Proses penyanyi dangdut Saipul Jamil untuk kembali bermasyarakat mengalami hambatan besar sejak bebas awal September silam. Mantan narapidana kasus pencabulan anak dan penyuapan hakim tersebut gerah bukan main karena ke mana pun ia pergi, sebutan “predator seksual” dan “pedofil” masih kerap mengikutinya, terutama di internet. Saipul merasa dirinya sudah menjalani hukuman penjara sehingga tak seharusnya terus diperlakukan seperti pesakitan. Lantas, doi memutuskan mengunggah surat terbuka, menyebutkan bagi siapa pun yang merendahkan martabatnya lewat kedua sebutan di atas, tak akan segan ia seret ke jalur hukum.
Diunggah di Instagram pribadinya, ia meminta “semua lapisan masyarakat” tidak mengaitkan dirinya lagi dengan segala tuduhan, hinaan, cercaan, dan candaan yang mengarah pada aksi kriminalnya terdahulu. Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik terindikasi jadi dua beleid mempersenjatai kuasa hukum Saipul.
“Dalam hal adanya tindakan, perbuatan, ucapan, dan sikap yang menyimpang atau ada penyimpangan atas prinsip sosial yang menjadi kebijakan hukum oleh pihak-pihak tertentu, baik lewat media sosial yang merugikan hak saya dan melakukan kejahatan terhadap hak asasi saya, maka saya tidak akan mentolerir dan saya bersama kuasa hukum saya tidak akan segan untuk memberikan sanski serta tindakan tegas kepada oknum yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum materil tersebut sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tulis Saipul dalam siaran persnya.
Sedikit background kasus: Bebasnya Saipul dari penjara jadi bahan kecaman banyak orang setelah kebebasannya itu dimanfaatkan Trans Media untuk mendulang rating. Ia sempat tampil di dua acara TV, Bercanda tapi Santai (BTS) di Trans 7 dan Kopi Viral di Trans TV. Oleh publik, perbuatan dua stasiun TV ini dianggap insensitif pada korban Saipul dan meremehkan dampak kejahatannya.
Protes muncul dari berbagai kalangan. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menilai penampilan Saipul di hadapan publik akan memberi dampak buruk bagi masyarakat. Ia khawatir penonton TV memaklumi penyebab Saipul masuk penjara. “Pelaku bisa merasa tidak bersalah atas perbuatannya. Berikutnya bisa menganggap kekerasan seksual sebagai sesuatu yang normal. Ini sangat berbahaya,” kata Retno pada rilis pers, dikutip Tempo.
Kepentingan bisnis kelompok Trans juga terpengaruh oleh skandal ini. CEO rumah produksI Visinema Pictures, Angga Sasongko, mengaku telah menghentikan negosiasi distribusi film Nussa dan Keluarga Cemara dengan Transmedia gara-gara masalah ini.
Maka, lewat pengumuman Saipul yang mempertontonkan kekuatan hukum yang dimiliki, diskusi isu mengalami dinamika. Doi memang sudah menjalani pidana atas perbuatannya, namun, apakah kemudian jejak masa tak boleh lagi diungkit? Sejauh mana respons masyarakat yang ideal untuk menyikapi permintaan Saipul ini? Untuk menjawabnya, kami menghubungi Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu.
“Terdakwa itu memang punya hak untuk kembali ke masyarakat. Tapi, di lain sisi, untuk beberapa kasus tertentu seperti kekerasan seksual dan korupsi, kan enggak mungkin [terdakwa] kembali begitu saja ke sistem. Kejahatan seperti itu diperlukan pembatasan-pembatasan, hanya sayangnya sistem kita masih enggak terlalu ketat [soal pembatasan itu],” kata Erasmus saat dihubungi VICE.
Erasmus lantas menceritakan tentang Dru Sjodin National Sex Offender Public Website, sistem yang dipakai Amerika Serikat untuk mengawal kembalinya pelaku kekerasan seksual ke masyarakat. Pada 2006, Presiden George W. Bush mengesahkan Undang-undang Perlindungan Anak agar tragedi yang menimpa Dru Sjodin, korban penculikan oleh mantan narapidana kekerasan seksual, tidak terjadi kembali. Lewat mekanisme ini, pemerintah merekap daftar pelaku kekerasan seksual lewat website yang bisa diakses warga.
“Kalau ada seseorang dengan track record predator seksual atau kekerasan seksual, terutama terhadap anak-anak di bawah 18 tahun, pindah ke suatu wilayah tertentu, maka lingkungan tersebut akan diberi informasi,” jelas Erasmus.
Menanggapi ancaman proses hukum yang dikeluarkan Saipul dan kuasa hukumnya, Erasmus meminta semua pihak harus bijak melihat konteks. Apabila sebutan “predator seksual” atau “pedofil” disebut sebagai bagian dari melindungi masyarakat, dan bukannya untuk merendahkan martabat Saipul, tindakan ini justru dilindungi KUHP Pasal 310 dan Pasal 314.
“Contoh, tiba-tiba Saipul jadi guru SMP, orang kemudian bisa mempertanyakan, ‘Loh kok Anda jadi guru? Anda akan berada di sekitar anak-anak sementara dulu adalah predator seksual.’ Apakah sebutan ini termasuk penghinaan? Jawabannya enggak. Perbuatan menuduhkan ini bagian dari peringatan untuk kepentingan publik,” tambah Erasmus. Meskipun begitu, Erasmus memperingatkan masyarakat untuk lebih dewasa dalam bersikap, misalnya tidak terus-terusan menghakimi Saipul hingga ia dan keluarganya tidak bisa hidup tenang.
Pengacara publik dari LBH Jakarta Oky Wiratama melihat pernyataan Saipul dari sisi lain. Kekuatan hukum yang dimiliki Saipul mengindikasikan penggunaan pasal-pasal karet bermasalah tentang penghinaan dan pencemaran nama baik bisa terjadi.
“Untuk masyarakat umum, harus hati-hati. Di era ini mudah sekali polisi menangkap seseorang dengan pasal karet pencemaran nama baik. Terkecuali kalimatnya lengkap seperti ‘Saipul Jamil mantan narapidana kasus X’, [kalimat] itu cenderung aman,” kata Oki kepada VICE.
“Secara moril, masyarakat tentu tidak lupa akan track record-nya, terlebih lagi jika hal tersebut merupakan hal yang notoire feiten [hal yang sudah diketahui kebenarannya dan tidak perlu dibuktikan lagi]. Namun, idealnya masyarakat tetap bijak berkomunikasi di media sosial.”