Sepakbola tidak pernah lebih penting dari nyawa manusia. Suasana berkabung nasional akibat meninggalnya ratusan jiwa suporter Arema FC Tragedi Kanjuruhan di Kabupaten Malang pada 1 Oktober 2022, membuat berbagai kelompok suporter sepak bola Indonesia memikirkan ulang makna rivalitas antarklub yang selama ini mereka lakoni.
Tagar #SepakatDamai mewarnai linimasa media sosial sejak awal pekan ini. Bonekmania, julukan suporter Persebaya Surabaya, menanggalkan jubah rivalitasnya dan berkumpul bersama Aremania, suporter Arema FC, untuk memanjatkan doa saat berkumpul bersama di Stadion Bayuangga, Kota Probolinggo, Senin (3/10) malam. Di Surabaya, ratusan Bonek juga berkumpul di Tugu Pahlawan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada pendukung Aremania yang meninggal di Kanjuruhan.
“Walaupun kami ada rivalitas, kami singkirkan sejenak, karena ini kemanusiaan. Siapapun mereka, kita sebagai umat manusia harus prihatin. Nyawa tidak sebanding dengan apa itu sepakbola,” kata Husain kepada Kompas.
Atmosfer #SepakatDamai menular ke daerah lain. Brajamusti, suporter PSIM Yogyakarta, dan Pasoepati, suporter Persis Solo, berkumpul bersama saat memanjatkan doa kepada para korban di Klaten, Senin (3/10) malam kemarin. Sementara Selasa 4 Oktober 2022, beredar mural di ruang publik bertuliskan “Mataram is Love”. Bagi penggemar sepakbola lokal, pasti sudah familiar dengan slogan “mataram is red” milik Pasoepati dan “Mataram is blue” milik Brajamusti. “Mataram is love” jadi simbol kedua pihak untuk menghormati para korban Kanjuruhan.
Di medsos mulai tumbuh optimisme bahwa rivalitas yang tak sehat antar suporter kelak dapat berhenti selamanya. Meski tragedi Kanjuruhan terjadi bukan karena murni kesalahan suporter, perdamaian antarsuporter akan menekan kemungkinan keributan yang berujung tindakan represif aparat keamanan.
Saat diwawancarai Detik, Anggota Pasoepati Agoes Warsoep menyatakan tragedi Kanjuruhan merupakan pelecut utama inisiatif untuk berislah dengan rival sesama penggemar sepakbola.
“Takut kejadian serupa terjadi di tempat lain, seperti Jogja dan Solo kan cukup panas. Akibat kejadian kemarin jadi berpikir keras, disudahilah rivalitas yang kurang sehat. Rivalitas yang selow-selow saja 90 menit,” kata Agoes. “Ini pendapat saya pribadi, pasti ada pro-kontra buat teman-teman Solo maupun Jogja. Tapi saya harap Jogja dan Solo bisa lebih damai lagi, meskipun psywar di lapangan, tapi bisa adem di luar maupun di dalam lapangan.”
Berbagai ekspresi individu serupa juga bisa ditemukan di internet terkait rivalitas The Jakmania, pendukung Persija Jakarta, dan Bobotoh, suporter Persib Bandung. Di Twitter, seorang The Jakmania akhirnya menghapus perasaan dendamnya kepada Bobotoh dan Bonek akibat kejadian tragis di Malang. Di sisi lain, seorang suporter Persib juga mengaku ikhlas menyudahi perseteruannya dengan The Jakmania meski dulu adiknya terbunuh akibat bentrok suporter.
Peneliti Budaya Fans Sepakbola Fajar Junaedi menganggap pendekatan perdamaian yang diinisiasi antarsuporter adalah cara yang tepat untuk mengurai salah satu problem dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Meski ada faktor lain terkait pengelolaan liga dan kemampuan aparat mengamankan pertandingan, namun unsur hubungan antar kelompok suporter tetap memegang peranan penting agar pertandingan berjalan kondusif.
“Inisiasi rekonsiliasi antarkelompok suporter pasca tragedi Kanjuruhan perlu diapresiasi dan harus didukung. Salah satu pengalaman baik dari proses rekonsiliasi suporter adalah ketika Pasoepati dari solo dan Bonek dari Surabaya menginisiasi perdamaian, pendekatan dilakukan secara kultural oleh suporter tanpa ada blow up pemberitaan media yang berlebih dalam proses rekonsiliasi,” ujar Fajar saat diwawancarai VICE.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu menilai rencana islah yang diumumkan beberapa hari terakhir terpantau cukup organik. Karenanya, dia optimis akan ada suasana yang berbeda dalam kancah sepakbola Tanah Air jika niat penghentian rivalitas ini sukses.
“[Sejauh ini] tidak ada pendekatan dan intervensi struktural dari pejabat dan aparat keamanan,” imbuhnya.
Fajar, yang pernah lama meneliti kultur Bonek secara intensif, berharap pemerintah maupun aparat keamanan tidak buru-buru ikut serta mendorong proses rekonsiliasi antar suporter yang mulai bersemi. “Suporterlah yang lebih paham tentang habitus suporter, bukan para pejabat. Proses yang organik dan suporter menjadi agency dalam proses ini menjadi optimisme perdamaian,” tandasnya.
Di luar itu, masih ada kabar positif lainnya yang muncul dari solidaritas organik antar penggemar, bahkan yang tak terkait sepakbola. Kelompok fans grup K-pop BTS, yang sempat berselisih dengan suporter sepakbola, berhasil mengumpulkan donasi Rp450 juta dalam waktu singkat untuk disumbangkan kepada korban tragedi Kanjuruhan. Hal-hal baik ini setidaknya memberi kabar yang tak melulu suram, sembari publik menantikan hasil investigasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Peristiwa Kanjuruhan.