PERINGATAN: Artikel ini mengandung konten eksplisit yang dapat membuat pembaca tidak nyaman.
Jurnalis Amerika Serikat Brent Renaud terbunuh saat meliput peperangan di Ukraina. Lelaki 51 tahun itu tewas pada 13 Maret, setelah ditembak prajurit Rusia yang menduduki Irpin, kota di pinggiran barat laut Kyiv yang menjadi salah satu medan pertempuran utama. Situasi di daerah itu menjadi pemberitaan internasional berkat foto-foto yang diabadikan olehnya dan banyak wartawan lain, yang menampilkan warga sipil berdesakkan di bawah jembatan untuk menyelamatkan diri dari serangan Rusia.
Selain Renaud, ada jurnalis asal Prancis, Adrien Vautier, yang juga merekam suasana mencekam di Irpin. Tindak kekerasan terjadi di sekelilingnya. Tak jarang ia bersentuhan dengan maut. “Ada pasukan Rusia tak jauh dari sini,” ungkapnya saat dihubungi VICE News pertengahan Maret lalu.
Dari Irpin, pasukan Rusia bergerak ke arah kota Bucha. Mereka lalu mengalihkan fokus perangnya dari ibu kota Kyiv ke bagian timur negara tersebut.
Meski sekarang dunia bisa melihat bukti kekejaman yang tersisa selama perang, apa yang terjadi di Bucha sempat terkubur lantaran sulitnya melakukan liputan di wilayah yang diduduki Rusia. Berita terkini seputar perang semuanya datang dari Irpin yang dijaga pasukan Ukraina. Di tempat inilah, para wartawan dan fotografer seperti Vautier mempertaruhkan nyawa mereka demi menyuguhkan informasi aktual yang terjadi di lapangan — menghasilkan karya foto yang menyayat hati siapa saja yang melihatnya.
Profesi wartawan perang tak hanya berbahaya secara fisik, melainkan juga menguras pikiran dan batin mereka. Kepada VICE News, Vautier membeberkan betapa sulitnya melupakan kengerian yang ia rasakan di tengah medan perang, bahkan setelah dia pulang ke negara asalnya sekalipun.
VICE: Hai Adrien. Boleh ceritakan foto tentara Ukraina yang kamu ambil?
Adrien Vautier: Irpin hanya berjarak 20 kilometer dari Kyiv. Kamu pasti melewati jembatan besar dalam perjalanan menuju kota ini. Pasukan Ukraina sengaja merobohkan jembatan demi memperlambat pergerakan Rusia, tapi sayangnya ini juga mempersulit proses evakuasi warga dan korban luka. Di foto ini, saya hendak menaiki jembatan ketika melihat ada prajurit berdiri di atas. Gumpalan hitam di langit bukan awan, melainkan kepulan asap dari ledakan bom di Hostomel [kota yang tak jauh dari Irpin].
Saya melihat banyak wartawan berkumpul di sana sesampainya di atas jembatan. Akan tetapi, yang paling menarik perhatian yaitu betapa tenangnya warga sipil pada saat itu. Mereka tidak tergesa-gesa menyelamatkan diri meski bom berjatuhan di sekitar mereka. Mereka mempersilakan lansia dan penyandang disabilitas untuk lewat duluan. Saya ikut mengulurkan tangan untuk membantu mereka.
Seperti apa situasinya di pusat kota?
Benar-benar seperti medan perang. Banyak mayat bergelimpangan dan otak berceceran di jalanan.
Boleh ceritakan tentang rumah sakit yang ada di fotomu?
Setelah beberapa hari liputan di Irpin, saya mengajak seorang wartawan mengunjungi rumah sakit yang sempat diambil alih Rusia, tapi akhirnya direbut kembali oleh Ukraina. Kami menjelajahi lantai demi lantai, dan melihat jejak darah di mana-mana. Jejak itu akan membawamu ke basement. Bau anyir darah sangat kuat di sepanjang ruangan.
Bagaimana nasib rakyat Ukraina yang bertahan di negaranya?
Saya mengabadikan warga sipil yang berlindung di ruang bawah tanah. Tatapan mata mereka kosong, dan tangan mereka gemetaran. Mereka telah menyaksikan hal-hal yang sulit dibayangkan. Beberapa orang yang berlindung di sana, termasuk warga Ukraina yang menjadi sukarelawan, merasa seolah-olah mereka tak lagi bernyawa. Trauma yang mereka rasakan takkan pernah bisa hilang. Semua orang terlihat gelisah. Ada juga yang masih berusaha untuk melarikan diri.
Foto ini [yang menjadi sampul artikel] sangat luar biasa. Lelaki yang ada di foto tampak linglung dan terluka parah.
Foto lelaki ini masih menghantuiku sampai sekarang. Dia datang sendiri dengan kondisi linglung, dan berlari ke sana kemari tanpa tujuan. Dia sepertinya masih syok. Bukti kekerasan fisik juga bisa dilihat di foto. Saya takkan bisa melupakan ini.
Apa yang kamu lakukan untuk tetap tenang di bawah tekanan?
Kamu tak sempat memikirkan risikonya begitu mencemplungkan diri. Kamu rentan membuat kesalahan jika hilang konsentrasi. Kamu bisa saja salah belok dan malah berhadapan langsung dengan batalion Rusia. Kamu harus tangkas dan sigap kalau mau tetap hidup.
Apakah kamu berkenalan dengan seseorang di sana?
Saya dua kali diantar ke Irpin oleh Igor [lelaki yang ada di foto di bawah ini]. Dia sibuk mengevakuasi warga di jembatan. Meski Igor mengalami trauma setelah menyaksikan hal-hal buruk, dia tetap tergerak membantu orang menyelamatkan diri. Kita tidak boleh melupakan orang-orang seperti Igor. Mereka pahlawan yang jasanya takkan dikenang.
Saya tertarik dengan kisah orang-orang yang mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan orang lain, meski mereka tidak punya alat untuk melindungi diri. Saya sangat menghormatinya.
Siapa lelaki yang mengubur mayat di foto atas?
Namanya Andriy. Mantan prajurit Donbas ini menjadi tenaga sukarelawan untuk Pasukan Pertahanan Teritorial di Irpin. Dia mengumpulkan mayat yang tergeletak di jalanan, lalu menguburkannya di hutan dekat rumah sakit, hingga jasad-jasad itu bisa dikuburkan secara layak di pemakaman, yang kala itu dikuasai Rusia. Semua orang harus melihat foto-foto ini agar mereka tidak lupa.
Pernahkah kamu terpikir, ‘Saya sudah tidak sanggup dengan semua ini’?
Di zona konflik, kamu bekerja seminggu penuh tanpa istirahat sama sekali. Kamu jarang tidur dan makan. Pikiranmu stres karena beban kerja yang berat, dan selalu diliputi kekhawatiran.
Saya bekerja untuk sejumlah media, sehingga saya harus memenuhi semua tuntutan pada saat bersamaan. Saya akhirnya pulang setelah empat atau lima minggu berada di sana. Saya sudah tidak kuat.
Saya tak bisa terhubung secara emosional karena tidak ada keterikatan yang kuat dengan kota Irpin. Meski begitu, semuanya menjadi lebih sulit setelah pulang. Semua yang kamu saksikan di sana selalu terukir dalam benakmu.
Apakah sulit menjalani hidup seperti sediakala setelah pulang ke Prancis?
Saya rasanya kayak orang mati setelah pulang ke Prancis. Saya harus menenangkan pikiran dan tidak mau bertemu banyak orang. Saya tidak bisa banyak cerita kepada pasangan karena itu terlalu berat untuknya. Tapi untungnya, konsultasi ke terapis sangat membantu.
Saya juga merasa bersalah telah membuat keluarga stres dan khawatir. Ayah ibu tak bisa berhenti memikirkan keselamatanku. Media sosial memungkinkan saya memberi kabar kalau saya baik-baik saja, tapi tetap saja profesi ini menguras emosi semua orang yang terlibat.
Apakah semuanya menjadi lebih mudah seiring berjalannya waktu?
Saya awalnya tidak bisa mengusir bayangan perang dari benakku. Saya marah pada dunia karena orang-orang di sekitarku hidup enak, padahal ada konflik berkecamuk di tempat yang habis saya kunjungi. Saya merasa dunia tak adil. Tapi akhirnya cara pandang saya berubah. Kita mungkin berada di planet yang sama, tapi dunia kita berbeda-beda. Kita tidak bisa menyalahkan orang hanya karena mereka menjalani hidupnya, meskipun perang terjadi ribuan kilometer jauhnya. Karena itulah saya bisa kembali ke rutinitas awal. Saya jalan kaki dan membebaskan pikiran.
Berikut foto-foto yang diambil Vautier selama di Ukraina:
Artikel ini pertama kali tayang di VICE France.