengan cara kekeluargaan. Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kabupaten Bogor juga mendatangi SMAN 1 Dramaga untuk meminta klarifikasi. Komisioner KPAD Kabupaten Bogor Heni Rustiani dalam keterangan resminya menjelaskan persis seperti apa yang disampaikan Baitul.
Meski begitu, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menganggap kebijakan guru SMAN 1 Dramaga tidak bisa dibenarkan. “Ini jelas sudah masuk pelanggaran anak, hak mereka dan tidak boleh ada tindakan seperti itu, apa urgensinya? Harus diperiksa haid apa tidak, itu sangat berlebihan,” kata Sirait saat dikonfirmasi media. “[Pemeriksaan rok] sudah termasuk kekerasan juga karena yang memegang atau periksa kewenanganya harus direkomendasi polisi, didampingi orang tua, dan di puskesmas juga sama ada pendampingan.”
Ketidakpahaman pemegang otoritas mengenai definisi pelecehan seksual jelas bukan eksklusif milik SMAN 1 Dramaga. Melihat ke belakang, Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan Bungo, Jambi, dan sebuah SMA di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, juga pernah menyatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di yurisdiksi mereka sebagai “kenakalan remaja biasa”.
Penegak hukum juga setali tiga uang. Contoh epic tahun ini terjadi pada Juni kemarin, ketika Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polres Tangsel Iptu Siswanto menyepelekan pelecehan seksual yang terjadi di Mal Bintaro Xchange dengan menyebutnya “cuma dipegang-pegang dari luar”. Sementara di Gresik, seorang kapolsek mengomentari pelecehan seksual terhadap anak di wilayahnya sebagai bukan pelecehan seksual cuma karena baju anak tidak dibuka pelaku.