“Kenapa enggak pernah bilang kamu dari ‘Scheduled Caste’?”
Scheduled Caste (SC) atau kasta terjadwal tidak masuk dalam empat kasta utama, dan berada di bagian paling bawah hierarki sosial.
“Saya kira itu enggak penting.”
“Seharusnya kamu bilang saja,” tandas temanku yang liberal dan perokok. Dia tidak pernah memedulikan apa kata orang — sikap yang menurut orang-orang di tempat tinggal kami “tidak sesuai norma”.
Saya mengaguminya.
“Dia pasti tidak akan mempermasalahkannya, kan?” batinku setelah kami mengakhiri percakapan. Tapi… Kenapa dia bertanya seperti itu, ya? Apakah karena saya bisa masuk kampus yang dia inginkan? Tapi, saya bisa masuk bukan karena kasta. Yaelah, kenapa sih kampus harus mengekspos “kategori” saya?
Itu terakhir kalinya kami mengobrol.
Belakangan, saya tahu dari orang lain kalau dia menghina kasta saya. “Oh, dia bisa masuk karena reservasi (kastanya),” begitu yang saya dengar.
Saya pertama kali mengetahui kasta dari pelajaran sejarah. Kasta dikatakan sebagai hierarki sosial kuno yang ditentukan murni berdasarkan pekerjaan seseorang. Akan tetapi, jika memang kasta hanyalah praktik usang, kenapa sebagian besar “pemulung selokan” di India berasal dari SC/komunitas Dalit? Dalit Bahujan (istilah lain kasta terjadwal) seharusnya bisa memiliki jabatan tinggi. Pada kenyataannya, komunitas kasta atas mendominasi lembaga pendidikan, pemerintahan, hukum dan media di India. Semua posisi penting yang memengaruhi tatanan sosial politik dan ekonomi negara diduduki oleh mereka.
Kalangan kasta atas sering mengklaim sistem kasta sebenarnya tidak seburuk itu, dan hanya berlaku di daerah pedesaan. Namun, mereka lupa kasta bagaikan monster yang bisa berevolusi agar tetap hidup. Stratifikasi sosial memaksa kamu untuk tahu diri dan tempat. Berada di kasta terendah berarti kamu harus siap menerima segala penghinaan dan diskriminasi yang mungkin terjadi. Pelanggar sistem kasta akan didisiplinkan dengan kekerasan ekstrem.
Di tingkat lokal, kamu tidak bisa melepaskan diri dari batasan kasta karena orang-orang mengetahui siapa dirimu dan apa statusmu. Tapi di bawah modernitas yang membuat hubungan tetap menjadi tidak terikat, ada kemungkinan untuk “bebas” dari batas-batas kasta yang kabur. Mirip seperti orang kulit Hitam campuran yang memiliki peluang lebih besar, anggota kasta rendah dapat memperluas cakrawala mereka selama berpendidikan dan memiliki privilese.
Saya sendiri contohnya. Saya berasal dari keluarga kelas menengah yang terpelajar. Saya bisa belajar tentang kasta bukan melalui pengalaman pribadi, melainkan lewat pelajaran sekolah. Walaupun begitu, saya tidak bisa melupakan asal-usul. Identitas saya sebagai Scheduled Caste bagaikan cap yang tertempel di dahi, menjadikan saya sasaran empuk cemoohan dan bahkan kebencian dari rekan-rekan kasta atas.
Aniket Vayadande* mengalami hal serupa saat beranjak dewasa. “Kebanyakan orang tidak tahu kasta saya, jadi saya merasa terisolasi dari kenyataan,” tuturnya. “Semuanya berubah ketika saya kelas enam. Saat itu, teman sekelas menanyakan kasta saya. Kesehatan mental akan terganggu saat menyadari kamu berbeda. Saya tidak tahu bagaimana menghadapinya. Sekarang pun, saya diam saja kalau ada yang mengira saya dari kasta atas.”
Namun, tidak bisa semudah itu bagi Dalit Bahujan untuk mendapatkan pendampingan psikologis di India. Kehadiran Bahujan di pelayanan kesehatan mental masih sangat langka. Penindasan sistemik yang dihadapi Dalit Bahujan sering kali tidak diakui oleh terapis kasta atas yang mendominasi bidang itu. Segala kesulitan mereka tak jarang dianggap sebagai kelemahan diri.
“Butuh waktu yang lama untuk menjadi terapis,” ungkap terapis seni ekspresif Padmalatha Ravi. Bagi orang Bahujan, kurangnya akses pendidikan mempersulit mereka untuk menjadi tenaga ahli di bidang kesehatan mental. “Kalaupun bisa, kamu membutuhkan waktu dan modal sosial untuk membangun jaringan dan mengumpulkan referensi. Hal-hal itu berhubungan dengan masalah sistem kasta yang lebih besar.”
Kampus saya jauh lebih liberal dari universitas lain di India, tapi saya masih harus meyakinkan teman kalau saya berasal dari kasta rendah. Menurutnya, orang dari kelas menengah yang fasih berbahasa Inggris tidak pantas disebut Dalit. Oleh karena itu, saya tidak punya hak untuk mengangkat isu terkait kasta tak tersentuh.
Saya mulai menjalani terapi sesuai saran psikiater. Awalnya berjalan lancar, sampai akhirnya saya menceritakan saya merasa terpuruk akibat komentar teman-teman kasta atas. Psikiater bilang saya terlalu menggeneralisasi orang kasta atas. Menurutnya, saya cuma paranoid saja. Saya tak pernah berkonsultasi lagi dengannya sejak itu. Saya menyadari bahwa tenaga kesehatan mental India masih tidak mengindahkan fakta sistem kasta dapat memengaruhi psikis kita.
Bahkan ketika orang Bahujan memperoleh profesi kerah putih karena tampak seperti orang kasta atas, mereka menyadari apa artinya memiliki status ini. P. Senthil* dari komunitas Adi Dravida berujar, “Saya bekerja di organisasi pemerintah, jadi ada reservasi untuk kasta terbelakang. Orang-orang dinilai karena membantu tindakan afirmatif. Saya berencana mengungkapkan identitas saya sebagai Dalit setelah memiliki banyak pengalaman dan pekerjaan yang stabil.”
Akan tetapi, pengingat kecil namun penting mengenai kasta dapat menurunkan kepercayaan diri seseorang.
Ucapan orang mungkin benar adanya. Saya tidak pantas masuk universitas terbaik; bahwa saya tak pantas menyebut diri ini orang Dalit; atau saya seharusnya tidak menggunakan reservasi kasta untuk mempersiapkan masa depan—tak peduli reservasi itu bukan untuk bantuan keuangan, melainkan sebagai ukuran untuk meningkatkan citra kasta saya di dunia pendidikan dan pemerintahan.
Organisasi semacam The Blue Dawn dibentuk untuk mempermudah orang Bahujan bertemu dengan terapis yang memahami perjuangan mereka tanpa menghakimi. Organisasi ini sayangnya masih terbatas, dan kita memerlukan diskusi yang lebih luas tentang kasta di kalangan perawatan kesehatan mental.
Identitas dapat memengaruhi kehidupan seseorang. Sudah waktunya kita mengakui penindasan sistemik yang dialami Dalit Bahujan dan membuka mata betapa kasta sangat merugikan kesehatan mental.
*Nama telah diubah untuk melindungi privasi narasumber.
Follow Agnee di Instagram.