Sejak 1999 Indonesia sudah punya UU yang melarang penyiksaan manusia karena melanggar HAM, tapi aparat kepolisian tampaknya bodo amat sama hukum satu ini. Faktanya, kasus penyiksaan pada tahanan kepolisian masih menggunung. Di 2021 misalnya, LBH Masyarakat mendapati 22 dari 150 orang peserta penyuluhan hukum di rutan Jakarta mengaku pernah disiksa saat ditahan polisi.
Penyiksaan ini bahkan kadang berujung maut. Dari catatan Komnas HAM selama setahun aja nih ya (2020-2021), setidaknya ada 11 kasus kematian tahanan di tingkat kepolisian. Para korban ini bahkan meninggal kurang dari 24 jam setelah ditangkap.
Data ini didukung catatan Aliansi Kerjasama untuk Pencegahan dan Penyiksaan (KuPP) yang menyebut: ada 115 aduan yang masuk ke mereka mengenai penyiksaan dan perlakuan buruk di kantor polisi. Aduan tersebut berasal dari kejadian-kejadian selama 2018-2020.
Hikmah yang bisa diambil dari data-data tersebut cukup jelas: ruang tahanan yang ada di kantor polisi tidak aman bagi para tahanan. Penyiksaan kerap terjadi, aksi kekerasan masih jadi jurus favorit penegak hukum dalam mengemis pengakuan. Oleh aktivis Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), data ini direspons dengan satu hal, yakni mendesak ruang tahanan di tingkat kepolisian dihapuskan.
Dalam siaran pers yang diterima VICE, peneliti ICJR Genoveva Alicia mengatakan penahanan terduga pelaku idealnya hanya dilakukan di rumah tahanan (rutan). Penahanan di kantor polisi hanya diperbolehkan apabila daerah tersebut memang belum memiliki rumah tahanan. “Artinya, penahanan kepolisian bersifat sementara dan bukan suatu hal yang biasa,” tulis Genoveva.
Aturan penahanan di kantor polisi juga jelas. Polisi tidak diperkenankan menahan terduga pelaku di kantornya lebih dari 24 jam. Apabila memang ditahan, otoritas yang menahan harus dipisahkan dengan otoritas yang melakukan perawatan tahanan. Poin ini menjadi penting agar penegak hukum, dalam hal ini polisi, tidak sewenang-wenang dan melakukan apa saja atas nama “penyelidikan”.
”Hal ini harus dijamin, agar adanya pengawasan. Sehingga tahanan tidak serta merta menjadi ‘kuasa’ aparat penegak hukum. Ini harus dijamin untuk menghindari penyiksaan dan pemeriksaan di waktu-waktu tidak wajar sebagaimana terjadi di kasus penyiksaan tahanan selama ini,” tambah Genoveva.
“Ketika penahanan dilakukan di kantor kepolisian, kontrol penuh terhadap tersangka ada di tangan penyidik dengan kepentingan penegakan hukum [agar] memperoleh bukti untuk memperkuat perkaranya. Dalam kondisi seperti itu, tidak dapat dipungkiri kekerasan mulai dilakukan secara verbal dalam bentuk intimidasi, hingga fisik sangat rentan terjadi,” tambahnya.
Desakan ICJR ini relevan mengingat di 2022 yang belum genap tiga bulan, telah terungkap dua kasus penyiksaan oleh polisi yang menyebabkan kematian. Pertama adalah kasus pada 13 Januari, ketika tahanan narkotika Polres Metro Jakarta Selatan berinisial FNS meninggal dunia di Rumah Sakit Polri.
Dari pengakuan rekannya yang kerap menjenguk, FNS mengeluhkan sakit di sekujur tubuh, juga ada luka di kaki dan bercak darah di paha. Sebelum meninggal, FNS mengaku kerap dipukuli. Namun, Kapolres Metro Jaksel Budhi Herdi membantahnya dengan bilang FNS meninggal karena sakit demam.
Kasus kedua terjadi pada 14 Februari. Tersangka kasus pencurian bernama Hermanto (45) tewas di ruang tahanan Polsek Lubuklinggau Utara, Sumatera Selatan. Kondisi tubuhnya penuh lebam, diduga akibat aksi kekerasan dari lima penyidik kasus dari Polri. Meski Kabid Humas Polda Sumsel Supriadi sempat membela diri dengan beralasan lebam Hermanto baru muncul setelah jadi mayat, saat ini kelima anggota Polri itu telah dinonaktifkan sambil penyelidikan berlangsung.
Menkopolhukam sekaligus Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan pakar hukum kondang Mahfud MD sempat merespons isu ini pada 10 Februari lalu. Doi mengecam tindakan penyiksaan dan meminta Kompolnas memperhatikan laporan penyiksaan tahanan oleh masyarakat.
“Saya kira ini tidak bisa disembunyikan. Cerita ini banyak di tengah masyarakat dan banyak yang merasakan itu di masa lalu. Makanya, sekarang kami melaksanakan reformasi dan mengurangi itu sedikit demi sedikit,” ujar Mahfud dilansir Antaranews.
Kecaman itu, bagaimanapun, masih dibarengi puja-puji normatif dari Mahfud pada kinerja Polri. “Saya menyampaikan apresiasi dan penghormatan setinggi-tingginya kepada Polri yang telah membuka diri dan terus berusaha melakukan perubahan dan perbaikan kinerja. Meskipun itu tidak mudah,” katanya.