Gelombang protes anti-perang pecah di berbagai penjuru Rusia setelah Presiden Vladimir Putin mengumumkan, Rabu (21/9) waktu setempat, rencananya mengirim 300.000 tentara cadangan ke Ukraina. “Mobilisasi parsial” yang diperintahkan Putin memicu kekhawatiran yang meluas di dalam negeri.
Kelompok hak asasi manusia (HAM) Rusia OVD-Info mencatat sebanyak 1.386 demonstran di 38 kota ditangkap dalam aksi unjuk rasa terbesar sejak Rusia menyatakan perang pada Februari lalu. Sebagian besar penangkapannya terjadi di ibu kota Moskow dan St. Petersburg. Dari pengamatannya di Moskow, para pengunjuk rasa hanya akan dibebaskan jika mereka mau berjuang melawan Ukraina.
Dalam rekaman video, sejumlah demonstran di Moskow terdengar meneriakkan “buang Putin ke got”, sedangkan banyak di antara mereka diseret oleh polisi anti huru-hara.
Sementara itu di Siberia, seorang perempuan ditangkap polisi hanya karena membawa spanduk bertuliskan “peluk saya kalau kamu juga takut” dalam bahasa Rusia. Penangkapan ini mengulang sikap keras aparat menangkapi demonstran yang mengangkat kertas kosong di awal perang.
Meski aksi protes sudah dilarang dari sebelum perang, Rusia baru saja mengesahkan undang-undang yang membungkam kritik terkait perang. Demonstrasi sempat mengguncang negara di awal invasi, tapi segera dibubarkan secara paksa oleh pihak berwajib.
Putin melalui pidatonya menuduh pihak Barat sengaja menggunakan senjata nuklir untuk menyudutkan Rusia. Dia menyatakan siap “melakukan segala cara” untuk membalas dendam. Ada sekitar 6.000 hulu ledak nuklir yang dipegang Rusia.
Warga Rusia ramai-ramai mencari tempat untuk melarikan diri setelah pengumumannya disiarkan. Tiket penerbangan keluar Rusia ludes dalam waktu singkat.
Pasukan militer Rusia sedang sibuk mencari tentara kontrak setelah Ukraina berhasil mengalahkan mereka di Kharkiv.