Pada awal Juli 2021, influencer topik investasi saham Kyle Fairbanks diblokir TikTok setelah memanggil CEO aplikasi trading Robinhood “bedebah”. Lelaki 23 tahun itu yakin akunnya dihapus karena membuat pernyataan “kontroversial”, bukan karena berkata kasar.
Fairbanks bukan satu-satunya yang mengkritik Robinhood. Perusahaan ini sedang diselidiki atas sejumlah pelanggaran, seperti menghalangi investor kecil-kecilan melakukan trading ketika harga saham GameStop naik dan dugaan menggamifikasi pembelian saham.
“Saya mengharapkan yang terbaik buat para pengikut saya,” Fairbanks memberi tahu VICE melalui panggilan video. “Jika ada yang bertanya ‘Robinhood bagus gak, sih?’ di TikTok, saya akan jujur kalau aplikasinya tidak sebagus itu.”
Fairbanks belajar investasi secara otodidak, tapi kini terkenal sebagai pakar saham bagi kalangan Gen Z.
Orang semacam Fairbanks bisa muncul kurang lebih berkat Robinhood, yang membuat perdagangan saham mudah diakses dan bebas komisi — menyebabkan peningkatan jumlah pemain saham awam yang luar biasa.
Fairbanks kembali ke TikTok dengan nama baru, @assettrades, dan berhasil mengumpulkan 120.000 pengikut dalam hitungan hari — selisih 12.000 saja dari jumlah pengikut di akun lamanya. Dia ingin mengedukasi para pemula agar tidak salah langkah saat terjun ke dunia saham.
“Kita tidak pernah diajari cara mengatur pendapatan pasif atau berinvestasi saham di sekolah. Menurut saya, ada kesenjangan yang sangat besar di situ,” tuturnya. “Saya melihat sendiri bagaimana Ibu susah payah mencari uang. Ibu bekerja kantoran sejak masih 24 tahun, dan sekarang Ibu sudah 60 tahun. Saya merasa orang seharusnya tidak perlu sampai memaksakan diri seperti itu.”
Warga Dallas itu mempelajari segala tetek bengek tentang jual beli saham melalui kursus online, buku dan podcast. Dia memanfaatkan uang hasil jerih payah sebagai pelatih privat dan videografer lepas. Sekarang dia mengelola komunitas Asset Entities di Discord bersama tiga temannya. Mereka membicarakan berbagai hal di sana, dari peluang saham potensial, pekerjaan sampingan sampai investasi jangka panjang.
Akun TikTok @assetentities bahkan diikuti jutaan orang. Mereka mengunggah video-video dengan judul menarik, seperti “Stocks that got me out of the suburbs” dan “Stocks that are gonna make me rich by 2022” — beberapa di antaranya telah ditonton hampir tiga juta kali.
Generasi lebih tua mungkin sering mempertanyakan kemampuan Gen Z dalam membuat keputusan. Contohnya seperti postingan satu ini di r/wallstreetbets, subreddit yang berjasa bagi lonjakan harga saham GameStop. Seseorang kehilangan seluruh tabungannya selama tiga tahun karena salah memasukkan Expiry Date (tanggal kedaluwarsa).
Mudah juga bagi kita untuk menertawakan kepercayaan diri mereka yang kelewat tinggi, padahal mereka belum merasakan sendiri resesi seperti pada 2008 silam.
Namun, alasan mereka bermain aset tidak secetek perkiraan kebanyakan orang.
Patricia Pelayo-Romero, pakar asuransi di Munich, berujar, siapa saja telah terpapar praktik investasi sejak dulu. “Bedanya, Gen Z terpapar melalui saluran yang berbeda: TikTok, Reddit dan Twitter. Bermain saham terlihat menggiurkan karena peluang mereka mendapat pekerjaan bergaji tinggi jauh lebih rendah daripada tahun lalu. Pasar saham merupakan salah satu tempat menghasilkan uang.”
Ambil contoh Vivian Sam yang pernah bercita-cita menjadi koki. Dia mengambil jurusan manajemen hotel di Bengaluru, India selatan, saat berusia 19. Namun, dia segera menyadari tak sanggup menghadapi tekanan fisik dan mental dari profesi ini. Ditambah lagi, penghasilan yang akan diterima tidak seberapa — setidaknya menurut perhitungan dia sendiri.
“Saya harus bekerja 40 tahun untuk menghasilkan jutaan dolar,” katanya.
Di tahun terakhir kuliah, Sam merenungkan kembali apa yang ingin dia lakukan setelah lulus nanti. Pandemi membulatkan tekadnya untuk menyeriusi praktik jual beli saham. Bermodalkan kursus online di YouTube, dia mulai berinvestasi kecil-kecilan dari uang tabungan.
Lelaki 22 tahun itu kini menghabiskan sebagian besar waktu bermain saham dari rumah di Bhilai, negara bagian Chhattisgarh. Dia salah satu dari 10 juta orang India yang menjajal praktik ini selama pandemi, terutama sepanjang April 2020-Januari 2021. “Saya ketagihan melihat uang bertambah terus […] Sejauh ini baik-baik saja.”
Sementara itu, Santiago Mezzano di Swiss tak ingin menyia-nyiakan kenaikan harga pasar pascapandemi. Lelaki 22 tahun tersebut meminjam uang orang tuanya untuk melakukan short selling (menjual saham yang belum dimiliki) selama masa swakarantina. “Saya tidak tahu apa yang saya lakukan dulu, tapi rasanya seperti berinvestasi pada perusahaan yang tepat, dan berhenti di waktu yang tepat juga,” ungkap Mezzano.
Saat ini, dia lebih memilih investasi jangka panjang dengan harapan bisa hidup nyaman di masa tua. “Siapa yang akan mengurus saya saat saya berusia 80?” tanyanya. “Uang pensiun tidak akan berkelanjutan karena tak ada yang mampu membayarnya. Saya tidak bisa memercayai sistem itu. Saya ingin hidup bahagia setelah pensiun.”
Di saat kebanyakan investor muda ingin menjaga keuangan tetap stabil, Elena Broglia berpikir jauh ke depan. Perempuan Milan itu mengembangkan platform yang membantu pengguna menemukan produk berkelanjutan yang mengadopsi konsep ekonomi sirkular. Broglia menginvestasikan uang saku dan gajinya ke perusahaan-perusahaan yang sadar lingkungan, sebagai bentuk komitmen mewujudkan masa depan yang berkelanjutan. “Saya ingin menggunakan uang untuk hal yang berfaedah, dan berinvestasi pada ide orang lain,” dia memberi tahu VICE.
Broglia menangkap sentimen yang berubah di antara konsumen. Menurutnya, semakin banyak anak muda menuntut agar perusahaan melakukan bisnis yang berkelanjutan. Dia yakin orang-orang itu akan melakukannya dengan baik di masa depan.
Tapi menariknya, sebagian besar investor Gen Z cenderung membeli saham perusahaan yang telah mereka ketahui, terutama di sektor teknologi.
Namun, banyak investor percaya masa depan kita akan sangat ditentukan oleh aset kripto, yang bisa dibilang salah satu strategi investasi paling membingungkan di dunia.
Justine Castillo, guru bahasa berusia 24 di Filipina, pertama kali melihat potensi kripto pada 2017. Saat itu, harga satu Bitcoin mencapai $20.000 (setara Rp289 juta menurut kurs sekarang).
Mata uang alternatif sempat kehilangan kredibilitas setelah nilainya anjlok pada 2018, tapi kini bangkit lagi sejak pandemi.
“Orang menyimpan uang mereka di awal pandemi. Perekonomian lesu karena tidak ada produksi,” kata Castillo, yang menginvestasikan sebagian pendapatan bulanannya. “Saya melihat cryptocurrency sebagai cara mempertahankan nilai terhadap fluktuasi mata uang fiat.”
Banyak yang sepakat dengan Castillo, bahwa uang kripto dapat menjamin keamanan finansial kalau-kalau terjadi kolaps. Robert Kiyosaki, pengusaha yang menulis buku Rich Dad, Poor Dad, bahkan mendorong orang-orang untuk lebih banyak berinvestasi “emas, perak dan Bitcoin”.
“Perjalanan kita untuk menentukan suatu nilai masih panjang,” ujar Castillo. “Saya rasa mustahil bagi saham, uang kripto atau jenis investasi apa pun untuk lolos dari spekulasi. Kita tidak bisa menebak krisis atau ledakan besar berikutnya. Kalian hanya bisa mencoba melihat ke masa depan.”
Kekhawatiran Pelayo-Romero adalah sementara generasi sebelumnya — seperti milenial — cenderung berinvestasi setelah memahaminya, kalangan Gen Z cenderung mengambil risiko lebih besar dari yang mereka sanggup tanggung.
Dia mengungkapkan, banyak informasi tentang saham di TikTok yang tidak akurat. Mereka takkan pernah mengetahui cara yang lebih baik jika tidak mendapat arahan yang benar. Gen Z juga hanya menyaksikan bull market (kondisi pasar saham yang mengalami tren naik) selama pandemi, sehingga mereka bisa saja mendapat pemahaman yang salah tentang jual beli saham. Walaupun begitu, untuk jangka panjang, akan ada peningkatan literasi keuangan ke arah yang lebih positif.
“Semakin sering kalian terpapar, semakin mahir kalian melakukannya,” tutur Pelayo-Romero. “Gen Z bisa seberani itu karena situasinya sudah cukup mengerikan. Jadi sesungguhnya, mereka takkan rugi apa-apa.”