Sepanjang musim panas tiga tahun lalu, perenang jarak jauh Ben Lecomte menjalani misi paling ambisius dalam hidupnya. Dia menyelami pulau sampah sebagai upaya meningkatkan kesadaran akan dampak sampah plastik bagi ekosistem laut.
Ben berpapasan dengan dudukan toilet, pelindung kepala dan mikroplastik selama berenang di sekitar tumpukan sampah yang mengambang di tengah Samudra Pasifik. Namun, temuan paling mengejutkan adalah banyaknya organisme laut berukuran kecil dan besar yang hidup di antaranya.
Di tempat bernama Pulau Sampah Pasifik Besar inilah, semua limbah plastik yang terbawa arus laut berakhir. Tumpukan sampah tersebut pertama kali ditemukan di Samudra Pasifik Utara, yang terletak di antara Hawaii dan California, pada 1997.
Di sana, sementara Ben mengamati keadaan sekitar, para peneliti yang menjalani ekspedisi bersamanya sibuk mempelajari isi tumpukan sampah. Selama 2,5 bulan, dia berenang sejauh 338 mil laut (625 kilometer)—rekor jarak terjauh—hingga enam jam setiap harinya.
“Pada konsentrasi tertinggi, kelihatannya seperti badai salju,” kata Ben menceritakan kondisi lingkungan di pulau sampah. “Sangat ngeri dan menjijikkan.”
Hasil riset menunjukkan, ukuran pulau sampah itu semakin membesar. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi jumlah limbah plastik yang menggenang, salah satunya mirip metode tangkap pukat yang memakai jaring besar. Akan tetapi, Ben memperhatikan tekniknya tidak sebagus yang dipikirkan. Banyak organisme permukaan laut, seperti neuston, yang ikut terseret sampah.
Rebecca Helm selaku assistant professor biologi University of North Carolina di Asheville, Amerika Serikat, mempelajari bentuk-bentuk kehidupan tersebut. Makhluk laut macam siput, Portuguese Man o’ War dan naga biru langka telah menjadikan pulau sampah sebagai habitat, tapi hanya bisa mengikuti arus laut—tidak berenang maupun mengapung. Banyak juga jenis ikan dan mamalia laut yang ditemukan di sana.
Rebecca dan rekan penelitinya penasaran ada tidaknya neuston pada tumpukan sampah yang lebih besar. Berdasarkan makalah pracetak yang diunggah secara online pada akhir April lalu, jumlah neuston yang hidup di sepanjang tumpukan sampah cukup berlimpah. Studinya juga menemukan korelasi antara kelimpahan plastik dan organisme akuatik yang mengapung. Dengan demikian, keberadaan hewan-hewan ini akan terancam jika kita membersihkan sampah pakai jaring.
Rebecca lalu membuat utas Twitter yang mematahkan anggapan tak ada kehidupan yang mampu bertahan di tengah tumpukan plastik. Sebaliknya, berkat jaring-jaring makanan yang ditambatkan neuston, Ben berenang di samping paus sperma di hari yang sama saat para peneliti mengukur konsentrasi mikroplastik tertinggi di perairan.
Perlu ditekankan bahwa tujuan ekspedisi ini bukan untuk memperlihatkan plastik bermanfaat bagi neuston dan kehidupan laut lainnya, juga bukan menjadi contoh alam lambat laun akan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Rebecca menegaskan ekspedisi ini sebatas menyediakan korelasi, bukan sebab-akibat.
“Hewan-hewan ini tidak berinteraksi dengan plastik secara langsung,” terangnya. “Itu hanya terkumpul dengan cara yang sama.”
Walau begitu, harus diakui ada jenis kehidupan berukuran besar selain neuston yang tampaknya memiliki ikatan lebih dekat dengan plastik. Banyak kepiting hidup di petak sampah lebih besar, yang baru terlihat keberadaannya setelah Ben naik ke atas kapal ekspedisi. Dia juga menyaksikan sekelompok ikan berenang di bawah permukaan. Ben mengikuti arah ikan-ikan itu berenang, dan ternyata tinggalnya di sampah berukuran besar.
“Sekelompok ikan itu membawa saya ke sampah yang telah menjadi rumahnya,” ujar Ben.
Wilayah ini sudah berulang kali dilalui manusia, tapi Ben satu-satunya yang melihat penampakan Pulau Sampah Pasifik Besar secara lebih dekat. Petakannya tak terlihat seperti pulau sampah yang padat, dan justru lebih mirip kumpulan limbah yang berputar-putar di bawah permukaan air. Kita butuh berjam-jam menyelami wilayah itu untuk memahami betapa besarnya petakan itu.
Rebecca menekankan pentingnya mempertimbangkan keberadaan neuston saat melakukan upaya bersih-bersih sampah di laut. Metode yang ada saat ini sebagian besar bergantung pada jaring. Sang peneliti mengibaratkannya seperti “membuldoser” permukaan laut.
Selama mengarungi pulau sampah, Ben dan rekan-rekan menemukan banyak sekali jaring ikan yang hanyut di tengah laut. Menurut Rebecca, organisasi-organisasi seperti Ocean Voyages Institute mengambil pendekatan yang lebih disesuaikan guna menyingkirkan “jaring-jaring hantu”; metode ini mungkin tak terlalu mengancam populasi neuston. Rebecca sendiri berniat memantau Pulau Sampah Pasifik Besar dari waktu ke waktu untuk melihat efek musim terhadap kepadatan populasi neuston dan plastik. Dia ingin tahu organisme itu hidup di petakan sampah secara permanen atau tidak.
Ben menyebut sangat kontraproduktif jika kita malah menyalahkan sampah plastik, bukannya manusia yang menggunakan plastik lalu membuangnya. Setiap kali timnya menemukan sampah plastik besar, Ben hanya bisa merenungkan keputusan buruk yang memungkinkan sampah-sampah itu berakhir di tengah laut.
“Kita yang harus mengubah kebiasaan dan berusaha menjadi penjaga lingkungan yang lebih baik. Sekarang kita masih payah.”