Dalam video penyelamatan hewan yang tampak seperti settingan, seorang lelaki berjuang melepas lilitan ular dari tubuh anak anjing yang meraung-raung. Video lain menampilkan seseorang mengangkat kaki belakang anjing, lalu mengayunkan anjing dengan gaya lempar palu dan membantingnya ke tanah.
Dalam laporan yang terbit akhir bulan lalu, lembaga Asia for Animals Coalition mengungkap ada lebih dari 5.000 video bertema penyiksaan hewan di YouTube, Facebook dan TikTok.
Lembaga yang terdiri dari 22 organisasi pemerhati kesejahteraan binatang bekerja sama mengumpulkan postingan semacam ini sejak Juli 2020 hingga Agustus 2021. Koordinator Sarah Grant mengatakan, laporannya berkembang secara alami “karena volume penganiayaan dan skala penderitaan yang kami saksikan patut didokumentasikan.”
Mereka menemukan video-video tersebut termasuk salah satu dari empat kategori penganiayaan hewan, hanya dibedakan oleh ambiguitas dan kesengajaan. Tema yang paling sering muncul yaitu menjadikan binatang sebagai hiburan dan aksi penyelamatan palsu. Manusia akan “menyelamatkan” hewan yang sengaja dibiarkan dalam keadaan bahaya. Lalu ada juga bentuk kekerasan langsung, seperti monyet yang dihukum berdiri menempel tembok setelah memecahkan mangkuk.
Laporan menunjukkan, video-video yang diidentifikasi mengandung penganiayaan hewan telah ditonton lebih dari lima miliar kali di seluruh platform media sosial. Beberapa bahkan dimonetisasi untuk menampilkan iklan, yang ironisnya tentang perlindungan kesejahteraan hewan. Akan tetapi, pemasang iklan sering kali tidak menyadari iklan mereka muncul di video penyiksaan hewan.
Meskipun konten kekejaman terhadap hewan dilaporkan paling banyak berasal dari Indonesia, laporan tersebut menekankan lokasi videonya mungkin tidak akurat berhubung ini masalah global. Lembaga itu mengumpulkan kontennya dengan teknik snowball sampling. Satu video membawa mereka ke berbagai video serupa.
Beberapa video telah dihapus setelah dilaporkan bulan lalu, tapi Grant membeberkan masih banyak yang bertahan. Respons yang mereka terima setelah mengirim rangkuman laporannya ke tiga platform medsos sangat beragam.
“Entah apa lagi yang mesti dilakukan agar raksasa media memperhatikan skala penyiksaan hewan yang dibiarkan menyebar di platform mereka,” tuturnya.
Ketika dihubungi VICE World News, semua perusahaan media sosial yang disebut dalam laporan menegaskan telah membatasi konten penyiksaan hewan.
“YouTube tidak pernah mengizinkan konten yang mengandung kekerasan atau penyiksaan terhadap hewan. Pihak kami selalu meninjau dan memperbarui kebijakan,” kata juru bicara YouTube. Platform tersebut baru-baru ini memperluas kebijakannya terkait konten penyiksaan hewan. Aksi penyelamatan hewan settingan kini termasuk bentuk kekerasan terhadap binatang.
Juru bicara TikTok menyampaikan platformnya menyaring konten semacam itu dengan bantuan teknologi dan manusia.
“Pedoman Komunitas kami sudah dengan jelas menyatakan, platform kami sama sekali tidak mentolerir penyiksaan hewan. Kami mengambil tindakan ketika pengguna melanggar peraturan ini, hingga dan termasuk memblokir mereka secara permanen,” ujarnya, lalu menambahkan mereka telah menghapus “sejumlah video” yang dibahas dalam laporan. Ketika artikel ini ditulis, VICE World News menemukan banyak video yang telah dihapus.
Dari 440 video yang dilaporkan ke Facebook, masih ada sekitar 100-an yang belum dihapus hingga artikel ini tayang. Sementara itu, beberapa video dilabeli “tidak tersedia” dan yang lain menautkan ke video yang tidak terkait.
“Kami melarang pengguna menyebarkan konten berbahaya yang mengglorifikasi kekerasan atau merayakan penderitaan binatang di Facebook. Kami akan menghapus konten ini segera setelah kami mengetahuinya. Kami akan menghapus akun, Laman atau Grup yang berulang kali melanggar peraturan kami,” terang juru bicara Facebook.
Masalah menjadi rumit ketika video-video itu diunggah untuk mengutuk penyiksaan hewan. Dalam satu postingan yang dilihat VICE World News, perempuan menduduki kelinci kecil yang telah ditindih kaca sampai remuk. Postingan itu mengecam perbuatan sang perempuan.
Grant menyarankan agar kita tidak memposting atau menanggapi konten semacam itu di media sosial. Memberi emoji marah di Facebook sekali pun tidak boleh. Kontennya bisa semakin tersebar luas akibat niat baik kita.
“Hal paling mengejutkan buat saya yaitu betapa mudahnya konten tersebut menyebar,” kata Grant. “Sebagian besar orang yang saya wawancarai setidaknya terlibat dalam konten penyiksaan hewan untuk mengekspresikan kemarahan mereka atau membagikan video.”
“Saya menyarankan untuk mengikuti lima langkah ini—waspada, laporkan, jangan ditonton, jangan berinteraksi, jangan disebar.”
Follow Koh Ewe di Instagram.