Lirik “yang kau takutkan takkan terjadi” milik Kunto Aji di lagu “Rehat” sepertinya tidak berlaku buat kebijakan pemerintah. Program pemerintah agar ASN Kementerian bekerja dari Bali (work from Bali/WFB) demi memulihkan perekonomian pariwisata baru saja dilaporkan memicu peningkatan penularan Covid-19 di Pulau Dewata. Hal ini disampaikan Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Provinsi Bali I Made Rentin, Selasa kemarin (22/6).
“[Kasus] dominan disumbangkan baik PPDN [pelaku perjalanan dalam negeri] maupun transmisi lokal dari berbagai kegiatan masyarakat. Ada liburan dan ada yang tugas dinas ke Bali. Salah satunya [work from Bali]. Salah duanya sudah banyak kunjungan kerja daerah lain ke Bali,” kata Rentin kepada Detik.
Sejak memasuki Juni, memang terjadi lonjakan kasus hingga tembus ratusan per hari. Per Senin (21/6), tercatat sebanyak 48.436 pasien positif di Bali, 1.536 di antaranya meninggal dunia.
Mengantisipasi hal ini, Rentin mengaku tengah menunggu arahan Gubernur Bali untuk langkah selanjutnya. Sementara itu, dia hanya bisa memastikan akan ada pengetatan di pintu masuk wilayah, penekanan protokol kesehatan, dan optimalisasi pelaksanaan vaksinasi.
Sayangnya, data Satgas tidak sepenuhnya disetujui Pemerintah Provinsi Bali. Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Pemprov Bali Gede Pramana membantah tudingan WFB sebagai penyebab lonjakan kasus.
“Melonjaknya kasus Covid-19 tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia. Jadi, tidak tepat menyebut kebijakan work from Bali sebagai pemicunya. Lonjakan kasus ini antara lain disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang semakin meningkat dan munculnya mutasi baru virus corona,” kata Gede dalam keterangan pers, dilansir dari iNews.
Walau mengakui kasus bertambah akibat “aktivitas masyarakat meningkat”—yang pasti terjadi selama WFB karena kunjungan wisatawan naik—Gede tetap menganggap “Kebijakan WFB akan sangat membantu perekonomian Bali kembali pulih, tentunya dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan.”
Pelaku industri pariwisata Bali juga menolak WFB disalahkan. Ketua Bali Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE) Forum Putu Gede Wiwin Gunawasika mengatakan, program WFB baru berjalan, sehingga tidak bisa dikaitkan dengan peningkatan kasus Covid-19 beberapa minggu terakhir.
“Jelas kami juga membantah jika efek WFB yang membuat kenaikan Covid di Bali. Kita ini belum ada apa-apa dengan program WFB. Belum ada arrangement yang masuk melalui kami saat ini,” kata Wiwin dilansir Kompas. Dia meyakinkan seluruh objek wisata di Bali telah menjalankan prokes dengan baik.
“Persiapan menuju open border pun sudah dilakukan sehingga pelaksanaan prokes di Bali sangat ketat, pun pengawasannya. Masak iya kami akan merusak periuk nasi kami sendiri,” kata Wiwin yang terdengar senada dengan Gede.
Sementara itu, Ketua Bali Tourism Board (BTB) Ida Bagus Partha Adnyana menyebut naik turunnya angka Covid-19 di situasi ini adalah—yuk tarik napas dulu—hal yang sangat normal. “Jangan terlalu berlebihan. Saya berbicara dengan data dan fakta di lapangan, bahwa tiga zona hijau Sanur, Ubud, Nusa Dua sebagai rujukan tempat WFB masih sangat terkendali,” ujar Ida, dilansir Republika.
Lantas, gimana pandangan epidemiolog? Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menyatakan dari awal konsep WFB memang berisiko. “Berpotensi menjadi kluster, apalagi dengan varian yang sangat cepat menular seperti delta varian. Jadi saya pikir [kebijakan WFB] harus di-suspend. Ini berbahaya sekali,” Dicky memberi tahu VICE.
Dicky melihat WFB kontraproduktif mengingat program ini justru tidak mendukung PPKM, program yang dipilih pemerintah untuk menggantikan opsi lockdown. “Jadi, tidak ada namanya, ketika kita dalam situasi seserius ini, terus melakukan pelonggaran, ya itu namanya kita mengulang cerita lima bulan ini dan akan memakan banyak korban,” lanjutnya.
Menurut Satgas Covid-19 nasional pada Selasa, kasus corona Indonesia naik tajam sampai 92 persen dalam empat minggu terakhir. Peningkatan ekstrem disumbang oleh enam provinsi, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur. Akibatnya, keterisian tempat tidur (bed occupancy rate) rumah sakit di seluruh wilayah tersebut, kecuali Jawa Timur, kini di atas 80 persen. Tabung oksigen di Yogyakarta juga habis per pekan ini.