Sejumlah musisi dunia lagi-lagi menyuarakan keluh kesah mereka terhadap label rekaman dan tim marketing, yang melakukan segala cara untuk mempromosikan musik baru mereka. Tapi kali ini, protesnya ditujukan pada sebuah platform. Katanya, TikTok merusak karier mereka.
Platform yang dulunya gudang video pendek berisi orang joget dan melakukan tantangan gaje, kini berubah menjadi ladang promosi bagi para musisi dan label yang membayar mereka.
Bagi para musisi yang menganggap karyanya sebagai bentuk ungkapan emosi dan bakat, TikTok tampak seperti wadah yang kurang tepat. Membuat video TikTok relatif simpel: bisa direkam sendiri tanpa sentuhan profesional. Dengan mempromosikan musik pada platform mainstream, hilang sudah ilusi seniman independen yang telah dibangun selama ini. Maka, tidak mengherankan bila semakin banyak musisi dan kreator konten menentangnya.
Ini pertarungan yang saling bertentangan antara label dan musisi — menyoroti perpecahan dalam blantika musik yang beda generasi.
Bagi musisi muda macam Lil Nas X, yang meraih popularitasnya berkat TikTok, ini perubahan organik dalam industri. Namun, bagi yang lain, bikin video viral demi mempromosikan lagu anyar merupakan cara licik menggaet penggemar yang lebih muda.
Penyanyi-penulis lagu Halsey menjadi musisi terbaru yang mengutarakan kekecewaannya terhadap hal ini. Dalam sebuah video TikTok, dia menyindir label yang diduga menahan perilisan single terbarunya sampai mereka menciptakan “momen viral” di platform berbagi video.
“Saya ingin lagu ini cepat dirilis, tapi label rekaman tidak memberi izin,” demikian bunyi teks putih di layar.
“Saya sudah delapan tahun berkarya dan telah menjual lebih dari 165 juta rekaman. Tapi perusahaan rekaman baru akan merilis lagunya setelah mereka menciptakan momen viral palsu di TikTok.”
“Semuanya tentang marketing. Mereka melakukan ini hampir ke semua musisi sekarang,” lanjutnya.
Ini bukan lagi soal masuk jajaran lagu teratas. TikTok telah menjadi pusat perhatian, dan musisi seperti Halsey tak suka dengan pengaruhnya dalam industri musik. Media sosial memang menciptakan sarana bagi para penggemar untuk terhubung dengan artis, tapi ini juga membawa serangkai masalah baru.
Dalam beberapa hal, TikTok telah menjadi saluran positif. Namun, para musisi mapan yang awalnya tidak familiar dengan platform ini, melihatnya sebagai strategi pemasaran baru yang semakin merebut kendali dari tangan mereka.
Beberapa pekan lalu, Doja Cat bikin video ngerap tentang produk Mexican Pizza yang sudah tidak dijual Taco Bell. Lagunya catchy dan dikemas dengan apik. Tapi coba scroll ke bawah, dan kamu akan menemukan curhatannya disuruh membuat video itu oleh label rekaman.
“Jangan bilang siapa-siapa, ya,” katanya dalam sebuah video. “Saya disuruh bikin TikTok — orang bilang ini jingle tentang Taco Bell.”
“Mereka pengin saya ngerap tentang Mexican Pizza. Saya masih kasih tahu dari sekarang, sebelum kalian melihat videonya. Itu jelek banget dan cuma buat kontrak.”
Selain Halsey dan Doja Cat, Florence Welch dari Florence and the Machine, FKA Twigs dan Charli XCX telah menyuarakan hal serupa.
Video curhatan Halsey sudah viral di medsos, tapi lagu barunya belum juga dirilis.
“Saya gak tahu harus gimana lagi. Saya berbicara yang sesungguhnya, dan sampai sekarang BELUM dapat tanggal rilis. Tapi ada di antara kalian yang mengira saya bohong. Jadi sekarang saya serba salah lol,” kicaunya di Twitter.
Reaksi netizen terkait isu ini cukup beragam. Beberapa menuduh industri musik terlalu bergantung pada aplikasi semacam TikTok untuk mempromosikan lagu, sedangkan yang lain mempertanyakan alasan musisi membuat video komplain.
“Label kelewat malas mempromosikan musik, jadi mereka bergantung pada keajaiban TikTok,” ujar seorang pengguna Twitter.
“Kenapa musisi baru buka-bukaan sekarang? Ngaku aja cerita sedih ini termasuk promosi lmao,” bunyi twit pengguna lain.
Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan rekaman besar seperti Universal juga telah menandatangani kesepakatan untuk mempromosikan musik baru di TikTok. Metode ini menghemat anggaran — lebih murah dari bentuk promosi lain. Influencer telah dibayar untuk joget mengikuti iringan lagu.
Akan tetapi, di tengah kejayaan bintang TikTok, label rekaman mati-matian mengikuti fenomena yang sebelumnya tidak melibatkan mereka. Ini menimbulkan masalah ketika kontrol sebesar ini dilempar ke musisi yang sudah mapan.
Strategi promosi TikTok mengingatkan kita pada awal kemunculan MTV yang memopulerkan video klip. Kala itu, musik disulap menjadi metode komersialisasi ketimbang bentuk seni. Band-band papan atas seperti Pearl Jam bahkan menentangnya dengan keras. Mereka yakin dengan adanya video klip, ini merampas kemampuan pendengar menginterpretasi sendiri lagunya.
Sementara komersialisasi video klip terjadi puluhan tahun sebelum promosi TikTok, kedua metode ini menjadi pertanda langkah berikutnya dalam perkembangan industri musik, terlepas para musisi menginginkannya atau tidak.
Untuk saat ini, promosi TikTok merupakan momen yang berkembang dalam penderitaan industri — mengangkat tabir tapi juga memperkeruh keadaan. Selain itu, tak ada yang bisa memastikan apakah ini memang trik pemasaran atau tidak — serta apakah musisi ikut andil di dalamnya atau tidak.
Mungkin protes ini hanya mentalitas musisi lama yang tidak terbiasa dengan cara baru, di mana musisi mapan merasa terganggu oleh kemungkinan harus menggaet pendengar lebih muda lewat sarana yang kurang familiar bagi mereka. Lagi pula, ini cara komodifikasi baru, yang menurut beberapa orang bertentangan dengan esensi seni yang sesungguhnya.
Follow Julie Fenwick di Twitter dan Instagram.