Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi saya masih berkutat dengan video game favoritku. Saya keasyikan bermain The Legend of Zelda: Breath of the Wild, game keluaran Nintendo yang dirilis pada 2017 lalu. Permainan ini memiliki dunia yang sangat luas dan terbuka. Banyak yang bisa kita jelajahi di sana.
Saya belum juga berhasil menyelesaikan gamenya secara tuntas, meski telah menghabiskan lebih dari 300 jam dalam hidupku untuk merampungkan berbagai misi dan quest. Semua ini ada hubungannya dengan mengumpulkan “Korok Seeds”.
Pemain bisa menukarkan benih ini dengan item yang dibutuhkan untuk meningkatkan persenjataan. Tapi masalahnya, Korok Seeds tersebar di seluruh Hyrule, kerajaan fantasi yang menjadi latar petualangan game Zelda selama 35 tahun terakhir. Dan totalnya ada 900 biji yang harus dikumpulkan. Saya sama sekali tak menikmati petualangan mencari benih sialan ini, tapi rasanya ada yang kurang jika belum mengumpulkannya.
Perkembangan industri game di abad ke-21 telah menciptakan potensi bisnis yang luar biasa besar. Namun, kebebasan yang kita miliki untuk bermain game saat ini telah mengembangkan masalah yang lebih serius. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah mengakui kecanduan video game sebagai gangguan kesehatan mental sejak 2017. Penelitian yang dilakukan WHO menemukan 1-3 persen gamer di dunia ini menunjukkan tanda-tanda kecanduan.
Kita bisa melihat sendiri ke sekeliling, betapa banyaknya orang yang rela menghamburkan uang demi melengkapi koleksi di game. Orang merogoh kocek lebih dalam agar cepat naik level atau meningkatkan skill. Saya pun bukan satu-satunya yang kebablasan bermain hingga larut malam.
Saya menghubungi Nastasia Griffioen, mahasiswi PhD yang tengah mendalami pengaruh video game terhadap perilaku manusia, untuk mencari tahu mengapa orang dewasa sepertiku sampai mengorbankan waktu tidur demi mengumpulkan 900 benih virtual. Bersama para ilmuwan dan peneliti yang tergabung dalam lab Games for Emotional and Mental Health (GEMH), Griffioen mempelajari hubungan game dengan kesehatan mental pada anak-anak dan dewasa muda.
Dia juga seorang gamer, yang memahami sulitnya menahan godaan untuk terus bermain dan mengesampingkan akal sehat. “Keinginan untuk menyelesaikan semua misi game terkait dengan konsep psikologis yang biasa kami sebut sebagai efek Zeigarnik,” terangnya.
Psikolog Lithuania-Soviet Bluma Zeigarnik pernah menerbitkan penelitian yang membahas bagaimana tugas-tugas yang kita kerjakan dapat memberi tekanan pada otak. Menurut penjelasannya, otak manusia cenderung mengingat tugas yang belum selesai dibandingkan dengan yang sudah diselesaikan. “Developer game memanfaatkan fenomena ini untuk membuatmu ketagihan,” Griffioen membeberkan. “Pikirkan semua tugas game yang tidak dapat diselesaikan sekali jalan — task semacam itulah yang mendominasi kesadaran kita.”
Efek Zeigarnik terkait dengan apa yang disebut “completionism”. “Yang dimaksud di sini adalah selain ingin menuntaskan cerita game, juga ada dorongan untuk mengumpulkan setiap objek, menyelesaikan semua quest dan menemukan setiap sudut yang ada di peta game,” lanjutnya.
Kecenderungan ini kurang lebih mirip “trophy hunting”, sebuah aktivitas mengumpulkan hadiah yang hanya bisa diperoleh setelah pemain menyelesaikan tugas dan tantangan tertentu. Banyak forum dan grup diskusi yang didedikasikan untuk membicarakan strategi, bertukar cerita hingga memamerkan pencapaian.
Sifat completionist itulah yang dijadikan pemacu agar kamu bermain selama mungkin. Itu seperti sistem hadiah. Menurut berbagai forum, ada hadiah istimewa bagi para pemain yang berhasil mengumpulkan 900 Korok Seeds. Saya benar-benar penasaran hadiah apa yang dimaksud.
Griffioen berpendapat teori konsumsi konseptual, yang telah dipelajari secara ekstensif di dunia pemasaran, juga bisa digunakan untuk memahami kebiasaan nge-game seseorang. Berhubung kebutuhan pokok telah terpenuhi, kita akhirnya mencari sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan psikologis — itulah sebabnya ia disebut mengonsumsi konsep. “Semakin langka pengalaman dalam game, rasanya juga semakin memuaskan,” lanjutnya. “Kamu sadar cuma segelintir gamer yang bisa mengumpulkan benihnya, jadi kamu akan merasa seperti orang terpilih apabila berhasil melakukannya juga.”
Menurut Griffioen, gamer dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama. “Ada pemain kasual seperti diriku. Saya hanya main saat menikmatinya dan berhenti kalau sudah bosan,” tuturnya. Lalu ada tipe completionist macam diriku.
“Yang terakhir adalah speedrunner. Mereka ingin menyelesaikan game secepat mungkin,” imbuhnya. “Mereka akan masuk ke kondisi flow state untuk bisa melakukan ini. Mereka menenggelamkan diri dalam permainan sampai tidak menyadari waktu telah banyak berlalu.”
Griffioen mengungkapkan banyak gamer yang amat menginginkan dirinya bisa larut dalam game, dan kondisi ini sebetulnya bermanfaat bagi kesehatan mental kita. “Media cenderung hanya menunjukkan dampak buruk bermain game, padahal flow state terbukti memiliki efek positif dalam mengatasi kecemasan dan depresi,” terangnya. “Otak kerap berpikir terlalu berlebihan tentang diri sendiri dan dunia, sedangkan keadaan larut dapat membantu mengendalikan impuls-impuls tersebut.”
Saya memahami apa yang ia katakan. Kalau saya tidak bermain game sampai bete, pengalaman mencari benih sebenarnya sangat meditatif — meskipun memakan waktu. Akan tetapi, tetap saja saya khawatir dengan gaya bermainku yang berlebihan. Apakah orang yang terbiasa menyelesaikan misi game tanpa tersisa lebih berisiko mengalami kecanduan game?
“Kamu harus mempertimbangkan seberapa besar pengaruh game dalam hidupmu. Begitulah cara kita mendefinisikan sesuatu sebagai tanda kecanduan. Apakah bermain game berdampak negatif pada aspek lain dari hidupmu?” tanya Griffioen. Dan pikirkan juga, apakah jam tidur menjadi kacau akibat hobi ini?
Dia menganggap kecenderungan saya untuk terus nge-game meski sudah tidak menikmatinya lagi belum tentu menandakan kecanduan. Kalau pun kamu merasa bermain game telah memengaruhi aspek hidup lain, kamu masih bisa mengatasinya sebelum berkembang menjadi kebiasaan buruk. “Saya sarankan untuk mengurangi waktu bermain, berjanji pada diri sendiri untuk tidak sering main, dan kasihanilah dirimu sendiri. Jangan paksakan diri untuk bermain kalau kamu sudah tidak menikmatinya.”
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.