Oleh : @ Sofyan Mohammad*
LIPUTAN4.COM, Salatiga, Gugusan alam gunung andong adalah optik cakrawala yang menawan untuk didaki dalam dimensi sejarah yang menyertainya. Gunung yang terletak diperbatasan wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang. Secara administratif Gunung Andong berada di Dusun Sawit, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Secara etimologi, Gunung Andong ini memiliki aktivitas magma vulkanik aktif dan juga merupakan gunung bertipe perisai dengan beberapa puncak yang sering disebut dengan puncak Makam, puncak Sejati dan Puncak Alap-alap. Disetiap puncak beradu dengan batas jurang yang ditumbuhi dengan rerumputan liar yang menghampar hijau.
Dengan ketinggian sekitar 1.463 m, maka berada di Gunung Andong langsung terhirup udara yang segar nan sejuk. Sepanjang mata memandang terhampar panorama alam yang menawan, akan tampak pula eksotisme Gunung Telomoyo dan keperkasaan Gunung Merbabu. Barada di Gunung Andong adalah salah satu diaroma tadabur alam yang sesungguhnya.
Puncak Gunung “Andong” menyerupai punggung sapi, karena hal tersebut dikaitkan dengan penyebutan nama Andong. Sementara menurut warga sekitar kata ‘Andong’ berasal dari kata ‘Andongo’ yang dalam bahasa Jawa memiliki arti ‘permohonan’ atau ‘berdoa’ kepada sang pencipta alam. Masih menurut warga setempat penyebutan kata “Andong” konon berasal dari sebuah tanaman yang tumbuh di area tersebut dengan nama pohon Andong atau ‘Hanjuang’ sebuah tanaman berjenis perdu dengan ciri-ciri daun berwarna merah. Pohon Andong diyakini memiliki beragam khasiat untuk pengobatan hingga daunnya pun dapat dipakai sebagai pembungkus makanan.
Konon Tanaman ini memiliki kandungan kadar anti bakterial yang tinggi. Daun dan batangnya juga memiliki berbagai macam zat yang mempunyai sifat antikoagulan (menghambat pembekuan darah), antiproliferatif atau zat antikanker. Jurang jurang yang mengangga di pungung Gunung Andong, pohon pohon cemara yang berdiri kokoh diantara tebing tebing, kabut awan yang menyintasi puncak gunung Andong menjadi semacam tanda tanda Tajali -Nya.
Dipunggung gunung Andong yang eksotik tersebut terdapat jejak peninggalan ulama legendaris yang semasa hidup dikenang sebagai Kyai keramat yang karismatik. Kyai yang populer disebut dengan nama Mbah Mangli. Semasa hidup beliau dikenal sebagai seorang ulama yang khos yang menjadi panutan bagi umat. Dikutip dari Wikipedia nama asli beliau adalah Hasan Asykari yang lahir di Jepara Jawa Tengah pada hari Jumat legi tanggal 17 Agustus 1928 pukul 02.00 malam.
Mbah Mangli merupakan putra kedua dari Kyai Imam dengan meruntut silsilahnya masih keturunan dari Maulana Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Sedangkan dari garis ibu, Mbah Mangli merupakan keturunan dari Kyai Ageng Hasan Besari Ponorogo yang termasuk pula keturunan Sunan Kalijaga.
Semasa hidup Mbah Mangli atau Hasan Asykari tercatat telah menikah dengan Nyai Hajjah Umi Hasanah dan dikaruniai satu putra yang bernama Gus Tohir dan empat putri yaitu Ning Ma’unah, Ning Aliyah, Ning Ma’iyah, Ning Bahiyah. Selain itu Mbah Mangli tercatat telah menikah pula dengan Nyai Hajjah Siti Fatimah dan dikarunia 5 anak putra yaitu Gus Saad (H. Muhammad Saad), Gus Qosim (Alm. Muhammad Qosim), H. Ahmad Ridho, H. Zen Muhammad Dan Muhammad Anis.
Riwayat sanad keilmuan Mbah Mangli yaitu diawali dari pendidikan langsung dari Ayahnya yang dikisahkan berlangsung secara disiplin yang ketat dan keras. Diantara yang diajarkan ayahnya adalah menghafal kitab Taqrib berikut maknanya, serta mempelajari ilmu Tafsir Alquran baik makna maupun nasakh mansukh-nya.
Dikisahkan Mbah Mangli atau Hasan Asykari pada saat muda melakukan rihlah dan berdakwah disekitar wilayah gunung andong yang pada saat itu berapa hutan daratan tinggi yang menjadi kawasan bagi orang orang yang berafiliasi dengan gerombolan separatis Merbabu Merapi Complek (MMC). Meski berhasil ditumpas oleh TNI namun daerah tersebut belum begitu aman dari berbagai kejahatan, karena di situ adalah sarang bagi para bromocorah, perampok dan penjudi.
Kehidupan masyarakat sekitar pada waktu itu jauh dari nilai nilai ajaran agama. Masyarakat sekitar belum memiliki ketrampilan untuk mengolah sumberdaya alam pertanian yang subur. Tata cara kehidupan masyarakat belum begitu teratur baik kesejahteraan maupun tingkat keamananya. Kondisi tersebut adalah salah satu alasan bagi Kyai Hasan Asykari untuk melakukan dakwah di kawasan tersebut.
Kyai Hasan Asykari dikisahkan waktu itu sangat gigih dalam berdakwah, meski dalam perjalanannya selalu mendapat tantangan dan hambatan dari orang orang yang merasa terganggu kemapananya baik menyangkut cara dan pandangan hidup maupun tabaiatnya. Gangguan sering dilakukan oleh para bromocorah exs MMC yang berhasil meloloskan diri dari kejaran militer maupun gangguan dari masyarakat sekitar yang merasa terusik dengan segala aktifitas dakwah Kyai Hasan Asykari. Meski kerap diganggu, diintimidasi dan diteror namun Kyai Hasan Asyari tetap sabar dan istiqomah dalam melakukan dakwah. Dengan penuh kebijaksanaan yaitu dengan kreasi metode yang memperhatikan segala adat istiadat dan kebudayaan masyarakat lokal, maka lambat laun para jamaah pengikut Kyai Hasan Asykari semakin bertambah yang berasal dari masyarakat sekitar lereng gungung Andong. Hingga saat ini Kyai Hasan Asykari dikenal sebagai sosok ulama yang berhasil mengislamkan masyarakat kawasan Gunung Andong dan sekitarnya.
Dikisahkan dakwah beliau melalui pengajian rutin yang sering digelar di pondok pesantren yang dirintisnya. Pada 1959 Kyai Hasan Asykari mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi dan pasti, pondok tersebut sering digunakan untuk menggelar pengajian rutin, hingga lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Pondok Pesantren Mangli karena sosok Kyai Hasan Asy’ari dikenal luas masyarakat dengan sebutan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang
Pesantren yang dirintisnya adalah tempat untuk mendidik umat, selain di pesantren, Mbah Mangli juga aktif melakukan dakwah dan syiar Islam ke berbagai wilayah. Di desa Mejing, kecamatan Candimulyo, bahkan Mbah Mangli secara khusus menggelar pengajian rutin bertempat di sebuah langgar atau surau yang dikenal sebagai langgar Linggan. Dikisahkan para jamaah yang hadir untuk mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh mbah Mangli datang berbondong bondong dari berbagai kalangan dan wilayah. Para jamaah datang hanya untuk mendapatkan nasihat dan petuah dari kyai kharismatik tersebut dengan penuh kekhidmatan. Dikisahkan pada saat menggelar pengajian, Mbah Mangli tidak pernah menggunakan pengeras suara, tetapi dari ribuan jemaah tak satu pun yang tak mendengar suara beliau.
Dari berbagai sumber yang dapat dihimpun informasi oleh penulis maka Mbah Mangli merupakan guru mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Syekh Achmad Khotib al-Syambasi. Selain itu, Mbah Mangli juga merupakan pengikut Tarekat Alawiyyah karena diceritakan beliau semasa hidup sering mengikuti Maulid Nabi Muhammad di Masjid ar-Riyyadh, Pasar Kliwon, Surakarta pimpinan Habib Anis bin Alwi al-Habsyi. Adapun wiridan wajib di Pondok Pesantren Mangli adalah rotib Alhadad, rotib Alatas dan rotib syakron yang sampai sekarang masih rutin dilaksanakan oleh para santri maupun para pengikut toriqoh beliau.
Semasa hidup Mbah Mangli dianggap sebagai seorang Kyai khos yang sangat karismatik sebagai panutan umat, beliau sebagai ulama yang keramat dan dianggap sebagai seorang yang ‘arif billah. Banyak kisah kisah tertoreh tentang kekeramatan Mbah Mangli sewaktu masih hidup. Kisah kisah itu sebagai sebuah tanda tanda yang dapat dikenal sebagai tanda tanda Wali Allah. Dalam Syarah nadzam Jauhar al-Tauhid Syekh Ibrahim Allaqani yang membahas tentang Wali dan karomahnya maka Syekh Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat) menyampaikan wali termasuk seorang ‘arif billah (mengetahui Allah).
Tentang kekeramatan Mbah Mangli maka telah banyak kisah yang beredar jika Mbah Mangli memiliki karomah. Satu di antaranya adalah “melipat bumi”, dimana beliau bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Berdasar cerita yang beredar Mbah Mangli, bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Jakarta dan bahkan Sumatra.
Karomah lainnya disebutkan Mbah Mangli dalam setiap mengisi pengajian, tidak pernah menggunakan pengeras suara (load speaker) meski jamaah yang menghadiri pengajiannya mencapai puluhan ribu orang. Namun anehnya, tak satupun dari jamaahnya tersebut yang tidak mendengar suara ceramah Mbah Mangli.
Menurut kitab An-Nafais Al-Uluwiyyah fil Masailis Shufiyyah karya Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Hadad menyebutkan “Seseorang hanya mementingkan kepentingan duniawinya dan memuaskan keinginan nafsunya jika ia mengejar ‘karomah tak hakiki’ seperti melipat bumi, memperoleh berita-berita gaib dan sebagainya. Tetapi jika ia mencari ‘karomah hakiki’ seperti meningkatnya iman dan keyakinan, hidup di dunia dengan zuhud, dan condong pada kehidupan akhirat, dan sebagainya, maka perbuatan itu merupakan hal yang terpuji. Inilah yang harus dicari karena semua itu merupakan perkara haq dan sesuai dengan tuntutan agama.”
Mbah Mangli wafat pada akhir tahun 2007 di Magelang, Jawa Tengah. Sebuah pemukiman telah menjadi populer karena nama Desanya disematkan untuk nama Sang Ulama. Demikian nama pondok pesantren legendaris didesa ini juga adalah nama dari sang Ulama. Pondok Pesantren peninggalan sang Ulama masih lestari hingga saat kini. Bangunan Pesantren tersebut menyatu pula dengan pusara malam sang Ulama yang selalu ramai setiap hari karena senantiasa dikunjungi oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah.
Dikutip dari girirejongablak. blogspot.com menyebutkan Dukuh Mangli secara administrasi termasuk dalam wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Desa Gilirejo merupakan salah satu desa dari 17 desa yang ada di Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Luas wilayah 628.287 Ha, berdasarkan data dinamis tahun 2014, jumlah penduduknya adalah 5.106 jiwa. Jarak kantor desa dengan Kecamatan adalah kurang lebih 2 km dengan waktu tempuh 10 menit atau berjarak 45 km dari Kantor Kabupaten Magelang.
Hamparan alam dikawasan Gunung Andong pada era rovolusi konon adalah bagian tidak terpisahkan dari jejak gerakan pemberontakan separatis Merapi Merbabu Complex (MMC). Dalam berbagai catatan setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, sejumlah pejuang revolusi banyak yang tidak diterima masuk TNI. Sementara mantan KNIL yang merupakan bekas musuh di berbagai medan pertempuran, justru banyak yang diterima menjadi anggota TNI. Hal ini kemudian melahirkan kekecewaan dan bibit pemberontakan. Salah satu kelompok yang kecewa dengan kondisi ini kemudian membentuk aliansi dengan nama Merapi Merbabu Complex (MMC).
Dalam buku Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya (1977:560), kelompok ini disebut mengusung semangat idiologi kiri, karena hal ini MMC segera dikaitkan dengan eksistensi Partai Komunis Indonesia (PKI). Daerah-daerah yang dikaitkan dengan keberadaan gerakan ini adalah Boyolali, Ambarawa, Salatiga, Magelang, Sleman, dan Klaten. Kisah kekelaman yang berlangsung pada saat itu bisa diakhiri dengan kisah yang penuh rahmat dan barokah sebab kawasan tersebut karena kehendak dari Allah SWT melalui kegigihan Mbah Mangli melakukan dakwah Islamiyah secara bijaksana maka kawasan lereng Gunung Andong tersebut kini adalah salah satu potret kehidupan yang bersahaja nan ideal. Masyarakat hidup dengan sejahtera karena memiliki tanah yang sangat subur sehingga hasil panen selalu melimpah, ditopang dengan lenskap keindahan alam yang sangat memukau akan mampu menentramkan hati siapapun yang bertadabur dikawasan ini.
Setelah Mbah Mangli menghadap ke Rahmatullah pada akhir 2007, maka segala proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir yang merupakan sosok yang bersahaja namun penuh karisma ini merupakan sosok yang mengemban amanah untuk meneruskan eksistensi pondok pesantren tersebut. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing (Candi Mulyo).
Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Beliau dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum yaitu beliau melarang menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi.
Untuk para santri, beiau melarang keras menggunakan piranti handphone (hp) dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. Gus Munir merupakan sosok yang unik beliau selalu menolak untuk difoto dan diwawancarai, dengan alasan ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Beliau meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga.
———————————————————————————————————————————————————————–
Siang itu kami menyusuri jalan berkelok setelah pasar Ngablak kami melewati rute yang menantang. Jalan yang meliuk liuk dan sering diantara kanan – kiri jalan adalah jurang jurang yang mengganga. Beruntung kami memgendari mobil SUV yang bergenre off road sehingga melawati jalan naik turun dengan medan yang ekstrem tidak terlalu merisaukan kami. Medan ekstrem yang kami lalui telah menciptakan rasa takut bagi anak anak yang duduk di belakang. Namun rasa takut mereka nampaknya telah terbayar lunas dengan kepuasan dengan rasa takjub atas panorama alam sepanjang perjalanan.
Nikusang Wirabhumi anak bungsu kami menikmati panorama alam dibalik kaca mobil sambil mendendangkan lagu “naik -naik kepuncak Gunung” bersama ibunya. Terdengar riuh namun suara yang dilahirkan adalah ekspresi ketakjuban terhadap panorama alam yang baru pertama kali di nikmati oleh Niku nama panggilanya yang kini berusia 4 tahun.
Di kursi belakang Maheswari anak kedua kami bersama mbak Rere (sepupu) sama sama sekolah setara Paud. Berusia 5 tahun dan hanya terpaut 7 hari masa kelahirannya. Dengan dibimbing sama bude Ning kakak ipar kami mereka disepanjang jalan mendendangkan sholawat nabi secara merdu. Setelah berkali berkali melantunkan sholawat Badar, maka terdengar syahdu pula mereka melantunkan sholawat Nariyah dengan mendayu dayu. Menciptakan suasana didalam mobil serasa berjalan di angkasa karena kumpulan awan awan terasa sangat dekat dengan kami. Pemandangan kampung kampung yang berada dibawah membuat kami serasa benar benar berada di puncak ketinggian awan.
Pada momentum tertentu ketika ada enggel pemandangan yang menurut kami bagus, kami berhenti dan tidak lupa mengabadikan momuntem tersebut dengan cara swa foto. Berkali kali kami menemukan shot foto yang menawan. Sepanjang perjalanan dari pasar Ngablak sampai desa Mangli adalah spot foto menawan yang ngak ada matinya.
Setelah melewati beberapa desa yang menawan, karena rumah rumah yang bagus tertata rapi di sepanjang pinggir jalan. Melihat bentuk bangunan dan arsitektur bangunan rumah rumah warga yang megah dan penataan planologi (tata ruang) yang bagus di sepanjang jalan Kampung yang kami lewati maka adalah cermin adanya kesejahteraan masyarakat sekitar. Kesejahteraan tersebut cukup beralasan karena sepanjang tanah berpijak adalah tanah sangat subur yang mampu memberikan sumber panenan yang melimpah setiap tumbuhan atau sayuran yang ditanam. Bagi masyarakat disana juga sangat giat dan bekerja keras dalam mengelola tanah hal tersebut tampak dari tanah sepanjang perjalanan, tidak ada sepetak tanah pun yang diterlantarkan tanpa ditanami tanaman yang produktif (bero). Pola kerja keras dan disiplin para petani masyarakat sekitar nampaknya tidak terlepas dari nasihat dan keteladanan dari pada Mbah Mangli sewaktu masih hidup. Dan tradisi itu terus terjaga hingga menjadi semacam tradisi yang tak lekang oleh zaman mesti ulama panutan mereka sudah tiada.
Memasuki pintu gerbang menuju makam Mbah Mangli, sudah tampak mobil mobil terparkir memenuhi jalan menuju ruang register memasuki makam. Di sepanjang jalan menuju makam banyak pedagang yang menjajakan sayuran mayur hasil panennya sendiri. Dagangan yang dijual tampak sangat segar dengan harga yang sangat murah apabila dibanding dengan harga yang dijual oleh tukang sayur yang keliling kampung maupun pedangan pasar apalagi sayur yang dijual di minimarket.
Di depan pintu masuk Makam terlihat beberapa santri menyediakan minuman Teh hangat yang disediakan bagi para peziarah dengan menempelkan tulisan “Silahkan ambil minum. Gratis”. Setiap peziarah akan dilayani dengan ramah oleh para santri tersebut ketika mengambil air minum. Setelah mengantre cukup lama, dan berjubel dengan para peziarah lain langkah kami lanjutkan menyusuri lorong sempit nan panjang. Melewati jembatan yang menyintas dan menggantung diatas jalan, maka sampailah kita pada puncak tadzabbur siang ini.
Sebuah bangunan eksotik berbahan total kayu jati, dengan aksen warna serba putih menghiasi bangunan dua lantai tersebut. Bangunan dengan arsitektur sederhanan namun klasik yang mencerminkan peradapan pertengahan tahun 50-an. Bangunan tersebut adalah masjid peninggalan Mbah Mangli, yang setiap dinding masjid dihias dengan ornamen ukiran kayu bermotif kaligrafi. Tertata secara artistik baik didalam maupun diluar dinding. Lantai dua adalah bangunan masjid utama dengan lantai dari papan kayu dengan pilar pilar kayu yang kokoh yang menghiasi langit langit bangunan masjid. Memasuki masjid ini maka langsung tercipta suasana keramat nan profan. Kita akan mampu berlama berlama melakukan wirid ditempat ini sekedar meletakan beban segala ekspektasi kita tentang dunia.
Dibawah bangunan lantai dua adalah tempat para peziarah perempuan untuk berdoa dan bertawasul. Sebab Makam pusara Mbah Mangli terletak di sebelah utara bangunan masjid sehingga bagi para peziarah laki laki langsung dapat melakukan doa dihadapan pusara Makam Mbah Mangli di sebelah utaran bangunan masjid. Makam Mbah Mangli berada didalam ruangan tertutup dan diletakan Sketsel yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran kaligrafi timbul yang sangat menawan sungguh hiasan yang sangat cocok untuk menciptakan suanana sakral dan profan.
Segala panorama dalam berhadrah ke Makam Waliullah Mbah Mangli telah menorehkan kesan mendalam yaitu “Jiwa adalah titik sentral dari disiplin spiritual” dari sini pula aku menyadari jika “Kehidupan spiritual tidak memisahkan kita dari dunia, tetapi membawa kita lebih dalam ke dalamnya.”
Karenanya semoga kami dapat mengulang pengalaman ini ketika kami kembali berkesempatan dalam kelapangan waktu atas Ridlo Allah SWT saat kami menjenguk putri sulung kami Aqiela Prameswari (Memes) yang sedang berjihad menuntut ilmu di Ponpes Syubanul Wathon, Tegalrejo, Magelang.
Wallahu a’lam bish-shawabi ( والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ )
————————————————————————————
Tunggu Part2.
Semoga Allah Meridloi.
————————————————————————————
Magelang, 12 Febuari 2022
* Esai yang ditulis sebagai buah pengalaman membesuk putri yang sedang nyantri. Diramu dari berbagai sumber bacaan dan wawancara mendalam dengan juru kunci, warga sekitar dan meguru pada ahlinya.
- ** Penulis adalah alumni pesantren kilat sehari hari tinggal di desa bantaran Kali Serang, Muncar, Kab. Semarang.[contact-form]
Berita dengan Judul: Sambung Ruh Ulama Nusantara Mbah Mangli, Ngablak Lereng Gunung Andong, Magelang, Jateng pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com oleh Reporter : Jarkoni