Seorang mantan masinis kereta rel listrik (KRL) di Jepang menggugat bekas tempat kerjanya karena secara tidak adil memotong gaji dua tahun lalu. Hirofumi Wada, nama masinis tersebut, pernah mengalami sanksi potong gaji ketika kereta yang dia kemudian terlambat satu menit pada Juni 2020.
Pengadilan Prefektur Okayama dalam sidang yang berlangsung 19 April 2022, mengabulkan gugatan Wada, mewajibkan West Japan Railway untuk membayar ganti rugi senilai 56 Yen (setara Rp6.300) kepada Wada. Problemnya vonis itu baru muncul setelah Wada meninggal pada 3 April lalu, akibat sakit di usia 59 tahun.
Pada saat kejadian, Wada bertugas mengemudikan sebuah rangkaian kereta yang kosong untuk kembali ke depot. Namun lelaki itu tidak sengaja naik ke peron yang keliru, sehingga kereta kosong tersebut menghambat perjalanan KRL lain di belakang sekitar satu menit. Manajemen West Japan Railway menganggap dalam kurun 60 detik tersebut, Wada tidak bekerja dan memotong gajinya.
Hakim pengadilan mengabulkan gugatan Wada, menganggap kesalahannya keliru datang ke peron berbeda masih manusiawi. West Japan Railway diminta mengembalikan 56 Yen ke rekening Wada, senilai hukuman potong gaji yang dialami mendiang. Meski demikian, gugatan lain dari Wada yang menuntut dibayar 2,2 Juta Yen sebagai ganti rugi emosional tidak dikabulkan pengadilan.
Perusahaan-perusahaan kereta Jepang sangat membanggakan ketepatan waktu kedatangan dan keberangkatan. Itu sebabnya, kondisi kerja masinis dan pekerja stasiun disinyalir kurang manusiawi. Serikat Pekerja Kereta di Jepang mengapresiasi putusan pengadilan, karena dinilai bisa memperbaiki hak-hak mereka saat bersengketa mengenai sistem potong gaji di masa mendatang.
“Argumen manajemen tidak bisa dibenarkan. Mendiang Wada pada saat kejadian jelas sedang bekerja, walaupun tidak langsung masuk ke gerbong masinis,” ujar Goto Maekawa, Sekretaris Jendral Serikat Pekerja West Japan Railway saat dihubungi VICE World News.
Warga dari negara lain mungkin kagum dengan ketepatan waktu kereta-kereta di Jepang. Kasus potong gaji yang nilainya tidak seberapa itu mungkin juga dianggap perkara sepele. Namun, menurut Maekawa, ada harga yang harus dibayar ketika perusahaan kereta di Negeri Sakura menekankan pentingnya semua jadwal tepat waktu.
“Ada teror yang setiap hari harus dialami para pekerja. Kamu tidak boleh melakukan kesalahan, sekecil apapun, dan kalau sampai terjadi [kesalahan] hukumannya seringkali berat,” ujarnya. “Potong gaji itu belum seberapa, kadang ada pekerja stasiun atau masinis yang dipecat tanpa pesangon, atau dipaksa menulis surat pernyataan tidak akan mengulang kesalahan kembali sebagai wujud mempermalukan mereka kepada sesama kolega.”
“Jadi bisa dibayangkan, banyak pegawai dunia perkeretaapian di Jepang sebetulnya mengalami tekanan mental lantaran takut melakukan kesalahan,” imbuh Maekawa.
Saking ketatnya aturan memprioritaskan ketepatan jadwal kereta, sudah muncul kasus masinis harus mengorbankan kesehatan dirinya. Pada Mei 2021, muncul laporan seorang masinis di Tokyo meninggalkan ruang kemudi selama tiga menit karena harus buang air besar. Dia mengalami sakit perut parah di hari itu, tapi tidak berani menyetop kereta karena takut rangkaiannya telat sampai stasiun. Akibat tindakannya meninggalkan kemudi, sang masinis dihukum oleh perusahaan.
Ketakutan kereta bakal terlambat sampai tujuan juga pernah memicu kecelakaan serius di Jepang. Pada 2005, salah satu kereta West Japan Railway keluar jalur dan menghantam rumah penduduk di Prefektur Hyogo. Insiden itu menewaskan 105 orang. Hasil investigasi polisi menunjukkan bila sang masinis, yang turut tewas dalam kecelakaan itu, ngebut di luar batas maksimal karena ingin sampai di stasiun tepat waktu. Masinis berusia 23 tahun itu sebelumnya sudah pernah dua kali dihukum potong gaji karena kereta yang dia kemudian terlambat.
Atas dasar itulah, Maekawa menilai kemenangan Wada sekaligus keberhasilan simbolis bagi para pekerja kereta. Meski ganti ruginya sangat kecil, nilai dari gugatan ini bukan semata soal uang bagi mendiang.
“Sebelum meninggal, Wada sudah sering menyatakan bahwa gugatannya ini untuk memperbaiki situasi kerja para kouhai (juniornya),” kata Maekawa. “Dia berharap, manajemen kereta di Jepang memperbaiki kondisi kerja bagi anak muda di industri ini.’
Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.