Banyak di antara kita begitu mengkhawatirkan hal-hal sepele. Jauh di dalam lubuk hati, kita sadar pikiran hanya melebih-lebihkan situasi yang sebetulnya kurang penting dan tidak separah yang dibayangkan. Kita juga paham hidup menjadi lebih bahagia—perasaan pun lebih plong—jika kita berhenti mempermasalahkan yang tiada gunanya.
Dunia takkan berakhir jika jerawat di pipi meninggalkan bekas, atau cuma sedikit yang menonton InstaStory kamu. Ada berbagai hal yang layak untuk diprioritaskan, seperti kesehatan tubuh atau kondisi lingkungan misalnya. Akan tetapi, kenyataan tersebut tak mampu mengusir kebiasaan buruk ini.
Oleh karenanya, kali ini VICE meminta pendapat beberapa anak muda, apa yang bisa kita lakukan agar lebih berani bersikap masa bodoh.
Manusia wajar berbuat kesalahan
Pengusaha asal Manila Cy Roxas bercerita, orang tua menuntutnya untuk menjadi yang terbaik saat masih muda dulu. Akibatnya, dia takut gagal atau melakukan kesalahan. Dan apa yang terjadi? Ketakutan itu menjadi kenyataan.
“Tak ada manusia yang sempurna. Sudah kodratnya kita membuat kesalahan. Di situlah bagusnya bersikap cuek—kamu lebih gampang menerima kenyataan. Kamu tidak akan terlalu keras pada diri sendiri. Kamu tidak perlu repot mengurusi hal sepele. Nikmati saja setiap ujian yang datang menghadang,” tuturnya.
Bijak gunakan medsos
Menurut Roxas, bersikap masa bodoh bisa dimulai dengan menyaring apa saja yang seharusnya tidak perlu dipedulikan. Media sosial, misalnya, dapat memicu overthinking. Kita mungkin akan merasa minder ketika melihat hidup orang lain jauh lebih bahagia daripada kita, dan akhirnya kita membandingkan diri sendiri dengan mereka. Padahal, postingannya sudah dipoles sedemikian rupa.
“Hal-hal luar biasa dan mengerikan yang ditampilkan berulang kali dapat memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan emosional kita,” ujarnya.
Untuk menghindari ini, Roxas menyarankan agar kita tidak ketergantungan dengan medsos. Dia pribadi sering menonaktifkan sementara akun Instagram-nya.
Terimalah fakta tak semua orang suka pada kita
Roxas dulu beranggapan dia harus menyenangkan semua orang. Dia selalu mengikuti standar yang ada di masyarakat, baik itu dalam hal pekerjaan, berolahraga hingga porsi makan yang ideal. Dia mengira dirinya akan bahagia jika melakukan ini, tapi nyatanya tidak.
“Perlahan-lahan saya mulai mengubah pola pikir menjadi, ‘tak semua orang harus menyukaiku.’ Mustahil kita bisa menyenangkan semua orang, dan itu tugas yang sangat melelahkan. Saya tidak mau hidup seperti itu selamanya. Kedengarannya tidak menyenangkan,” kata Roxas.
Setiap orang punya urusannya masing-masing
Kirsten Zapata, pegawai eksekutif pengembangan bisnis di Manila, mengaku sering jaga image di masa lalu. Dia memperhatikan penampilan, selera musik, tontonan hingga orang seperti apa yang bisa diajak berteman. “Saya tidak mau dicap aneh, tapi juga tak sudi dipanggil copycat,” ungkapnya.
Lama-lama, dia menyadari setiap orang sibuk mengurusi masalahnya masing-masing, sehingga seperti apa penampilan Zapata bukan hal penting untuk dipikirkan.
“Satpam kantor enggak akan ngomongin jerawat kamu kepada keluarganya di rumah,” tandasnya.
Lakukan hal-hal yang membuatmu bahagia
Bersikap peduli yang berlebihan bisa bikin kamu merasa seperti tertarik ke segala arah hingga akhirnya kamu stuck di satu tempat.
Data scientist Jai Paul mengakali ini dengan memusatkan pikirannya pada aktivitas yang dia sukai. Dia suka berselancar. Otak jadi lebih tenang setiap dia menjalani hobinya.
“Carilah hal yang kamu sukai dan lakukan itu untuk dirimu sendiri, bukan karena ingin terlihat keren. Juga bukan demi cuan, atau disuruh orang tua,” tegasnya.
Ubah pola pikir
Paul minder dengan tinggi badannya saat masih sekolah. Dia merasa dirinya paling pendek di antara teman-temannya. Bahkan dia sampai beli sepatu sol tinggi untuk pesta prom, supaya tidak kelihatan jomplang saat berdiri di samping teman kencannya yang pakai sepatu hak tinggi. Sekarang, Paul belajar untuk nge-“zoom out” atau memikirkan hal yang lebih positif.
“Saya mulai menghargai tubuh secara lebih holistik. Alih-alih memusingkan tinggi dan berat badan, saya akan bertanya pada diri sendiri: Bagaimana perasaanku saat bangun tidur? Apakah saya menjalani hari dengan penuh semangat? Apakah rambut dan kulitku sehat? Seberapa mudah saya terlelap? Dengan memikirkan ini, saya bisa menghargai tubuh dengan cara yang berbeda,” terangnya.
Kamu dapat menerapkan pola pikir seperti ini pada aspek kehidupan lain, seperti dalam urusan percintaan. Kamu mungkin khawatir cintanya bertepuk sebelah tangan, sampai akhirnya kamu tersadar itu hanyalah perasaan senang sesaat.
Fokus pada hal-hal yang lebih bermakna
Paul mengungkapkan, dia lebih menghargai hidup setelah memusatkan pikiran pada hal-hal yang penting bagi dirinya. Tak peduli sesulit apa rintangan yang dihadapi, dia tetap sabar menjalaninya. Ketika kamu bisa membedakan mana yang penting dan tidak, kamu akan menyadari betapa sia-sianya mencurahkan waktu dan tenaga untuk hal yang tidak penting.
“Bisa dibilang, saya mencoba berpikir seperti anak-anak. Hidup mereka lebih riang, dan cenderung melihat segala sesuatu dengan rasa ingin tahu yang besar. Anak-anak juga tidak gampang menilai seperti orang dewasa.”
Follow Romano Santos di Instagram.