Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Lampung Timur membagi kabar sedih pada peringatan Hari Satwa Sedunia, 4 Oktober kemarin. Balai mengumumkan, sebanyak 22 ekor gajah sumatera mati akibat perburuan liar selama 10 tahun terakhir. Dugaan perburuan liar muncul karena bangkai satwa dilindungi tersebut ditemukan tanpa gading maupun caling (gading gajah betina), dua bagian tubuh gajah yang laku keras di pasar gelap.
Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya alat berburu seperti jaring kabut, nilon, sling, kandang perangkap, dan tanda-tanda perburuan lain selama semester awal 2021.
“Temuan ini menandakan bahwa perburuan liar di kawasan TN Way Kambas harus dihentikan karena mengancam populasi satwa liar dan berpengaruh pada keseimbangan ekosistem hutan,” kata Kepala Balai TNWK Kuswandono, lewat keterangan pers. Ia menjelaskan, pemburu juga kerap membakar hutan demi memudahkan pencarian gajah, padahal aktivitas ini turut memicu bencana ekologis lain.
Angka gajah yang dibunuh pemburu liar ini sebenarnya bisa jadi lebih tinggi. Pada 2018 lalu, LSM lingkungan asal Amerika Serikat Wildlife Conservation Society (WCS) mencatat 26 ekor mati di Way Kambas sepanjang 2011-2018 (7 tahun), melebihi angka satu dekade versi TNWK.
“Faktor penyebab bisa maraknya perburuan itu karena banyaknya celah masuk bagi para pemburu ke dalam hutan TNWK mengingat topografi hutan Way Kambas yang datar, berdampingan dengan pemukiman penduduk, dan berbatasan dengan laut sehingga petugas kesulitan mengawasinya,” kata aktivis WCS Lampung Timur Sugio, seperti dilansir Antaranews.
Kepala Balai TNWK saat data itu dirilis, Subakir, menolak angka yang dilaporkan WCS. Namun, ia mengakui Balai TNWK memang kekurangan petugas. Institusi ini hanya memiliki 50 petugas polisi hutan (polhut) untuk menjaga 125.621 hektare hutan atau 8 kali luas Jakarta Selatan.
Celah ini tidak hanya berbahaya bagi kehidupan gajah sumatera, namun juga satwa lain. Agustus kemarin, polhut TNWK bersama Polres Lampung Timur menangkap AS (24) dan AK (40) yang tengah berburu rusa di kawasan konservasi. Dari penangkapan, polisi menyita dua pucuk senjata api laras panjang, 25 butir peluru, satu unit HT, dua tas pinggang, enam karung plastik, satu kepala rusa, dan satu anak rusa yang masih hidup.
Mundur ke Februari 2021, polhut juga menangkap Jumani (46), Arpanji (22), Budi Purnomo (30), dan Paino (43) setelah kepergok berburu liar. Dari perahu yang dipakai pelaku, ditemukan barang bukti lima ekor pelanduk napu, dua ekor rusa, dan satu ekor landak. Kepala Balai TNWK saat itu, Amri, meminta polisi melakukan pengembangan kasus bukan hanya mengincar pemburu, tapi juga melacak penadah dan pemberi modal.
“Mereka ini terstruktur, semuanya harus dibongkar,” kata Amri kepada Mongabay. “Senjata [pelaku] itu dipinjami oknum pensiunan polisi yang tinggal di Lampung Selatan. Rencana mereka, hasil tangkapan itu akan disetor ke sana.”
Perdagangan dan perburuan gajah bukan hanya terjadi di Lampung. VICE pernah melaporkan kasus perdagangan gading gajah yang bisa ditemukan di Jambi, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Perburuan gajah juga masif terjadi di Aceh. Di awal 2020, 11 orang ditangkap atas tuduhan membunuh dan menjual gading serta caling gajah. Komplotan ini menangkap gajah dengan cara sadis: memasang pagar listrik.
Yang lebih mengerikan, dalam persidangan kasus ini saksi dari BKSDA Aceh mengatakan, dikutip Mongabay, salah satu terdakwa bernama Edi Murdani adalah pemain pro dalam bisnis satwa liar. Edi pernah dihukum penjara pada 2016 karena menjual gading gajah dan sisik trenggiling, namun mengulangi perbuatannya lagi setelah bebas.
Kasus pembunuhan gajah secara sadis di Aceh terulang lagi pada Juli 2021. Seekor gajah ditemukan mati tanpa kepala, dan ditemukan plastik berisi racun di dalam perutnya. Lima orang pelakunya kini tengah menunggu persidangan.
Kasus demi kasus seperti inilah yang membuat populasi gajah terus mengalami menurun. Dalam 10 tahun terakhir, total ada 700 gajah Sumatera yang mati diburu. Per 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan populasi gajah sumatera tersisa 693 ekor. Ancaman kepunahan terus mengintai apabila pemerintah tak kunjung serius menangani.
Wildlife Trade Program Manager WCS Dwi Nugroho Adhiasto berpendapat, pemerintah dan lembaga konservasi baiknya turut mengidentifikasi lokasi perdagangan satwa liar. Misalnya, ia menyebut, ada sentra kerajinan gading di Bengkulu, Lampung, Bali, dan Nusa Tenggara Timur yang perlu diperiksa. Dengan membongkar perdagangan dan lokasi para perajin gading, jaringan pemburu gading diharapkan bisa terkuak. Sebab, perajin terkoneksi dengan pemburu atau perajin juga berperan sebagai penampung gading dan penjual gading ukir.