Anjungan migas berdiri gagah dekat perbatasan Texas dan Louisiana, terselip di balik rimbunnya hutan. Bukanlah pemandangan aneh di Texas, anjungan membakar kelebihan gas alam di samping toko minyak, mengingat sektor migas di negara bagian itu sangat longgar. Kobaran api biasanya membakar metana, gas rumah kaca dan campuran karsinogen, seperti benzena, toluena, etilbenzena dan xilena.
Namun, di Giga Energy Solutions, kamu takkan menemukan kobaran api. Sisa-sisa gas alam tidak dibakar di situs ini, melainkan berfungsi menghasilkan energi untuk mengoperasikan tambang Bitcoin.
Dalam episode terbaru CRYPTOLAND, wartawan Motherboard menyambangi lokasi tambang Bitcoin di Texas timur untuk memahami pengaruh mata uang kripto terhadap lingkungan dan masa depan Bumi.
Keberadaan tambang-tambang seperti Giga telah mengundang kontroversi yang cukup luas. Bagi mereka yang kontra, pengolahan gas alam menjadi koin digital melambangkan betapa buruknya industri yang sedang berkembang ini.
Akan tetapi, co-founder Brent Whitehead dan Matt Lohstroh yakin tambang Giga Energy milik mereka membawa dunia ke arah yang lebih baik. Giga memanfaatkan sisa gas berbahaya sebagai penghasil daya komputer yang akan digunakan untuk menambang kripto. Proses ini masih menghasilkan gas rumah kaca, tapi klaim dari operasi serupa mengatakan emisinya lebih kecil daripada membakar gas atau melepaskannya begitu saja ke udara.
“Gas ini sudah tidak bisa dijual ke jaringan pipa, sehingga satu-satunya cara membuang sisanya yaitu dengan dibakar atau dilepaskan. Melepaskan gas sama saja dengan melepaskan metana ke atmosfer,” tutur Whitehead. “Itu sangat buruk. Di sinilah peran kami dibutuhkan. Selain menurunkan emisi, kami dapat menambah pemasukan bagi masyarakat. Ini menguntungkan semua pihak.”
Banyak perusahaan tambang kripto yang bermigrasi ke AS setelah Tiongkok melarang aktivitasnya. Texas menjadi pilihan favorit karena pasokan energinya yang berlimpah, salah satunya bahan bakar fosil. Industri tenaga angin di daerah itu pun berkembang pesat.
Legislator Texas seperti Ted Cruz, anggota senat dari Partai Republik AS, secara terang-terangan mendukung penambang bitcoin macam Whitehead. Cruz bahkan memuji habis-habisan para penambang saat menghadiri Texas Blockchain Summit Oktober lalu. Dia optimis para penambang berpotensi memacu transisi energi dan memperkuat jaringan listrik negara bagian yang sering padam selama cuaca ekstrem.
“Saya pikir mata uang kripto memiliki nilai tambah yang besar bagi lingkungan,” katanya kepada staf Motherboard Alice Hines di konvensi tersebut. “Terciptanya banyak energi terbarukan sangat penting bagi lingkungan. Menurut saya, mengolah sisa-sisa gas alam menjadi sesuatu yang lebih produktif dapat berdampak positif bagi lingkungan.”
Selama 10 tahun terakhir, banyak bermunculan tambang kripto yang mengandalkan energi terbarukan untuk menghasilkan koin digital—proses yang melibatkan tebak-tebakan angka paksa pada komputer khusus yang disebut Application-Specific Integrated Circuits (ASICs). Di daerah-daerah seperti British Columbia dan San Jose, Costa Rica, tambang kripto menjadi alasan pembangkit listrik tenaga air yang sudah sekarat bisa tetap beroperasi, serta mendorong pembangunan energi bersih yang lebih terjangkau. (Laporan Coinshares tahun 2019 memperkirakan 74 persen Bitcoin dihasilkan dari sumber energi terbarukan.”
Namun, Bitcoin tidak memiliki kesetiaan pada sumber energi tertentu. Yang terpenting mana yang paling murah. Tambang Bitcoin di beberapa daerah kerap mengandalkan bahan bakar fosil, baik secara langsung maupun dengan menariknya dari jaringan, yang dicampur sumber energi terbarukan apa pun yang ditemukan di sana. Ini juga menyebabkan resusitasi dan perluasan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang sudah tua dan hampir kolaps.
Situs-situs seperti Riot Whinstone, tambang bitcoin terbesar di Texas, membutuhkan volume energi yang sangat besar. CEO Chad Harris mengungkapkan kepada wartawan Motherboard Hines, fasilitas seluas 40 hektar itu menampung sekitar 95 hingga 100.000 ASICs. Tujuan mereka bukan untuk mengurangi penggunaan listrik, melainkan melipatgandakannya demi terciptanya koin yang lebih banyak.
Alex De Vries, data scientist di bank sentral Belanda yang memelopori proyek pelacakan energi Bitcoin Digiconomist, menyebut ketergantungan Bitcoin pada bahan bakar fosil berkontribusi besar terhadap perubahan iklim, dan dampaknya tidak dapat diubah. Argumen inilah yang kerap diutarakan mereka-mereka yang kontra dengan Bitcoin dan semua jenis uang kripto proof-of-work, yang membutuhkan banyak energi untuk memverifikasi transaksi dan mengamankan buku besar digital. Sementara penambang Bitcoin menganggap pemakaian energi besar itu diperlukan demi memastikan keamanan transaksinya, kritikus melihatnya sebagai pemborosan.
“Jaringan ini, yang terdiri dari sekitar 2,9 juta perangkat di seluruh dunia, memakai listrik setara penggunaan listrik di negara-negara seperti Argentina,” terangnya. “Setengah persen lebih besar dari pemakaian listrik global.”
De Vries lebih tertarik dengan model penambangan baru, seperti proof-of-stake yang menghasilkan koin berdasarkan jumlah koin yang sudah dimiliki penambang. Mekanisme ini tidak memakan energi sebesar metode sebelumnya, yang memakai lebih banyak energi daripada yang dibutuhkan. Namun, kritikus berpandangan proof-of-stake pada dasarnya plutokratis, sementara proof-of-work lebih terdesentralisasi dan terbuka—sesuai sifat Bitcoin selama ini.
Ethereum, mata uang kripto terbesar kedua di dunia, optimis peralihannya ke mekanisme proof-of-stake akan mengurangi pemakaian listrik hingga 99,95 persen.
Meskipun begitu, de Vries skeptis terhadap peran Bitcoin dalam masyarakat—serta apakah keberadaannya memang penting bagi peradaban manusia, mengingat dampaknya terhadap lingkungan.
“Kebanyakan orang bermain Bitcoin dengan harapan nilai jualnya naik,” katanya. “Jika situasinya memang seperti itu, yang mana Bitcoin tidak memiliki kegunaan praktis, tapi dampak energinya sangat besar, maka menurut saya Bitcoin tidak ada bagus-bagusnya.”