Berita  

Sambung Ruh Ulama Nusantara Dato’ Karama- Intji Dile

sambung-ruh-ulama-nusantara-dato’-karama-intji-dile

#Part 5

 



Oleh : Sofyan Mohammad
LIPUTAN4.COM, Palu – Sambung Ruh Ulama Nusantara Dato’ Karama- Intji Dile Jl. Rono, Kel. Lere, Kec. Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Di hadapan nisan wira cerita bermula
Lewat hati dan mungkin puisi
Sang mendiang berujar tentang kisah berserak
Lewat kalimat tak kasat
Masuk dalam lorong kisah
Terpahat pada nisan terbujur
Tanpa kata tanpa suara

Kalimah Robul Alamin Menggenang dalam diri batin
Meluber dalam Qolbu
Tidak ada perlunya surga dalam titian ini

………………………………………….
Didalam bangunan berarsitektur rumah gadang minang yang didominasi cat warna kuning terdapat beberapa cungkup nisan. Yang paling ujung adalah pusara makam Dato’ Karama yang terlihat paling menonjol diantara pusara makam lainnya.

Nisan makam dengan posisi lebih tinggi diantara Nisan lainya. Pondasi berbahan batu bata tembok dicat dengan dominasi warna hijau. Semantara jirat nisan terbuat dari batu alam yang dipahat. Di ujung nisan terdapat tulisan Dato’ Karama sebagai penanda nama makam bagi sang Ulama.

Disebelah kirinya berjarak sekitar tiga jengkal tangan dengan posisi lebih rendah juga terdapat nisan terbuat dari semen berbahan alami tidak bercat warna. Nisan ini menurut juru kunci makam adalah makam istri Dato’ Karama yang bernama Intje Dille.

Di sebelah kiri berurutan juga terdapat makam dengan jirat patok nisan terbuat dari lempengan batu berpahat yang diketahui adalah makam dari anak pasangan Dato’ Karama dan Intje Dile yaitu masing masing bernama Intje Dongko dan Intje Saribanu.

Berikutnya berjejer pula jirat patok nisan yang terbuat dari pahatan batu menurut juru kunci makam adalah makam dari para santri pengikut Dato Karama yang berjumlah 22 makan yang terdiri dari 9 makam pengikut laki-laki, 11 makam pengikut wanita, serta 2 makam yang tidak ada keterangan di batu nisannya.

Jejeran nisan makam dalam bangunan tersebut diuntai dengan pembatas dari rantai yang terpasang dari tiang kayu bermotif bulat yang sudah terlihat tua dan kuno sehingga lenskap suasana dalam makam tersebut terlihat sangat anggun, keramat dan syakral.

Sebelum selesai menengak rasa takjub dalam dimensi kesan yang profan. Tiba tiba pintu makam berderit terbuka dari luar dan telah masuk senior kami yang bernama Kyai Bambang Nur Khamid, SE seraya mengucapkan salam.

Kami bertiga serentak menjawab salam tersebut serta bersiap menyambut Kyai Bambang yang sudah berjalan kearah kami yang sedang duduk bersila berjejer tepat di depan Nisan makam Dato’ Karama dan Intje Dile.

Kyai Bambang Nurkhamid adalah seorang sosok Kyai paruh baya yang ramah dan bersahaja. Beliau pernah menjabat sebagai anggota Komisioner KPU Kab. Semarang periode 2013 – 2018.

Alumni SMA 1 Salatiga dan Alumni Fakultas Ekonomi UNDIP Semarang ini dinilai sebagai sosok yang aktif dalam organisasi sejak Mahasiswa hingga tercatat pernah menjabat sebagai Ketua Bidang HMI Badko Jateng – DIY dan hingga kini masih mau mewakafkan ilmu dan waktunya sebagai salah satu Presidium MD KAHMI Kab. Semarang – Jateng.

Dengan tutur kata penuh ketawadlu’an beliau menyampaikan saat ini hanya hidup bertani didesa dan hanya mengelola langgar (Mushola) keluarga yang berdiri dihalaman rumahnya. Hal ini sebenarnya metafora sebagai salah satu bentuk keteladanan yang diajarkan Kyai Bambang Nurkhamid, SE kepada kami yang notabene sebagai yuniornya yang jauh lebih muda.

Kyai Bambang Nurkhamid dengan jambangnya yang sudah mulai memutih namun tertata rapi sangat mencerminkan karisma dan kedalaman ilmunya. Dibalik kesederhanaanya, ternyata beliau adalah salah satu tokoh panutan bagi warga Desa Sleker, Kopeng, Getasan, Kab. Semarang yang merupakan tempat tinggalnya sekarang.

Kyai Bambang Nur dipandang sebagai seorang ahli agama yang juga sangat berpengalaman dibidang Pemilihan Umum sebab dalam curiculum vitaenya dapat terbaca jika beliau sudah terlibat sebagai penyelenggara pemilu mulai sebagai anggota PPK, Panwascam, Panwaslu hingga menjadi Anggota KPUD.

Setelah dirasa cukup mengabdikan diri dalam dunia perpemiluan selanjutnya Kyai Bambang Nur kembali ke desa tempat lahirnya yang terletak di Sleker, Kopeng Getasan, Kab. Semarang yang merupakan salah satu kawasan wisata andalan Kab. Semarang.

Tempat tinggal Kyai Bambang berada diarea gugusan punggung gunung Merbabu yang eksotik. Di selimuti oleh panorama alam yang memukau maka kawasan ini adalah lahan yang subur dan makmur dalam bidang pertanian. Seperti hektaran lahan pertanian yang dikelola Kyai Bambang Nur yang tentu sangat memberikan manfaat kesejahteraan bagi keluarga maupun maupun masyarakat sekitar.

Kyai Bambang Nur kembali ke desa adalah dalam rangka pensiun sekaligus _mandito_ yang berperan sebagai seorang petani, namun dalam keseharianya melalui media bertani, sebenarnya beliu adalah dalam rangka mendidik umat dengan mengajarkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Didalam bangunan rumah gadang yang didalamnya berjejer nisan nisan makam meski tidak ada jendela terbuka dan hanya ada beberapa ventilasi kecil. Namun kami yang berada didalam ruangan merasa tidak kegerahan justru yang kami rasakan adalah udara yang sejuk penuh kedamaian.

Datu’ Karama miliki nama asli adalah Syekh Abdullah Raqie yang merupakan seorang ulama yang berasal dari Minangkabau Sumatra Barat. Diyakini beliau adalah seorang ulama sekaligus Da’i yang pertama kali menyebarkan agama Islam ke Tanah Kaili atau Bumi Tadulako, Sulawesi Tengah pada abad ke-17.

Diriwayatkan jika pada saat pertama kali Dato Karama dan pengikutnya menginjakan kaki di bumi Palu. Kawasan ini masih berupa pemukimam yang letaknya agak jauh dari pantai. Diceritakan suatu ketika para penduduk yang sedang membuat garam di pantai melihat sesuatu yang aneh sebab dari laut dengan gelombang yang tinggi tiba tiba muncul seorang pria dengan beberapa orang pengikut.

Penduduk kemudian lari tunggang langgang melapor kepada pimpinan kerajaan Palu Pue Nggari yang kemudian datang dengan menunggang kuda ke pantai untuk melihat apa yang terjadi. Setelah itu diketahui ternyata adalah kapal perahu yang ditumpangi oleh Datu Karoma beserta beberapa santri santrinya.

Kedatangan Dato Karoma tersebut disambut baik oleh petinggi dan penduduk setempat, selanjutnya Dato Karama dan rombongan pertama kali Mukim di Kampung Lere, Lembah Palu. Ketika itu adalah pada masa kerajaan Kabonena, dengan Raja yang bernama Raja Ipue Nyidi yang merupakan penguasa wilayah Palu.

Menurut catatan sejarah yang dapat terbaca, setidaknya ada dua spekulasi tentang kedatangan Dato’ Karama ke Sulawesi Tengah. Versi pertama, Dato Karama datang dari Ternate melalui Parigi ke Palu (Mahid, 2009; Mamar, Mappalahere, & Wayong, 1984). Rute inipun terbagi dalam dua versi yaitu Dato Karama datang melalui Ternate ke Banggai lalu ke Parigi dan kemudian ke Palu. Jalur lainnya yaitu melalui Ternate, Gorontalo, Buol, Teluk Tomini, Parigi dan berakhir di Kota Palu. Kemudian versi ke-dua, Dato Karama tiba di Sulawesi Tengah langsung dari Sumatera.

Spekulasi tersebut cukup beralasan sebab sebagaimana dikutip Wikipedia menyebut ajaran Islam diperkirakan pertama kali memasuki wilayah Sulawesi Tengah dari Kabupaten Buol dan Banggai. Kedua daerah itu menerima ajaran Islam pada pertengahan abad ke-16 akibat pengaruh dari Ternate.

Seorang Raja Buol tercatat telah memiliki nama Islami, yaitu Eato Muhammad Tahir, memerintah 1540-1595 M. Pada awal abad ke-17, agama Islam mulai disebarkan di Tanah Kaili oleh Dato’ Karama atau nama aslinya Abdullah Raqie.

Menurut penuturan juru kunci makam Aziz Muhammad Paderu menyampaikan jika Dato Karam, istri maupun pengikutnya dahulu terdampar di perairan Palu yang sedang dalam pelayaran ke arah timur. Akan tetapi, perahu yang mereka tumpangi karam dihantam badai.

Mereka terdampar di Karampe, lalu menyeberang ke Palu, selanjutnya mereka mendarat di Panggona. Kampung Panggona ini kemudian diubah namanya menjadi Kampung Lere. Sebab pada saat itu di kawasan ini terdapat banyak rumput kalere, sejenis rumput jalar tumbuh di pantai dan Dato Karama beserta keluarganya tinggal menetap di kampung tersebut.

Aziz Muhammad Paderu melanjutkan cerita jika dahulu Dato Karama selain berdagang juga menjadi pendakwah bagi warga sekitar yang ketika itu masih menganut kepercayaan leluhur.

Dikisahkan jika pada saat itu
suku Kaili masih menganut kepercayaan animisme/dinamisme yang mereka sebut _tumpuna_, yang mempercayai adanya makhluk yang menunggui benda-benda yang dianggap keramat.

Tidak mudah tentu bagi Dato’ Karama untuk memperkenalkan risalah agama Islam. Namun dengan metode dan pendekatan yang penuh dengan kebijaksanaan yang dilengkapi dengan sikap penuh wibawa dan kharismanya yang tinggi, maka syiar Islam yang dilakukan terhadap masyarakat Kaili dapat diterima dengan baik.

Diceritakan dahulu dalam berdakwan Datu’ Karama dilakukan melalui pendekatan kebudayaan yang disampaikan melalui ceramah-ceramah yang tepat dan bernas pada saat sedang berlangsung upacara – upacara adat suku Kaili.

Syiar Islam Datu’ Karama bukan hanya disekitar lembah Palu yang dihuni oleh masyarakat Suku Kaili saja. Namun diyakini beliau juga berdakwah hingga sampai wilayah Donggala, Kulawi, Parigi hingga daerah Ampana.

Dalam perjalanan misi dakwah Islamiyah yang dilakukan Dato’ Karama dianggap cukup berhasil sebab tercatat telah berhasil _mensyahadatkan_ Raja Kabonena, yaitu Raja Ipue Nyidi beserta rakyatnya untuk memeluk agama Islam. Raja Ipue Nyidi sendiri dalam catatan sejarah dikenang sebagai raja di Lembah Palu yang pertama masuk Agama Islam.

Dalam buku De Baree Sprekende Of Midden Celebes, karya A.C Kruyt menyebutkan, bahwa awal mula Dato Karama tiba di Lembah Palu bertemu dengan penguasa Palu bernama Pue Nggari, yang selanjutnya, ke duanya menjalin komunikasi hingga Dato Karama digambarkan Pue Nggari sebagai orang sakti, karena mampu menyembuhkan putranya hanya dengan segelas air putih yang telah dibacakan doa-doa.

Dato’ Karoma atau Syekh Abdullah Raqie dikisahkan tak kembali lagi ke Minangkabau Sumatra Barat hingga akhir hayatnya, sepanjang hidupnya di lembah Palu beliau, keluarga beserta pengikutnya terus secara istiqomah menyampaikan syiar Islam di Lembah Palu, Tanah Kaili, Sulawesi Tengah.

Sampai kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di komplek makam yang terletak di Jalan Selar, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Yaitu makam dimana kami berempat duduk penuh khidmat berdoa didepan jirat nisan yang eksotik dan anggun.

Makam ini adalah situs yang sangat dihormati oleh segenap umat muslimin Kota Palu, karena pada saat Kota Palu di hantam bencana dahsyat gempa bumi dan likuifasi yang disertai dengan gelombang tsunami pada 18 September 2018, makam ini tetap kokoh berdiri seperti tidak tersentuh oleh bencana dahsyat tersebut. Sehingga cukup beralasan jika situs Makam ini dianggap sakral dan keramat.

Saat itu antara Gus Aas, Mas Yai Anshori dan Kyai Bambang Nur saling berebut mempersilahkan untuk memimpin tahlil. Suatu amalan doa doa yang lazim dibaca para umat muslimin khususnya para nahdliyin.

Tidak menunggu saling berebut selanjutnya dengan sikap penuh takdzim Gus Aas langsung ijin memulai memimpin membaca _Qosidah Salamullahi Ya Sadah_ sebagai amalan doa pembuka yang dibaca dengan secara jahr dan tartil dengan suara yang merdu. “Salâmullâhi yâ sâdah minar-Rahmâni yaghsyâkum ‘Ibâdallâhi ji’nâkum qashadnâkum thalabnâkum Tu’înûnâ tughîtsûnâ bihimmatikum wa jadwâkum….. “

Bacaan ini kami ikuti dan kami hayati setiap kalimahnya hingga kami melesat pada pengetahuan jika istilah Dato merupakan istilah khas Minangkabau yang berasal dari bahasa sangsekerta kata Dato juga disebut dengan Datu atau Datuak yang terdiri dari “Da” atau ‘ra” dan “to”. Da artinya “mulia, “to” artinya “orang”. Jadi “Dato’ artinya orang yang mulia.

Gus Aas melanjutkan titian amalan doa hingga sampai kalimah “Sa’idnâ idz ataynâkum wa fuznâ hîna zurnâkum Faqûmû wasyfa’û fînâ ilâr-rahmâni mawlâkum ‘Asâ nuhdzâ ‘asâ nu’thâ mazâyâ min mazâyâkum ‘Asâ nadzrah ‘asâ rahmah taghsyânâ wa taghsyâkum…… “

Kami melesat pada pendar pengetahuan tentang karama yang bermakna Karamah (atau karomah, keramat) adalah hal atau kejadian yang luar biasa di luar akal dan kemampuan manusia biasa yang terjadi pada diri seseorang yang berpangkat Wali Allah.

Gus Aas kembali melanjutkan merapalkan doa dengan merdu hingga kalimah “Salâmullâhi hayyâkum wa ‘ainullâhi tar’âkum Wa shallâllâhu mawlânâ wasallam mâ atainâkum ‘Alâl mukhtâri syâfi’înâ wa munqidzinâ wa iyyâkum. “

Kalimah ini mengantarkan kami pada pengetahuan jika Dato’ Karama semasa adalah orang yang alim yang penuh mabruk sehingga wushul tercatat abadi dibumi hingga tembus langit diangkasa raya.

Suasana hening menyeruak dengan penuh takdzim Mas Yai Anshori memimpin tahlil dengan doa tawasul, takbir, tahmid hingga kalimah toyibah. Yang dibacakan dengan penuh profan hingga menembus relung relung batin kami melebur dalam pengetahuan jika atas amal sholih dari sang ulama Dato Karoma maka kalimat tauhid nampaknya menjadi pegangan yang mensejukan bagi sebagian warga kota Palu saat ini sebagai risalah yang rohmatan lil alamien

Amalan doa doa tahlil yang terucap secara tartil oleh Mas Yai Ansori telah membuka cakrawala dalam dimensi batin seperti penggalan syair yang ditulis Mas Yai Anshori

Kini aku ingin menjadi puisi
Sebagai puisi, aku bisa menjadi gunung, bisa menjadi hutan bisa menjadi kali
Sebagai puisi aku bisa menjadi doa, bisa menjadi senja, bisa menjadi manusia

Tapi aku sadar
Aku tak mampu menjadi itu semua
Aku hanya mampu ingin menjadi aku bersama Tuhanku

Selesai doa tahlil terbaca secara sempurna selanjutnya Kyai Bambang Nur dengan sikap penuh wibawa memimpin dengan melantunkan doa penutup. Dalam tiap titian doa terucap semakin menghanyutkan kami pada gelombang menuju samudra rohani. Buih buih gelombang adalah kami yang lindap bersama aroma tak berasa.

Kata doa penutup dalam kalimah “Allahumma, atina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, waqina adzabannar…… Bisiril (Fatihah) sampai pada Amien telah menghentak kesadaran kami untuk beranjak dalam semangat memunguti kisah yang terserak jika sepeninggal Dato Karama, maka dakwah Islamiyah di kawasan Kota Palu selanjutnya dikembangkan Habib Idrus bin Salim Al Jufrie, seorang keturunan Arab, yang berasal dari Hadramaud (Yaman Selatan ) dan mendirikan sekolah dan selanjutnya oleh anak cucunya membentuk Organisasi Alkahairat yang massanya sampai ke Ternate. coming soon.

Lahul Fatihah
Semoga bermanfaat
Bersambung………. . . . . . . . . .
————————————————————————————
*Esai ditulis dalam lawatan penulis sebagai pengembira dalam Munas KAHMI Ke XI di Palu, Sulawesi Tengah, 23 – 27 November 2022.
* Tulisan ini disusun berdasarkan wawancara mendalam dengan Juru Kunci Makam disertai dengan sumber bacaan :
1. A. C. Kruyt, De Baree Sprekende Of Midden Celebes, door N. Adriani, Alb. C. Kruijt, Landdddsdrukkerij, Batavia, 1912.
2. Nurdin Nurdin. Sejarah Dato Karama (Abdullah Raqie) : Ulama Pembawa Islam Dari Minangkabau Ke Sulawesi Tengah. IAIN Palu Research. 2018
3.https://balaibahasasulteng.kemdikbud.go.id/bahasa/datuk-karama/
4. Wikipedia

** Penulis pernah berpengalaman menjadi peserta Demontrasi Mahasiswa HMI di Solo tahun 2005. Sekarang sehari hari tinggal di desa di Kab. Semarang – Jateng, bekerja sebagai buruh tani dan angon Bebek.

Berita dengan judul: Sambung Ruh Ulama Nusantara Dato’ Karama- Intji Dile pertama kali tampil pada Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. Reporter : Jarkoni