Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sedang dalam sorotan publik saat MS, seorang karyawan kontrak di lembaga tersebut, mengungkap perundungan dan kekerasan seksual yang dialaminya di tempat kerja. Dalam rilis pers, penyintas mengaku sudah tak kuat dengan perlakuan koleganya di KPI yang memperlakukannya bak bukan manusia.
Salah satu yang bikin muntab publik, kolega MS menelanjanginya dan mencoret buah zakar MS dengan spidol lalu mendokumentasikannya. Karena kejadian yang berlangsung sejak 2011, MS mengaku bolak-balik rumah sakit karena stres yang dialaminya.
Dalam rilis pers yang tersebar luas 1 September 2021, MS mengaku sudah dua kali melapor polisi pada 2019 dan 2020. Polisi, saat dikonfirmasi terpisah, membantah sudah ada laporan macam itu masuk ke pihaknya dari pegawai KPI manapun.
Penyintas mengaku sudah melaporkan perundungan ini ke atasan dan menceritakan semuanya, namun sang atasan hanya memindahkan penyintas ke ruangan lain. Perundungan tetap berlanjut, pelaku tak pernah tertangkap.
Didampingi pengacara, penyintas mengambil langkah berani dengan mengungkap nama pelaku, yakni RM, TS, SG, FP, EO, CL, dan TK. Kekuatan media sosial membuat rilis pers tersebut viral dan foto pelaku tersebar.
KPI akhirnya merespons setelah marak kritikan dari publik. Lewat rilis pers pula, KPI menjelaskan pihaknya akan melaksanakan langkah-langkah investigasi internal, mendukung aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti kasus, memberikan perlindungan dan pendampingan hukum kepada penyintas, dan memberikan pemulihan secara psikologi kepada pegawai tersebut.
“[KPI akan] menindak tegas pelaku apabila terbukti melakukan tindak kekerasan seksual dan perundungan terhadap korban, sesuai hukum yang berlaku,” tulis Ketua KPI Pusat Agung Suprio pada rilisan pers yang diterima VICE. Pada Kamis (2/9) ini, Agung menginformasikan bahwa pihaknya akan memanggil terduga pelaku, yang masih diperiksa hingga artikel ini tayang. “Setelah kami panggil, baru kami pertimbangkan untuk nonaktifkan,” kata Agung kepada Tempo.
Di mana ada kasus viral, di situ pula aparat mulai bergerak. Dirtipidum Bareskrim Andi Rian Djajadi menjelaskan dirinya baru saja dapat informasi kasus pada Kamis (2/9) pagi dan langsung menurunkan timnya untuk penyelidikan. Sementara itu, Kabareskrim Agus Andrianto menyarankan korban melapor (lagi) ke kepolisian.
Respons aparat penegak hukum kala menangani kasus-kasus perundungan dan kekerasan seksual dinilai buruk oleh Koordinator Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora. Kepada VICE, Nelson mengakui ada kasus-kasus serupa yang ditolak polisi. Namun, LBH Jakarta tidak menghitung jumlahnya secara pasti.
VICE juga menghubungi sejumlah lembaga lain, seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Masyarakat, dan LBH APIK Jakarta, untuk mencari data pembanding soal respons kepolisian terhadap kasus bullying maupun dugaan pelecehan. Lembaga yang terakhir disebut hanya memiliki data untuk kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
“[Untuk kekerasan seksual] alasan polisi menolak menerima kasus karena [korban dan pelaku] dianggap suka sama suka. [Korban kerap ditanya] biasanya kenapa mau datang ke kosannya [pelaku]? mengasumsikan bahwa itu konsensual dan menyalahkan korban,” kata Nelson saat dihubungi VICE.
Sementara itu, Nelson melihat kasus perundungan, baik di sekolah maupun tempat kerja, jarang sampai ke kepolisian, karena keburu selesai lewat mekanisme internal sekolah atau perusahaan. Artinya dalam mayoritas kasus perundungan di Indonesia, seringkali berujung penyintas menyimpan sendiri rasa sakit atas perlakuan yang menimpanya.
“Perundungan [seringkali] enggak sampai ke pidana karena enggak ada pasal spesifik, beda sama pembunuhan. Tapi, meski pasalnya enggak ada, perundungan [bisa dipidanakan] dalam bentuk tindakannya. Misalnya, disundut rokok dan ada bekasnya, itu bisa masuk penganiayaan,” tambah Nelson. “Kalau di KPI itu, kalau foto buah zakar korban tersebar di tempat umum kayak Facebook atau Twitter, baru bisa kena UU ITE. Jadi tergantung bentuk tindakannya.”
Nelson menilai, polisi seharusnya punya kewajiban menerima setiap laporan yang masuk, termasuk untuk kasus bullying. “Soal kemudian itu tindak pidana atau bukan, itu bisa diketahui lewat pemeriksaan, selesai proses penyelidikan. Enggak bisa langsung ditolak di depan,” kata Nelson.
Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat Yosua Octavian menilai kasus MS menjelaskan bahwa kekerasan seksual menghantui tempat kerja dan laki-laki pun bisa menjadi korban. VICE sendiri pernah meliput kasus pelecehan seksual yang kerap menimpa sopir ojol laki-laki, namun mereka rata-rata enggan memperkarakannya lebih jauh.
Selain penolakan langsung, hambatan penyelesaian kasus juga terjadi ketika polisi acapkali gagap menentukan jerat pasal pelecehan seksual kala dihadapkan pada kasus.
“Pada 2019, LBHM pernah mendampingi korban pelecehan seksual dari kelompok minoritas gender oleh petugas keamanan di kantornya. Laporan diterima kepolisian, namun polisi menolak pasal perbuatan cabul atau perkosaan karena korban bukan berjenis kelamin perempuan secara administrasi. Akhirnya, narasi yang dibangun adalah ‘perbuatan tidak menyenangkan’,” cerita Yosua kepada VICE.
Kasus ini kemudian diselesaikan lewat mekanisme internal, kala kantor penyintas bersedia memediasi.
Arsip yang berhasil dijangkau adalah Catatan Tahunan LBH Apik Jakarta Tahun 2020 yang melaporkan bahwa di tahun itu LBH APIK menerima 16 aduan kasus kekerasa seksual kepada anak, di mana hanya 12 kasus yang diproses di tingkat kepolisian. Sementara itu, pengaduan kekerasan seksual pada perempuan dewasa sebanyak 80 kasus.
Dalam laporan tersebut, LBH APIK mencatat beberapa kendala proses kasus kekerasan seksual di kepolisian. Pertama, sikap aparat tidak berperspektif korban, minimnya pengetahuan aparat tentang kasus kekerasan seksual, dan minimnya pembuktian yang mengakibatkan proses penyelidikan memakan waktu lama.
Direktur LBH APIK Jakarta Siti Mazumah mengonfirmasi bahwa laporan kekerasan seksual dan bullying kerap dianggap enteng polisi. “Apalagi korbannya laki-laki. Kita enggak punya payung hukum untuk laki-laki dewasa yang menjadi korban kekerasan seksual, sementara kekerasan seksual dialami oleh siapapun,” kata Siti kepada VICE.
“Polisi tidak akan mau menerima laporan jika tidak ada pasal yang digunakan. Padahal, dalam tindak pidana kekerasan seksual tidak ada istilah penyelesaian internal.”