Berita  

Sambung Ruh Ulama Nusantara Tubagus Sangkrah

sambung-ruh-ulama-nusantara-tubagus-sangkrah

Sambung Ruh Ulama Nusantara Tubagus Sangkrah

LIPUTAN4.COM, Lampung , Sambung Ruh Ulama Nusantara Tubagus Sangkrah atau Pangeran Maulana Hasanudin Teluk Sukajaya, Lempasing, Pasawahan Lampung.
———————————————————————-
Oleh : @ Sofyan Mohammad **
#Rangkaian Muktamar NU 34 Lampung
Part 1
———————————————————————-
Malam beringsut dengan awan pekat diantara bunyi desiran angin yang mendorong gulungan ombak ditepian pantai berpasir putih terbentang memanjang bekelok kelok di teluk Sukajaya, Lempasing, Padang Cermin, Pasawahan Lampung.


Diantara tumbuhan tanaman pohon waru dan pohon Ketapang yang berjejer ditepian pantai sesekali terdengar bunyi burung gagak yang bersahutan dengan ciutan kelelawar terbang menyintas secara bergerombol untuk mencari tempat bertengger diranting maupun dahan pohon waru dan ketapang yang berdiri kokoh menjalar landai bercabang cabang dengan susunan yang horisontal dengan daun daun yang rimbun nan lebat.

Gulungan lembut ombak pantai menyirami secara pasir putih dan lambaian berayun daunan waru di tiup angin malam adalah cakrawala yang menorehkan kisah kehidupan masa lalu yang terhubung dengan makam keramat TB. Sangkrah atau Pangeran Maulana Hasanudin.

Menurut penuturan juru kunci makam mang Odeng menceritakan jika TB. Sangkrah adalah seorang ulama yang semasa hidupnya menyiarkan agama Islam di wilayah Pasawahan Lampung yang tinggal menetap di teluk Sukajaya ini hingga akhir hayatnya. Mengutip tulisan yang terpampang di tembok luar makam yang menyebutkan TB Sangkrah atau Pangeran Maulana Hasanudin, oleh juru kunci makam atau warga sekitar tidak ada yang bisa meriwayatkan secara utuh setelah dikonfirmasi selain hanya menceritakan jika Mbah Sangkrah berasal dari Pulau Jawa yang masih ada keturunan dari Sunan Gunung Jati, bertolak dari sepenggal kisah ini, selanjutnya dapat terlacak dari berbagai tulisan sejarah yang sudah tersebar luas.

Sambung Ruh Ulama Nusantara Tubagus Sangkrah
Berdasarkan berbagai catatan yang ada terkait dengan riwayat dan asal usul dari pada Mbah TB. Sangkrah maka muncul spekulasi jika Keberadaan Mbah TB. Sangkrah di tempat ini adalah bagian tidak terpisahkan dengan ekspedisi penyerangan Kasultanan Banten kepada Kerajaan Palembang di Sumatra pada kisaran tahun 1596 M.
Syahdan dikisahkan pendiri Kasultanan Banten adalah Pangeran Sabakingking yang kelak setelah menjadi Raja Banten bergelar Sulthanul-Auliya’ Wal Arifin Asy-Syaikh Sultan Syarif Maulana Hasanuddin Al-Azhamatkhan Al-Husaini Al-Bantani yang berkuasa di Banten sejak 1552 sampai dengan 1570.

Sultan Maulana Hasanuddin merupakan salah seorang putra dari Sunan Gunung Jati yang dikisahkan jika Sultan Maulana Hasanuddin juga memiliki istri dari bangsa jin yang telah melahirkan seorang putra bernama Arya Dillah yang sejak kecil diasuh oleh ibunya namun setelah dewasa mampu mencari ayahnya sendiri yang diceritakan pada waktu itu Arya Dillah dengan mengenakan pakaian yang compang samping, lusuh dengan tubuh yang dekil telah datang ke Kedathon Banten untuk mencari ayahnya hingga sempat terjadi keributan dengan para prajurit penjaga istana yang kewalahan untuk dapat meringkusnya.

Mendengar adanya keributan diluar pendopo Kraton tersebut maka Sultan Maulana Hasanudin keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dan setelah mengetahui adanya Arya Dilah maka Sultan langsung dapat mengenali jika pemuda compang camping itu tak lain adalah anaknya sendiri dari ibu yang berasal dari bangsa Jin, karenanya Sultan Maulana Hasanudin kala itu langsung memeluk dan mempersilahkan Arya Dilah untuk masuk kedalam istana, kejadian itu telah membuat seluruh punggawa Kraton menjadi terheran heran sebab tidak menyangka jika pemuda dekil tersebut adalah salah seorang anak Sultan.

Namun ada kisah lain yaitu suatu ketika Arya Dilah telah menceritakan kisah hidupnya kepada Sultan Maulana Hasanudin dalam suatu kesempatan, mendengar cerita tersebut maka Sultan Maulana Hasanudin meminta dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya memang anak seorang raja Banten yaitu dengan cara menyuruh Arya Dillah untuk merontokan seluruh daun beringin dari salah satu pohonnya disekitar istana tanpa sehelai daunpun yang tersisa. Arya Dillah menyanggupi permintaan tersebut dengan cara bertapa di bawah pohon beringin yang akan dirontokkan seluruh daunnya tersebut dan dalam pertapaannya itu, ia meminta bantuan kepada ibu dan kakeknya agar kesaktiannya bisa merontokkan seluruh daun pohon beringin itu, tidak lama kemudian dengan kesaktian yang dimilikinya, pohon beringin itu hanya dengan sekali tiup saja seluruh daunnya rontok tidak ada selembar daun yang rusak atau tertinggal di pohonnya semua daun jatuh rontok berguguran ditanah.

Setelah dirinya diakui sebagai anak Raja Banten, Arya Dillah langsung diberi amanah untuk mengusir semua roh halus atau dedemit yang ada di sekitar keraton. Bahkan semenjak kejadian itu Arya Dilah diangkat menjadi Pangeran sekaligus menjadi wakil panglima perang Kasultanan Banten dan kemungkinan besar beliau juga sangat berperan besar dalam upaya penyerangan Kasultanan Banten di era Sultan Maulana Muhammad ke Kerajaan Palembang.
Dikisahkan sepeninggal Sultan Maulana Hasanuddin maka tahta Kasultanan Banten diteruskan oleh Sultan Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan yang memerintah sejak tahun 1570 hingga 1585, selanjutnya tahta dilanjutkan oleh Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 – 1596 pada masa pemerintahan inilah lawatan ekpedisi ke kerajaan Palembang dilakukan.

Patut diduga Pangeran Arya Dilah juga dilibatkan dalam proses syiar agama Islam di wilayah Lampung sejak masa Sultan Maulana Hasanudin sehingga beliau sudah mengenal berbagai wilayah di lampung dan tatakala era Sultan Maulana Muhammad melakukan penyerangan ke Palembang maka Pangeran Arya Dilah juga dilibatkan, dengan demikian diyakini Pangeran Arya Dilah mengalami pergantian masa pemerintahan Kasultanan Banten yaitu masa Sultan Maulana Hasanudin, Sultan Maulana Yusuf hingga Sultan Maulana Muhammad yang telah mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten untuk mempersempit gerakan Portugal di Nusantara, tetapi gagal karena ia meninggal dalam penaklukan tersebut.

Sambung Ruh Ulama Nusantara Tubagus Sangkrah
Dalam naskah sastra klasik Sajarah Banten di buku ‘Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, maka Maulana Muhammad selama enam belas tahun menjadi raja di Kesultanan Banten dikenal sebagai raja yang soleh dan bijaksana, konon dikisahkan penyerbuan ke Palembang oleh Kesultanan Banten bermula dari hasutan Pangeran Mas yang merupakan keturunan dari Aria Pangiri putra dari Sunan Prawoto atau Pangeran Mu’min dari Demak. Pangeran Mas memiliki ambisi untuk menjadi penguasa di Palembang. Terbujuk rayuan dan hasutan Pangeran Mas, Sultan Maulana Muhammad yang berdarah muda berangkat ke Palembang dengan mengerahkan 200 Jung kapal perang.

Dalam penyerbuan itu Sultan Maulana dibantu oleh Pangeran Arya Dilah, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mas selanjutnya dalam peperangan tersebut diceritakan pada ekspedisi darat pasukan dikerahkan dari Lampung, Seputih dan Semangka, begitu aampai di Palembang pertempuran hebat berlangsung di Sungai Musi sampai berhari-hari lamanya hingga mampu memukul mundur pasukan Palembang. Diceritakan dalam kondisi hampir menang, Sultan yang memimpin pasukan di kapal Indrajaladri malah terkena sebuah tembakan dan menyebabkan luka fatal yang berujung pada kematiannya, karena itu seluruh pasukan Banten diperintahkan untuk mundur dan penyerbuan itu tidak dilanjutkan. Peristiwa gugurnya sultan di Palembang itu tercatat pada tahun 1596.

Dikisahkan Sultan Maulana Muhammad mangkat dalam usia muda kurang lebih 25 tahun dengan meninggalkan seorang anak yang baru berusia 5 bulan dari permaisuri Ratu Wanagiri, putri dari Mangkubumi yang selanjutnya diketahui anak inilah yang menggantikan pemerintahannya dikemudian hari. Gugurnya Sultan telah membawa duka mendalam bagi seluruh pasukan maupun bagi rakyat Banten. Pangeran Mas yang oleh masyarakat dianggap penyebab kematian sultan tersebut kemudian menetap di Jayakarta, yang diceritakan jika disana beliau meninggal akibat dibunuh oleh anaknya sendiri.

Menurut perkiraan penulis setelah gagal dalam penyerangan di Palembang tersebut maka sebagian diantara pasukan ada yang tinggal dan menetap di wilayah Lampung termasuk diantaranya adalah Pangeran Arya Dillah yang tinggal dan menetap sampai akhir hayatnya di Sukajaya, Lempasing, Padang Cermin, Pasawahan Lampung. Selama tinggal di wilayah Lampung maka beliau dikenal sebagai seorang ulama yang gigih menyiarkan agama Islam kepada penduduk sekitar Teluk Sukajaya, Pasawahan Lampung dengan cara membawa perahu rakit atau Sangkrah untuk mengunjungi pulau pulau sekitar demikian tempat tinggalnya yang berada tepat ditepian pantai yang berposisi menjorok, menurut juru kunci makam konon tempat itu terdapat banyak berserakan daun daun maupun ranting ranting pohon waru yang dihempaskan oleh ombak ketepian pantai hingga menyampah berserak serakan atau sangkrah, karenanya Pangeran Arya Dilah yang telah menyamarkan identitasnya oleh masyarakat sekitar diberi julukan nama Mbah Sangkrah.

Menurut Mas Bob dan Ibunya yang mengaku sudah lebih dari tiga tahun lamanya selalu istiqomah merawat sekaligus riyadloh di makam tersebut menyampaikan jika pada akhirnya penduduk sekitar mengetahui asal usul dari Mbah Sangkrah adalah Pangeran Arya Dilah yang merupakan putra Sultan Maulana Hasanudin Raja pertama Kasultanan Banten, untuk itu penduduk menyematkan nama Tubagus pada nama depan Mbah Sangkrah yang selanjutnya tertulis TB. Sangkrah. Oleh karena Pangeran Arya Dilah adalah anak dari Sultan Maulana Hasanudin maka untuk memberikan penghormatan maka TB. Sangkrah juga menggunakan nama ayahnya atau dalam tradisi Jawa disebut dengan “nunggak semi” yaitu menggunakan nama orang tuanya sehingga nama asli dari Mbah Sangkrah atau Tubagus Sangkrah yaitu Pangeran Arya Dilah dengan nunggak semi nama Pangeran Maulana Hasanudin. Jika spekulasi susunan puzle sejarah ini tepat maka Mbah TB Sangkrah yaitu Pangeran Arya Dilah salah satu putra Sultan Maulana Hasanudin yang hidup antara pertengahan abad 15 M sampai awal abad 16.M. Beliau hidup pada masa Kasultanan Banten dengan Sultan Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin (1552 – 1570), era Sultan.

Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan (1570 – 1585) era Sultan Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana (1585 – 1596) kemungkinan hingga awal masa Sultan al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu (1596 – 1647).

Adapun makam di sebelah pusara Mbah TB Sangkrah atau Pangeran Maulana Hasanudin adalah pusara makam Mbah Sholeh yang menurut keterangan warga sekitar jika Mbah Sholeh adalah “penderek” atau orang yang selalu setia mengikuti Mbah TB Sangkrah sejak kali pertama melakukan dakwah syiar agama Islam di kawasan Pasawahan Lampung yang juga mengikuti naik perahu rakit atau sangkrah menuju pulau pulau sekitar Teluk Sukajaya hingga akhir hayatnya dan setelah beliau meninggal maka dimakamkan bersebelahan dengan makam Mbah TB. Sangkrah atau Pangeran Arya Dilah atau Pangeran Maulana Hasanudin.

Makam keramat dua ulama yang gigih berjuang melakukan syiar Islam di wilayah Pesawahan Lampung maupun pulau pulau disekitar teluk Sukajaya saat ini terletak di bibir pantai yang berada didalam bangunan berukuran sekitar 10 m x 6 m. Bentuk bangunan menyerupai arsitektur bangunan langgar atau surau surau di desa desa dengan atap mengerucut berundak, berdinding tembok setengah badan selebihnya adalah dibuat pilar pilar jendela berbentuk kubah tanpa kusen dan tanpa daun jendela sehingga tampak pemandangan yang langsung menghadap kelautan lepas.

Pusara makam Mbah TB Sangkrah atau Pangeran Arya Dilah yaitu Pangeran Maulana Hasanudin maupun nisan makam Mbah Sholeh saling berjejer terbuat dari batu alam berwarna gelap berdiri diantara lilitan akar akar pohon waru yang menjalar dengan batang yang kokoh berdiameter lingkar sekitar 1m. Batang pohon tersebut berdiri merentang dengan posisi miring setinggi 50 cm hingga 1m menerobos hingga sela sela lubang jendala, sementara cabang cabang pohon yang berada didalam bangunan tampak dipotong. Batang pohon dan cabang cabangnya yang berada didalam bangunan dibungkus dengan lilitan kain mori berwarna putih demikian kijang maesan pathok pusara makam juga dibungkus dengan kain mori putih yang lilitannya tersambung pada batang dan dahan pohon waru. Memasuki bangunan menuju nisan makam maka harus membungkukan tubuh atau berjalan sebo (berjalan sambil duduk) dibawah rentangan batang pohon waru yang melintang ditengah tengah bangunan karenanya ketika sudah memasuki area ini kita akan disuguhkan diaroma sakral, keramat nan profan.

Menurut penuturan juru kunci yang di benarkan oleh warga sekitar maka pohon waru tersebut sudah berdiri tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu yang kemungkinan umurnya adalah seusia dengan makam Mbah TB. Sangkrah, sehingga mulai dari akar, batang, dahan, ranting hingga daunnya dikeramatkan oleh sebagain warga dan para peziarah yang dapat dipergunakan untuk kepentingan pengobatan.
Menurut penuturan KH. Nukman Al Hafidz selaku Syuriah PCNU Salatiga selesai melakukan ziarah menyampaikan pandangan jika pohon waru di area makam dan tersebar berjejer di tepian pantai bukan karena sebab karena bisa bermakna isyaroh yaitu pohon waru (Hibiscus tiliaceus) merupakan tumbuhan tropis yang tidak berawa sehingga cocok untuk tumbuh ditepian pantai karena bisa berfungsi untuk menjadi pelindung tanah agar tidak abrasi laut, dengan demikian mbah TB. Sangkrah selaku ulama telah mengajarkan kita untuk selalu mencintai dan menjaga kelestarian alam.

Terkait dengan pohon waru maka dapat ditarik pelajaran ilmu karena menurut KH. Drs. Muslih, MM selaku Sekretaris PCNU Kota Salatiga menyampaikan pohon waru memiliki karakteristik pertumbuhan akar yang tidak merusak bangunan atau jalan di sekitarnya, selain itu pohon waru juga menghasilkan bunga berwarna kuning cerah yang cantik sehingga dapat menentramkan hati bagi siapa saja yang melihat apalagi memetiknya. Kyai Muslih menambahkan dalam sudut pandang ilmu tasawuf maka keberadaan Waliullah berikut jejak petilasan maupun makam adalah untuk menjaga keseimbangan alam, untuk itu keberadaan makam Mbah TB Sangkrah maupun Mbah Soleh adalah untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam di teluk Sukajaya, Pasawahan Lampung.

Menurut KH. Drs. Zaenuri Dalail, MPd selaku ketua Tandfidziah PCNU Kota Salatiga menyampaikan tasriyah dengan jika hampir semua sisi pohon waru berguna sebagai pengobatan herbal karena dalam pengobatan tradisional, akar waru dipakai sebagai pendingin untuk penderita demam, daun waru membantu pertumbuhan rambut untuk penderita alopesia sekunder juga sebagai obat antibatuk, obat antidiare berdarah/berlendir, anti-amandel sementara bunganya berkasiat untuk obat antitrakoma serta antimasuk angin, sehingga dengan sambang sambung ziaroh mengunjungi makam ini maka para peziarah akan mendapatkan pengobatan baik secara dzohir bagi yang memiliki penyakit dzohir maupun pengobatan secara bathin dalam dimensi spiritual untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT Tuhan seru sekalian alam.

Diantara hembusan angin yang mengantar ombak ketepian pantai selesai berziarah kembali KH. Nukman Al Hafidz kembali menyampaikan ujaran jika keberadaan batang pohon waru yang melintang ditengah tengah bangunan makam dan para peziarah ketika hendak berziarah mendekati pusara makam harus membungkukan tubuh atau berjalan sambil duduk (sebo) maka hal ini adalah isyaroh pelajaran dan adab yang mana ketika kita berziaroh maka hendaknya kita bertaqarub dengan merendahkan hati dan fikiran kita untuk senantiasa memuji dan mensyukuri segala nikmat dari Allah Ta’ala. Demikian akar pohon waru yang menjuntai melilit kuat nisan makam adalah salah satu simbol yang dapat ditarik pelajaran jika untuk belajar Agama maka hendaknya tetap mempertahankan atau menjaga ketersambungan sanad ilmu sampai dengan akarnya yang dalam hal ini maka para ulama Nusantara seperti halnya Mbah TB Sangkrah adalah seorang ulama yang diyakini memiliki ilmu agama dengan sanad yang tersambung hingga Baginda Rosulullah SAW.

Dengan sambang sambung ziaroh ke makam Mbah TB Sangkrah atau Pangeran Arya Dilah atau Pangeran Maulana Hasanudin semoga kita dapat meningkatkan rasa keimanan kita kepada Allah SWT sehingga kita bisa menjadi pribadi yang utama penuh mabruk.
————————————————————————–
Selesai berziarah maka angin masih berhembus seperti biasa menelusup kedalam rongga dalam setiap tarikan nafas
Gelombang ombak masih setia secara konstan menyirami pasir putih di tepian pantai
Lantas apakah kau mampu mengenalinya dalam pantulan cermin Nya tersebut…?
————————————————————————–
Semoga Allah SWT Meridloi
————————————————————————–
* Penulis memohon maaf apabila didalam penulisan ini terdapat banyak kesalahan dan menimbulkan polemik, hal tersebut semata mata karena kebodohan Penulis.
Penulis tidak miliki motif apapun selain hanya ikhtiar memunguti serpihan serpihan yang berserak dengan mencurahkan segala kebodohannya.
* Tulisan ini adalah reportase bebas dari rangkaian rihlah untusan PCNU Kota Salatiga dalam pelaksanaan Muktamar PBNU ke 34 di Bandar Lampung.
* Tulisan ini disusun berdasarkan pada wawancara mendalam pada juru kunci makam maupun warga sekitar serta ditambah dengan sumber bacaan.
1. Hendarsyah, Amir. 2010. Cerita Kerajaan
Nusantara. Yogyakarta: Great Publisher
2. Banten dari Masa ke Masa (PDF). Serang
Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi
Banten. ISBN 9786027140400.
3. Lubis, Nina Herlina, 2004. Banten dalam
pergumulan sejarah : sultan, ulama, jawara.
Jakarta : LP3ES
4. Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang,
Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
5. Taufiqurokhman; Widodo, Hari; Gunawan,
Muhammad; Lambe, Sulaeman (2014).
6. Tim Balitbang dan Diklat Kementerian
Agama Republik Indonesia. 2007.
Kepemimpinan kiai-jawara: relasi kuasa
dalam kepemimpinan tradisional religio –
magis di pedesaan Banten. Jakarta,
Kementerian Agama Republik Indonesia
7. Wildan, Dadan. 2003. Sunan Gunung Jati
antara fiksi dan fakta : pembumian Islam
dengan pendekatan struktural dan kultural.
Bandung : Humaniora
————————————————————————–
** @ Penulis adalah penderek atau pengikut para Muaziz PCNU Salatiga dalam Muktamar NU ke 34 di Lampung, sehari hari tinggal di desa.
Lampung, 21/ 12/2021

Berita dengan Judul: Sambung Ruh Ulama Nusantara Tubagus Sangkrah pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com oleh Reporter : Jarkoni