Konten viral di medsos dipicu insiden kecelakaan atau saling sindir soal perilaku di jalan raya makin sering terjadi antara penghobi sepeda dengan pengendara kendaraan bermotor. Kedua pihak saling menuding satu sama lain lebih arogan di jalanan.
Salah satu yang terbaru adalah viralnya foto pengendara sepeda motor mengacungkan jari tengah ke rombongan pesepeda yang masuk jalur utama di ruas Jl Sudirman, Jakarta Pusat. Foto itu viral sejak 27 Mei 2021.
Rombongan pesepeda tersebut dianggap tidak taat pada jalur khusus, dan menghambat laju kendaraan bermotor. Di kolom komentar postingan Instagram maupun Twitter, muncul perdebatan soal arogansi pesepeda, yang kini dikesankan hobi kalangan menengah ke atas. Di sisi lain, muncul klarifikasi bahwa rombongan pesepeda itu keluar sejenak dari jalur khusus lantaran ada bus yang melintas di Dukuh Atas, sehingga mereka berusaha menghindar ke jalur utama Sudirman.
Namun foto ini hanya satu dari sekian perang opini di medsos selama setahun terakhir, antara pengendara motor dan penghobi sepeda. Realitasnya, penggemar sepeda di kota-kota besar Indonesia memang meningkat drastis. Jumlah pesepeda Indonesia naik 1.000 persen terhitung dari awal PSBB pertengahan 2020. Situasi inilah yang kemudian jadi penggerak penambahan prasarana jalur sepeda permanen di berbagai kota, mulai dari Bandung, Bogor, Madiun, hingga ibu kota.
Kebijakan pro-pesepeda ini tidak bisa dibilang baru, terutama di Jakarta. Setahun sebelum demam gowes melanda Indonesia saat pandemi, Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta telah mengimbau warga untuk lebih banyak menggunakan sepeda dan berjalan kaki.
Demi mewujudkan hal ini, Anies melontarkan janji mengintegrasikan antarmoda dengan sepeda, menyiapkan parkir khusus sepeda di setiap halte bus dan stasiun MRT, serta siapkan bike sharing pada sejumlah stasiun.
Praktiknya berjalan baik, hingga Anies didapuk sebagai satu dari 21 Heroes 2021 versi lembaga asal Jerman, Transformative Urban Mobility Initiative bersamaan dengan Elon Musk. Namun seiring berjalannya waktu, kebijakan menyokong kepentingan pesepeda ini mulai menuai polemik. Apalagi ketika muncul laporan pemprov DKI berniat membangun Tugu Sepeda dengan anggaran hingga Rp800 juta.
Beberapa pakar menyambut baik pembangunan tugu tersebut, seperti disampaikan pengamat tata kota Yayat Supriyatna.
“[Tugu sepeda] menjadi makna simbolik, semacam ajakan, himbauan, dan menambah street furniture dalam arti menambah ikon identitas dari wajah kota. Jadi ditempatkanlah tugu atau patung, atau apapun itu sebagai bentuk penambah estetika kota,” seperti dilansir dari Detik.
Namun sebagian lain menganggap tugu tersebut merupakan keputusan tidak bijak, apalagi ketika dibangun di tengah pandemi. Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah salah satunya. Saat diwawancarai CNN Indonesia, Trubus menilai tidak ada urgensi untuk membangun tugu senilai 800 juga tersebut di tengah pandemi Covid-19.
“Tugu sepeda itu kan gunanya enggak ada. Saya khawatir itu hanyalah kedok untuk mendapatkan proyek di Pemprov DKI atau rekanan dari Pemprov DKI,” kata Trubus.
Dari polemik tugu itu, wacana seputar kebijakan sepeda kemudian berbelok tajam mengenai perlukan sepeda diberi privilese besar. Beberapa kebijakan yang ada saat ini dianggap terlalu berpihak pada para pesepeda, dan tidak adil bagi pengendara kendaraan motor lainnya. Contohnya, road bike yang sedang diuji coba untuk dapat melintas di jalan layang non tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang atau JLNT Casablanca.
Sampai kemudian muncul wacana dari Polda Metro Jaya pada 9 Mei 2021, bahwa jalur sepeda di kawasan Sudirman-Thamrin sedang dikaji untuk ditiadakan. Pasalnya, tercatat ada dua mobil kecelakaan akibat menabrak planter box, beton pembatas jalur sepeda yang oleh beberapa kalangan dinilai berbahaya tersebut.
Respons Polda Metro Jaya untuk meniadakan jalur sepeda ini direspons negatif pengendara sepeda. “Salah kaprah, masa mobil nabrak ada pelanggaran, kok yang disalahin jalurnya,” ujar ketua komunitas Bike to Work Putut Soedarjanto dilansir dari Kumparan.
Setelah wacana peniadaan, mendadak muncul sayembara desain jalur sepeda terproteksi dengan iming-iming hadiah Rp52 juta dari Pemprov DKI Jakarta. Artinya, pesan yang dikirim ke publik makin simpang siur. Di mana posisi pemerintah soal sepeda? Kenapa terkesan berbeda dari sudut pandang Polda Metro Jaya?
Kepada VICE, pegiat sepeda Matthew Pradipta yang baru menekuni olahraga ini sejak pandemi, menilai keberadaan pembatas jalur sepeda memang perlu dievaluasi. “Pembatasnya cukup bikin kagok bagi kita pengendara sepeda, dan bahaya bagi pengguna jalan lainnya juga,” ujar pengendara road bike yang rutin gowes 4-5 kali dalam seminggu tersebut.
Matthew menambahkan keresahannya atas regulasi jalur sepeda ini. “Ada tertulis anjuran kecepatan 25 km per jam untuk yang mau melintas di jalur sepeda. Ini yang membuat kami para pengendara road bike, yang cenderung melaju dengan cepat jadi malah tidak bersepeda di jalur sepeda. Kami menilai akan jadi berbahaya bagi yang bersepeda dengan kecepatan lambat.”
Menangggapi wacana ditiadakannya jalur sepeda, Matthew berpendapat bahwa itu malah buang-buang anggaran. Pesepeda tetap butuh jalur khusus, namun tidak seperti yang ada sekarang.
“Mungkin lebih baik dikaji terlebih dahulu solusi yang tepat, jangan langsung ditiadakan begitu saja.”
VICE turut menghubungi pengamat transportasi Djoko Setinowarno yang juga merupakan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat dan Transportasi Indonesia (MTI). Pro kontra jalur sepeda yang nampak tak kunjung habis itu dijawab Djoko dengan lugas, bahwa sejatinya sepeda harus memiliki jalur tersendiri.
“Sepeda itu kan bukan kendaraan bermotor, jadi sudah seharusnya jalurnya pun dipisahkan dari jalur kendaraan bermotor,” ujarnya.
Ketika ditanya mengenai apakah Jakarta bisa mewujudkan diri jadi kota yang ramah pesepeda tanpa memicu konflik sosial, menurut Djoko ada faktor pemerintah yang majur mundur. Alhasil, implementasi aturan seputar sepeda berpotensi merugikan baik pesepeda maupun pengandara motor. Di sisi ini, dialog publik perlu lebih sering terjadi dan difasilitasi pemerintah daerah, agar pesepeda maupun pengendara motor bisa saling memahami kebutuhan masing-masing.
“Dari segi regulasi sudah mendukung dari pemerintah pusat. Pelaksanaannya sih lebih banyak ke pemda yang tentunya jadi berbeda-beda berdasarkan pemahaman perda masing-masing,” urai Djoko.
Namun apakah dengan berbagai kebijakan khusus membuat warga Jakarta mulai melirik sepeda menjadi moda transportasi yang harian? Ini yang mustahil terjadi menrut Djoko. Aktivitas bersepeda di negara ini, kecuali untuk pedagang keliling, bukanlah opsi transportasi alternatif. Alhasil, bias kelas berpotensi terus muncul karena penggerak utama komunitas sepeda adalah penghobi yang berasal dari latar kelas menengah ke atas.
“Mayoritas orang yang beraktivitas di Jakarta itu tinggal di kota penyangga. Sepeda mungkin akan dilirik tapi hanya akan jadi sebagai hobi di akhir pekan,” kata Djoko.
“Selain itu rasanya warga Jakarta sudah terlena dengan kenyamanan sepeda motor, jika dibandingkan dengan sepeda. Hal ini tentu berbeda dengan negara lain yang dari awal penggunaan sepeda motornya rendah.”