“Sangat memalukan,” komentar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian usai mengetahui Gubernur Papua Lukas Enembe baru saja terang-terangan melanggar aturan imigrasi paling standar di seluruh dunia: menerobos perbatasan antarnegara tanpa paspor. Akibat perbuatannya, 2 April lalu otoritas setempat mengeluarkan perintah deportasi Lukas untuk, yang segera jadi skandal nasional di internet Indonesia.
Kisah absurd berujung deportasi ini bermula ketika Lukas Enembe bersama dua pendampingnya, Hendrik Abidondifu dan Ely Wenda, memesan ojek online dari Jayapura ke Kota Vanimo, Papua Nugini pada 31 Maret 2021.
Mereka kemudian melintasi perbatasan lewat jalan setapak untuk menghindari pos perbatasan. Sopir ojek rombongan Lukas yang tak mau disebutkan namanya mengatakan kepada wartawan, mulanya ia tak mengenali sang gubernur karena yang bersangkutan memakai masker. Ia juga dibayar sangat besar, Rp100 ribu, padahal ongkos standar hanya 2 kina (mata uang Papua Nugini), setara Rp7 ribu.
Mungkin kalau tukang ojek ini akhirnya menyadari penumpangnya adalah gubernur yang sedang melanggar aturan imigrasi, bayaran besar itu akan membuatnya sungkan membocorkan rahasia. Masalahnya, teman sesama tukang ojek di pangkalanlah yang mengenali Lukas.
“Waktu sampai di pangkalan ojek, teman saya bilang, ‘Enembe kah?’ saya kurang tahu,” ujarnya, dikutip Kompas. Tukang ojek lain tersebut kemudian melapor ke pos Satgas TNI Yonif 131 di Abepura. Entah gimana ceritanya, dari situlah pemerintah Papua Nugini jadi tahu gubernur provinsi tetangga habis menyelundup ke negara mereka. Lukas bersama rombongannya kemudian diperiksa di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw, Jayapura, pada 31 April dan langsung dideportasi dua hari kemudian.
Lukas saat dikonfrontasi wartawan di PLBN Skouw mengakui kesalahannya. “Saya mengetahui apa yang dilakukan salah karena melintas dan masuk wilayah PNG melalui jalan setapak dengan menggunakan ojek,” akunya, dikutip CNN Indonesia. Lukas menjelaskan alasannya masuk Vanimo untuk menjalani terapi saraf kaki. Namun, ia tak mendetailkan mengapa harus masuk secara ilegal.
Gara-gara ulah Enembe, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sampai perlu mendatanginya untuk nyari tahu alasan doi melanggar aturan imigrasi. Ia juga menekankan yang dilakukan Enembe itu salah, apa pun alasannya. Kemendagri telah melayangkan teguran resmi, menyebut bahwa Enembe telah melanggar UU 23/2014 tentang Pemda Pasal 67b, Pasal 77 ayat 2, Pasal 373 ayat 1, Pasal 374 ayat 2, dan Permendagri 59 Tahun 2019.
“Sampai hari ini Pak Gubernur tidak pernah mengajukan izin ke Kemendagri [untuk keluar negeri], tidak pernah. Kalau memang urgent sekali, komunikasi dengan saya sebagai otoritas yang memberikan izin, setelah itu surat menyusul, makanya saya mau temuin [tatap muka di Jayapura],” kata Tito hari ini di Jayapura, dilansir Kompas. “Nanti saya akan menanyakan penyebab Gubernur Enembe pergi secara ilegal dalam pertemuan nanti karena itu sangat memalukan,” tambah Tito, dikutip Merdeka.
Lebih dari sekadar kasus gubernur rebel (?), kasus Enembe ini menarik karena terhitung sudah dua kali ia menciptakan drama nasional sesudah mengaku sakit. Pada Maret 2020, Enembe pernah jadi pembicaraan karena tiba-tiba pergi ke Jakarta, mencarter pesawat, untuk berobat. Ia kemudian dirawat di RS Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto selama tiga bulan. Selama itu, Enembe bolak-balik Jakarta-Jayapura dan baru dinyatakan sehat pada Juli 2020.
Sayangnya, ketika politisi Partai Demokrat itu akhirnya keluar dari RS, tak ada penjelasan memuaskan apa sakit yang ia derita sampai harus dirawat berbulan-bulan. Dokter pribadinya, Anton Mote, berkilah. Enembe sekadar menjalani pemeriksaan medis. “Beliau ke Jakarta hanya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rutin tahunan yang sempat tertunda,” demikian keterangan Anton secara tertulis pada 14 April 2020, dikutip Kompas.
Tak ada petunjuk apa yang sedang diderita pria berusia 53 tahun itu. Dalam keterangannya soal terapi saraf kaki ke Papua Nugini, Enembe sekaligus mengaku harus terapi saraf otak di Jakarta. Mendagri pun mengakui tahu bahwa kondisi kesehatan Enembe tak baik.
“Saya tahu beberapa kali di Jakarta beliau berobat di rumah sakit di sana, kemudian kondisi fisiknya saat itu tidak begitu bagus. Saya terakhir [bertemu] sebulan lalu. Cuma mengenai masalah ke PNG, gubernur sempat menelepon saya [setelah kejadian] bahwa itu dalam rangka berobat kaki,” kata Tito.