Istilah hubungan kemitraan lazim terdengar dalam diskusi terkait ketenagakerjaan di Indonesia, berbarengan dengan menjamurnya platform-platform gig economy.
Sayangnya, tiadanya hukum yang secara jelas meregulasi hubungan kemitraan ini membuat para mitra – yang kerap tak punya pilihan mata pencaharian lain akibat rentannya pasar ketenagakerjaan – terbelenggu ketidakpastian kerja yang mengancam kesejahteraan mereka. Ini juga berpotensi membuat pemberi kerja memilih menerapkan relasi kemitraan demi keuntungan mereka sendiri.
Gig economy adalah hubungan kerja jenis baru yang menghubungkan pekerja dengan konsumen melalui perantara platform digital untuk melakukan pekerjaan dalam waktu yang singkat. Contoh gig economy yang populer di Indonesia adalah jenis on-demand-platform atau aplikasi berbasis permintaan konsumen seperti Gojek, Grab, Maxim, dan Shopee Food.
Dari sisi hukum ketenagakerjaan, hal yang membedakan gig economy dengan jenis pekerjaan pada umumnya adalah kategorisasi para pekerja sebagai partner atau mitra. Mereka tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan gig, melainkan hanya terikat dengan hubungan kemitraan. Akibatnya, para pekerja ini tidak mendapatkan hak-hak dan perlindungan hukum selayaknya karyawan dari perusahaan tersebut.
Namun, hingga saat ini, hubungan kemitraan di Indonesia tidak jua dianggap sebagai isu serius oleh pemerintah. Ini terlihat dari masih kosongnya pengakuan hukum terhadap mitra dalam gig economy.
Kekosongan hukum hubungan kemitraan
Berbagai penelitian telah mengkritisi penggunaan hubungan kemitraan dalam gig economy. Putusan pengadilan di beberapa negara bahkan secara jelas menyatakan bahwa hubungan yang terjadi di platform-platform gig economy, misalnya Uber, tidak selayaknya diklasifikasikan sebagai hubungan kemitraan melainkan sebagai hubungan kerja. Sebab, platform penyedia jasa memiliki kontrol yang besar terhadap “mitranya”, misalnya lewat penggunaan algoritma yang “memaksa” pekerja untuk terus mengambil order jika ingin performa kerjanya terjaga.
Belum ada perkembangan pengaturan yang signifikan terkait dengan hubungan kemitraan di Indonesia. Padahal, pertumbuhan pekerja gig economy di Indonesia cukup pesat. Meski belum terdapat data pasti, laporan Fairwork Indonesia meyakini bahwa terdapat setidaknya 2,5 juta pekerja gig berbasis sepeda motor, dan seperlima dari populasi Indonesia pernah menggunakan salah satu dari layanan ini.
Selama ini, istilah hubungan kemitraan tidak tercakup dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya. Istilah “kemitraan” justru ada dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Namun, perlu diingat bahwa konteks kemitraan yang diatur dalam UU ini berbeda dengan kemitraan yang sekarang banyak terjadi di lapangan.
Artinya, ada kekosongan hukum terkait hubungan kemitraan yang kini marak diterapkan di Indonesia. Imbas dari kekosongan hukum hubungan kemitraan ini beragam. Pertama, ketiadaan pengaturan soal hubungan kemitraan menyebabkan istilah ini dapat digunakan secara bebas tanpa batasan tertentu.
Sebagai contoh, istilah hubungan kemitraan sekarang tidak hanya digunakan oleh platform-platform gig economy seperti Gojek, Grab, atau Maxim, tapi juga lazim digunakan oleh perusahaan-perusahaan e-commerce seperti Shopee Express yang mempekerjakan kurirnya dengan skema hubungan kemitraan.
Beberapa waktu lalu, pekerja PT Aerotrans Service Indonesia – yang merupakan anak cabang dari PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk – juga menggelar aksi unjuk rasa yang di antaranya menyuarakan penolakan atas perubahan status pekerja dari karyawan tetap menjadi karyawan dengan hubungan kemitraan.
Imbas kedua dari maraknya hubungan kemitraan, utamanya yang tidak teregulasi seperti di Indonesia, adalah pada kesejahteraan pekerja.
Hubungan kemitraan dan kesejahteraan pekerja
Sudah cukup banyak penelitian yang berargumentasi soal pengaruh buruk hubungan kemitraan terhadap pekerja. Bahkan, terdapat anggapan bahwa konsep hubungan kemitraan yang dipopulerkan oleh gig economy seyogyanya adalah bentuk lain dari komodifikasi tenaga kerja yang memandang pekerja semata sebagai komoditas. Ini berpotensi melahirkan eksploitasi.
Sebuah studi menemukan bahwa pekerja gig di Indonesia bekerja rata-rata 12 jam dalam sehari. Studi lainnya menyebutkan bahwa mayoritas pekerja yang disurvey di Jakarta, Yogyakarta, dan Banyuwangi bekerja 9-12 jam dalam sehari. Angka yang jauh di atas jam kerja yang diperbolehkan oleh UU Ketenagakerjaan, yakni 7-8 jam per hari, dengan batas maksimum 40 jam per minggu.
Dari sisi penghasilan, penelitian menemukan bahwa penghasilan pengemudi mitra platform gig di Indonesia terus menurun dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2020. Ini menunjukkan bahwa masa bulan madu platform gig di Indonesia telah usai. Akibatnya, pendapatan pengemudi tidak lagi terkatrol oleh promo-promo yang diberikan oleh platform.
Masalah lain dari konsep hubungan kemitraan adalah dinormalisasinya piece-work atau upah per pekerjaan.
Dulunya, skema ini banyak digunakan dalam industri garmen pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sebelum dihapuskan oleh perjuangan standardisasi upah melalui kebijakan upah minimum. Karena pekerja dalam hubungan kemitraan tidak terikat ketentuan upah minimum, praktik piece-work yang mestinya sudah usang ini menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan.
Precarious Labour Market dan ketiadaan pilihan pekerja
Mungkin sebagian dari kita bertanya: jika memang hubungan kemitraan begitu merugikan pekerja, mengapa masih banyak yang mau menjadi mitra?
Jawaban dari pertanyaan ini tidak dapat dipisahkan dari kondisi pasar kerja di Indonesia yang semakin rentan (precarious labour market). Precarious labour market terjadi ketika jumlah pekerjaan rentan membludak. Pekerjaan rentan sendiri merupakan pekerjaan yang dibayar rendah, tidak terlindungi, dan tidak memiliki job security.
Kondisi pasar tenaga kerja yang rentan ini akan mendorong semakin banyak orang masuk ke hubungan-hubungan kerja non-standar. Dalam kondisi pasar kerja rentan, pekerja jadi terdesak untuk menerima kondisi kerja yang buruk daripada tidak bekerja sama sekali.
Artinya, problem hubungan kemitraan memang bukan semata soal pilihan individu – mau atau tidak maunya pekerja berada dalam hubungan kemitraan – namun merupakan persoalan struktural yang seharusnya dijawab dengan intervensi kebijakan. Selama masih ada kekosongan hukum terkait hubungan kemitraan, maka selama itu pula hubungan kemitraan tak teregulasi akan menjamur.
Akibatnya, pemberi kerja akan lebih memilih mempekerjakan pekerja dengan hubungan kemitraan karena akan membebaskan mereka dari kewajiban membayar upah minimum, pesangon, BPJS Ketenagakerjaan, dan hak-hak tenaga kerja lainnya. Sebaliknya, posisi pekerja akan semakin terdesak.
Kekosongan hukum harus segera diisi
Membiarkan hubungan kemitraan menjamur tanpa adanya aturan hukum yang memadai akan menjadi bom waktu yang tidak hanya menyulitkan pekerja, namun juga pemerintah dan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia secara luas.
Tak hanya potensi eksploitasi dan aksi protes yang dapat melumpuhkan aktivitas ekonomi, minimnya perlindungan membuat mereka terekspos jika terjadi krisis.
Telah banyak negara yang berhasil membuat aturan terkait self-employment dan batasan hubungan kemitraan. Perancis, misalnya, berupaya merevisi UU Ketenagakerjaannya agar dapat mengadopsi ‘kategori ketiga’ yang memberikan perlindungan hukum bagi pekerja yang masuk hubungan kemitraan. Inggris, melalui putusan hukum, secara tegas menggariskan bahwa hubungan yang dimiliki oleh Uber dan pengemudinya tidak dapat dikategorikan sebagai hubungan kemitraan.
Negara-negara tersebut dapat dijadikan acuan oleh pemerintah untuk segera memberikan landasan hukum yang jelas bagi praktik hubungan kemitraan di Indonesia.
Nabiyla Risfa Izzati adalah pengajar hukum ketenagakerjaan di Universitas Gadjah Mada
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.