Berita  

‘Royalti Pengumuman’, Area Rawan Konflik di Industri Musik Indonesia

‘royalti-pengumuman’,-area-rawan-konflik-di-industri-musik-indonesia

Laporan ini adalah artikel kedua dari seri liputan VICE mengurai lika-liku mekanisme royalti yang belakangan dianggap belum bisa menyejahterakan musisi independen di Indonesia. Tulisan pertama bisa dibaca di tautan ini.


Di satu hari yang normal pada 1847, komposer Prancis Ernest Bourget memutuskan menghabiskan malam harinya dengan berantai menikmati alunan live music di Café Morel, Kota Paris. Pertunjukan musik di kafe, istilahnya caf’ conc’, sedang populer pada masa itu.


Para muda-mudi kelas menengah rutin membanjiri berbagai acara musik, mencari kebahagiaan dari mendengar lagu kesukaannya secara langsung ditemani minuman beralkohol.

Ernest tiba-tiba tertegun bangga ketika salah satu lagu ciptaannya dimainkan para pemusik. Terlebih lagi, lagunya tersebut ternyata sanggup memicu riuh tepuk tangan pengunjung. Pencipta lagu mana sih yang enggak bahagia melihat karyanya bikin banyak orang senang?

Pertunjukan selesai, semua senang. Ernest memanggil salah satu pelayan kafe untuk memesan eau sucré alias air gula, minuman favorit Ernest. Pelayan menolak, menjelaskan bahwa kafe hanya menjual anggur setelah petang. Alasan kebijakan kafe ini murni ekonomis. Mereka akan lebih untung kalau menjual wine dibanding minuman lain.

Ernest tersinggung, lalu mencak-mencak. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Bagaimana mungkin Café Morel yang menggunakan lagu ciptaannya untuk menghibur pengunjung bisa mendapat keuntungan ekonomi, demikian juga pemusik kafe dibayar memainkan lagu ciptaannya. Sedangkan Ernest sebagai pencipta lagunya bukan cuma tidak mendapatkan uang sepeser pun, memesan minuman favoritnya saja ia tidak boleh.

Ernest membawa ketidakadilan itu ke ranah hukum dan pengadilan setempat memenangkannya. Perkara ketersinggungan ini berujung kewajiban Café Morel membayar Ernest 800 franc sebagai bayaran penggunaan lagu. Dari sanalah, para pembaca sekalian, asal-muasal munculnya sistem bernama ‘Royalti Pengumuman’. Salah satu revolusi terbesar industri musik global ini dimulai dari perkara air gula.

Pergerakan Ernest tidak berhenti di sana. Dia lantas mengajak komposer Victor Parizot, Paul Henrion, dan penerbit Jules Colombier untuk membentuk badan yang bertugas memastikan royalti dibayarkan para pelaku usaha yang menggunakan musik untuk menunjang bisnisnya. Tiga tahun kemudian, lembaga manajemen kolektif (LMK) pertama di dunia terbentuk dengan nama La Société des auteurs, compositeurs et éditeurs de musique (SACEM). Sistem dibentuk, pengawasan dilakukan, royalti dibayarkan.

Lompat waktu ke 1991, atau 141 tahun setelah LMK pertama berdiri, sekelompok musisi Indonesia mencoba memperjuangkan hal serupa. Paguyuban Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) menginisiasi berdirinya LMK pertama bernama Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). Nama-nama besar macam Chandra Darusman, Titiek Puspa, dan Guruh Soekarnoputra menjadi penggeraknya.

Seperti Ernest, YKCI merasa para pencipta lagu seharusnya mendapatkan hak ekonomis ketika lagu-lagu mereka dipakai pelaku usaha untuk menggenjot penjualan jasanya, entah itu di kafe, karaoke, hotel, hingga restoran. Perjalanan panjang para penulis lagu demi mendapatkan haknya dimulai.

Proses sosialisasi kala itu tidak diterima begitu baik, banyak pelaku usaha menolak ajakan membayar royalti. Posisi tawar YKCI juga tidak kuat, belum ada UU yang mengatur kewajiban Royalti Pengumuman. Royalti jenis ini baru disinggung dalam UU 28/2014 tentang Hak Cipta yang terbit 23 tahun setelah YKCI berdiri. Pada tahun itu, sudah ada 11 LMK di Indonesia.

Bersamaan dengan keluarnya UU Hak Cipta, negara menilai perlu ada satu lembaga khusus yang mengoordinir pemungutan royalti yang dilakukan banyak LMK. Niat negara sekilas mulia: mengimplementasikan sistem satu pintu agar para pelaku usaha tidak perlu ditagih berkali-kali oleh kesebelas LMK. Maka didirikanlah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai induk para LMK. Status LMKN adalah lembaga negara non-APBN, dipimpin oleh 10 komisioner yang hampir semua dipilih oleh Kemenkumham.

Terciptalah mekanisme distribusi Royalti Pengumuman versi Indonesia modern. Proses awal dan terpenting: para pemilik usaha, disebut user, membayar sejumlah nominal royalti kepada LMKN. Siapa saja yang tergabung dalam kategori user wajib bayar?

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 56/2021, mereka adalah pesawat udara, bus, kereta api, kapal laut, konser musik, pertokoan, hotel dan fasilitas hotel, radio, pusat rekreasi, bioskop, televisi, pameran dan bazar, nada tunggu telepon, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, diskotek, seminar, konferensi, dan karaoke.

Proses selanjutnya, LMKN akan membagikan royalti yang sudah dibayarkan user kepada para LMK. Nama-nama LMK bisa dibaca di bagian pertama laporan ini. Lantas, LMK memotong royalti yang dikirim LMKN sebanyak 20 persen sebagai dana operasional lembaga, lalu meneruskan sisanya ke para pencipta lagu yang sudah terdaftar di masing-masing LMK. 

Trivia: Karena status LMKN adalah lembaga negara non-APBN, dari mana duit untuk menggaji para komisionernya? Konsultan kekayaan intelektual Panji Prasetyo menjelaskan, dana operasional LMKN sudah masuk di potongan 20 persen yang diambil LMK dari royalti pencipta lagu. Jadi, meski secara birokrasi dan kewenangan LMKN ada di atas LMK, dan tak ada satu pun orang LMK menjadi komisioner LMKN, nyatanya LMKN dibiayai LMK. Menarik, bukan?

d93a7ac7-c439-4fa1-9d81-a3685fe6ca95.jpg
Bagan oleh Lintang Larasati

Tidak sedikit pihak yang heran melihat detail bagan di atas. Panji mengakui status LMKN sebagai lembaga di negara ini cukup membingungkan.

“Kalau LMKN dibiayain pemerintah, dikasih sistem regulasi yang jelas [dan kewenangan] seperti OJK [misalnya], enggak masalah. Tapi ini enggak, dia federasi tapi dari pemerintah. Anggotanya juga komisioner, ditunjuk oleh menteri. Lebih lucu lagi, pendanaannya enggak dikasih negara, tapi mengambil dari 20 persen dana operasional para LMK,” kata Panji saat dihubungi VICE.

“Jadi dari awal, ada satu lembaga yang dibikin untuk mengawasi dan menjadi pusat dari LMK-LMK, tapi tidak dibekali dengan kewenangan yang ketat, bentuk kelembagaan yang clear, dan pendanaan. Itu problem utamanya,” kata Panji.

Konsep kerja LMKN juga terlihat tidak begitu matang. Panji menyebut LMKN sebenarnya berhak mengaudit para LMK dan merekomendasikan sanksi kepada Menkumham apabila ada LMK nakal. Namun, teori semata teori. “Jadi, kami menemukan ada satu LMK yang dua tahun enggak pernah audit dan enggak ada laporan auditnya, tapi tetep dapat bagian [kiriman royalti dari LMKN] gitu,” tambah Panji.

Krisis eksistensial LMKN semakin menajam ketika negara menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Satu pasal terpenting dari beleid tersebut adalah rencana pembuatan database karya musik bernama Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) yang akan dikelola LMKN.



Cara LMKN mengelola proyek ini ternyata tidak seperti yang banyak orang kira. Lewat peraturan turunan Permenkumham 20/2021, LMKN diberi wewenang menunjuk pihak ketiga sebagai pelaksana proyek SILM. Negara lantas memperbolehkan si pihak ketiga ambil jatah 20 persen dari total royalti terkumpul sebagai bayaran. Alurnya, pelaksana proyek SILM mengumpulkan royalti lalu memotongnya 20 persen, sisanya diteruskan ke LKM yang memotong 20 persen lagi, baru hasil bersihnya diserahkan ke pencipta lagu.

Sebagian pencipta lagu akhirnya melawan balik. Respons negatif mencuat begitu LMKN menunjuk PT Lentera Abadi Solutama (LAS) sebagai pelaksana proyek SILM. Penunjukan PT LAS dianggap tidak transparan.

“Ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 telah menyerahkan kewenangan yang sangat besar kepada korporasi. Apalagi penunjukan [PT LAS] dilakukan secara tertutup, tidak transparan, dan terindikasi mengandung konflik kepentingan, tanpa melalui uji publik dan konsultasi dengan para pencipta dan para pemangku kepentingan yang lain. Sedangkan, royalti yang digunakan merupakan hak-hak para musisi dan pencipta lagu,” kata Indra Lesmana, inisiator Aliansi Musisi-Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI), lewat siaran pers pada 20 Desember 2021.

Kemarahan AMPLI sangat berdasar. Pertama, investigasi Majalah TEMPO pada Oktober tahun lalu menguak detail kontrak kerja sama PT LAS dan LMKN. Isinya, PT LAS ditunjuk sebagai pelaksana harian LMKN dalam menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti hingga 10 tahun ke depan. Temuan ini membuat pertanyaan soal fungsi dan peran LMKN makin menjadi.

Kedua, tidak ada rekam jejak meyakinkan dari PT LAS yang melegitimasi penunjukannya mengelola SILM. Perusahaan itu diketahui baru terbentuk 22 Desember 2020. Ketiga, salah satu Komisioner LMKN, Irfan Aulia, tercatat memiliki saham di PT LAS. Irfan kini sudah mundur dari posisi komisioner LMKN.

Perlawanan berbuah hasil. Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham berjanji akan mengubah Permenkumham 20/2021. Sampai artikel ini ditulis, revisi aturan masih dalam proses.

“Kalau mau berubah [ke arah lebih baik] jangan [ubah] peraturan menterinya saja, tapi [juga] PP 56/2021 karena biang keroknya kan di situ. Kalau mau dibenahi, ya dibenahi juga lah kelembagaan, hubungan kelembagaan antara LMK dan LMKN tadi. [Kami dapat kabar] nanti PT LAS [di Permenkumham baru] akan diperkecil perannya. Diperkecil ini gimana?” tanya Panji yang juga Ketua Dewan Pengawas AMPLI.

Musisi menagih transparansi

Selain masalah kelembagaan, LMKN sebagai sentral pemungutan royalti juga memiliki permasalahan kinerja. Musisi Endah Widiastuti, dikenal dengan proyek duo Endah N Rhesa, merasa laporan Royalti Pengumuman yang diterima para pencipta lagu selama ini kurang transparan.

“Mekanisme pengumpulan dan distribusi royalti ke LMKN lalu ke LMK sangat perlu ditingkatkan dalam hal transparan dan akuntabilitasnya. Kami tentu akan lebih senang jika benar-benar mengetahui detail laporan yang menyebutkan lagu mana yang sering diputar, berapa kali lagu tersebut diputar, titik-titik mana saja yang memutar lagu kami,” ujar Sekretaris Jenderal AMPLI itu kepada VICE.

“Kami tidak anti-swasta, tidak anti-pihak ketiga. Namun, sepanjang mekanisme dilakukan transparan dan akuntabel, tentu saja akan memenangkan hati banyak pihak,” tambah Endah. “Kami rasa isu saat ini bukan pada besar-kecilnya angka [royalti] tetapi kepada nilai kepercayaan apakah royalti itu sesuai dan sampai atau tidak sampai ke pemilik haknya.”

VICE menghubungi Wahana Musik Indonesia (WAMI), salah satu LMK paling populer di kalangan musisi, untuk meminta perspektif lembaga kolektif mengenai transparansi, mekanisme penagihan, dan masalah yang dihadapi di lapangan.

Ketua WAMI Chico Hindarto menjelaskan bahwa terkait transparansi, WAMI siap membuktikan mereka patuh meneruskan apa yang mereka dapat dari LMKN, sesuai prosedur yang ada dalam jumlah yang benar. Laporan audit keuangan WAMI juga bisa diakses publik di situs resmi lembaga. 

“Kalau misalkan [member WAMI] tidak puas dengan summary laporan, silakan hubungi WAMI [untuk data lebih detail]. Kami bisa buka [data detailnya],” kata Chico. Sampai hari ini, WAMI menjadi rumah bagi 3.000-an pencipta lagu. Chico menjelaskan, jangankan di Indonesia, kecurigaan akan transparansi juga terjadi di luar negeri. Maka, WAMI sebagai LMK membuka forum komunikasi seluas-luasnya kepada pencipta lagu.

Trivia: Selain dari LMKN, WAMI juga menghimpun Royalti Pengumuman dari LMK luar negeri. WAMI adalah anggota CISAC, Konfederasi Internasional Perkumpulan Pencipta Lagu. Dari CISAC, WAMI dikirimi royalti dari LMK negara lain apabila ada lagu membernya yang diputar publik di negara tersebut.

“[Lagu-lagu Indonesia diputar] paling sering di Malaysia. Nanti LMK-nya Malaysia melapor ke kami, lalu kami laporkan ke pencipta lagu,” jelas Chico. Sama seperti data dari LMKN, WAMI siap membuka data detail apabila anggotanya meminta.

Dalam menjalankan fungsi penagihan, LMKN membentuk tim bernama Koordinator Pengumpulan, Penghimpunan, dan Pendistribusian Royalti (KP3R). Siapa pelaksananya? Dilaksanakan bergantian oleh para LMK. Pada 2020 misalnya, WAMI bersama SELMI (Sentra Lisensi Musik Indonesia) mendapat giliran menjadi penagih. Sebagai pelaksana KP3R di tahun tersebut, WAMI mendapatkan mandat untuk mengumpulkan royalti sebagai implementasi one-gate policy. WAMI akan menerjunkan orangnya untuk menagih user agar membayar royalti ke rekening LMKN.

Saat ditanyai kendala pengumpulan yang berimbas pada akurasi distribusi royalti, Chico menyebut tantangan utama yang kerap dihadapi KP3R adalah mendapatkan daftar lagu putar yang akurat. Sebab, para user kerap tidak mencatat lagu apa saja yang diputar. “Banyak user tak menyetorkan data [lagu yang diputar]. Akhirnya, sistem kami kesusahan untuk membagi [royalti] ke antar LMK dan membagi ke pencipta lagu,” kata Chico.

“Makanya, kami minta tolong banget para user menjalankan dua kewajibannya. Pertama, membayar royalti penggunaan karya. Kedua, memberikan data penggunaan.”

Dari obrolan bersama Chico, kecilnya royalti pencipta lagu juga bisa disebabkan oleh blanket system, atau sistem bagi rata, yang masih dipakai negara dalam menagih royalti. Contoh sederhananya: LMKN mengatur bahwa hotel dengan 5 kamar mempunyai kewajiban membayar Royalti Pengumuman sebanyak Rp2 juta per tahun. Jumlah uang itu akan dibagi rata kepada para pencipta lagu yang lagunya diputar, meski pencipta lagu yang satu lebih sering diputar lagunya dibanding pencipta lagu yang lain. Kalau hotel itu memutar 10.000 lagu berbeda selama setahun, maka uang yang diterima akan semakin mengecil.

Belum lagi menghadapi para user yang belum sadar kewajiban, “Mereka [kerap bertanya], ‘Kan kami sudah berlangganan digital streaming platform, udah beli CD, kenapa masih harus bayar?’ Ini mesti dijelaskan bahwa berlangganan streaming dan beli CD itu adalah ranah individual, bukan untuk komersil. Begitu restoran memakai CD yang dibeli itu, maka sudah masuk wilayah komersil [dan harus bayar Royalti Pengumuman]. Sebenarnya pilihannya [gampang], tinggal enggak masang lagu. Enggak apa-apa, enggak ada yang dirugikan dan enggak ada yang diuntungkan,” cerita Chico.

Mengenai keluhan para musisi yang merasa Royalti Pengumuman terlampau kecil, Chico tidak menyanggah. Penghasilan dari sektor ini memang selalu menjadi yang paling kecil buat musisi. “Dari data kami, [hanya] komposer 100 besar [yang] bisa hidup dari situ [uang Royalti Pengumuman].” 

Hingga artikel ini dilansir, LMKN tidak kunjung merespons permintaan wawancara dari VICE, sehingga beberapa poin keluhan dari para penulis lagu belum bisa dikonfirmasi dari sisi LMKN.

Mau bayar, asal enggak ribet

Kondisi menantang untuk penagihan royalti membuat VICE terdorong menghubungi beberapa user. Kebanyakan sudah sadar kewajiban seputar royalti pengumuman, namun beberapa masih kebingungan soal mekanismenya. Beberapa lain masih mencoba meminta keringanan.

Untuk konser musik, peraturan turunan UU Hak Cipta menetapkan promotor musik harus membayar royalti. Forum yang dipakai: (hasil kotor penjualan tiket x 2 persen) + (harga tiket yang digratiskan x 1 persen). Apabila konser musik tersebut gratis, rumus royalti yang dibayarkan yakni biaya produksi x 2 persen.

Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) termasuk pihak yang mengaku sudah rutin berkomunikasi dengan LMKN terkait kewajiban yang harus dibayar para penyelenggara.

“Dari sisi promotor, saya yakin sudah pada membayar ya karena ada kewajiban penyelenggara acara kepada lembaga kolektif. Setelah dibayarkan, kami enggak tahu bagaimana dari situ akan diteruskan, [LMK] punya itungannya, rumusnya,” ucap Ketua Bidang Promosi dan Digital APMI David Karto.

Terkait mekanisme, David menjelaskan idealnya tim legal para promotor akan berkoordinasi dengan LMKN. Pihak promotor juga biasanya diminta menyerahkan daftar penampil dan setlist lagu yang dibawakan penampil. LMKN kemudian akan muncul dengan angka, promotor tinggal membayar.

Apakah ada standar minimal hingga sebuah gig harus membayar Royalti pengumuman? David berasumsi pertunjukan itu harus sudah berlevel komersil, indikasinya ada penjualan tiket atau didanai sponsor.

“Kalau konteksnya DIY di garasi rumah atau sebuah komunitas, menurut gue enggak perlu dihitung lah karena secara event juga enggak ada penghasilannya. [Gig DIY] itu kan sifatnya apresiasi, edukasi, untuk fun lah, lebih rock ’n’ roll aja gitu.” ujar pendiri Synchronize Festival tersebut.

Asosiasi Music Director Indonesia (AMDI) termasuk pihak yang sadar kewajiban bayar royalti. Mereka bahkan sudah melakukannya sejak 1991, semasa YKCI masih jadi satu-satunya LMK. Namun, saat VICE ngobrol dengan Ketua AMDI Prita Prawirohardjo, ia bercerita bahwa saat ini pihak radio masih mencoba menegosiasikan formula pembayaran royalti yang dianggapnya terlalu tinggi, sebesar 1,15 persen dari total pendapatan radio per tahun. Rinciannya, 0,6 persen untuk pemilik Hak Cipta Lagu dan 0,55 persen untuk pemilik Hak Terkait.

“Cuma, masih ada pro-kontra nih di [khususnya] grup radio aku. Aku enggak tahu kalau radio-radio lain di Indonesia. [Kami] masih dalam proses negosiasi nih sama LMKN [terkait besaran pembayaran royalti]. [Contohnya] Sebelum kami bayar, itu kami diaudit dulu sama akuntan publik, dan itu keluar biaya lagi juga,” ujar Prita. 

“Setahuku sampai hari ini masih [negosiasi]. Bukannya kami enggak mau bayar, kami mau bayar. Dulu pas [bayar ke] YKCI juga bayar per tahun, emang udah di-budget-in untuk itu. Cuma sekarang dipotongnya besar sekali. Dulu di KCI itu [tarif] flat gitu, lagu Indonesia berapa, lagu Barat berapa, jadi enggak ngambil dari pendapatan.”

Sama seperti APMI, AMDI menyebut radio sendiri tidak tahu-menahu apakah royalti yang mereka bayarkan benar tersalurkan kepada para pemilik hak. Yang penting, kewajiban mereka sebagai user sudah terpenuhi. Grup radio MRA Broadcast Media, tempat Prita bekerja, membayar royalti untuk kelima radionya—Hard Rock FM, Trax FM, iRadio, Cosmopolitan FM, dan Brava Radio—secara langsung ke LMKN.

Kesadaran akan peraturan juga disampaikan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta. Wakil Ketua Bidang Sumber Daya Manusia dan Sertifikasi PHRI DKI Jakarta Erwin Dracosta lantas mengumpulkan keluhan anggotanya terkait peraturan ini dan menyampaikannya kepada VICE.

Erwin menyebut anggotanya masih kebingungan mengenai hal-hal mendasar, seperti apakah pemutaran lagu instrumental, pemutaran lagu berbahasa asing, atau pemutaran musik secara live band juga wajib membayar royalti.

Karena PHRI Pusat sudah menandatangani nota kesepahaman dengan LMKN terkait kewajiban ini, PHRI daerah hanya bisa mengadukan permasalahan ini ke pengurus pusat.

“Saya hanya sarankan kepada anggota, sejauh itu memang jadi kewajiban dan punya kemampuan bayar, silakan dibayar daripada bisnis kita yang jadi masalah. Tapi kalaupun tidak [mampu membayar], saya sarankan bersurat saja ke mereka [pengurus pusat] secara personal, secara individu unit, meminta penundaan,” cerita Erwin. 

VICE turut menanyakan posisi Himpunan Perusahaan Penata Acara Pernikahan Indonesia (Hastana) terkait mekanisme royalti. Sampai saat ini, industri acara pernikahan masih belum tercantum sebagai wajib bayar berdasarkan UU Hak Cipta dan peraturan turunannya. 

“Belum ada update khusus mengenai itu [membayar Royalti Pengumuman]. Tetapi, kami mendukung usaha pemerintah melindungi hak cipta apa pun bentuk karyanya. Kami di industri kreatif juga berusaha agar setiap karya itu dihargai. Cuma, gimana nih caranya?” ujar Sekretaris Wilayah Hastana Jabodetabek Bunga Firdaus kepada VICE.

Bunga punya beberapa perhatian jika kelak sesi musik di acara pernikahan harus membayar royalti. Pertama, sosialisasinya harus merata dan jelas ke seluruh Indonesia. Kedua, peraturannya sistematis dan transparan. Ketiga, mekanismenya praktis agar tidak menyulitkan pengantin.

“Pengantin melakukan selebrasi untuk orang-orang terkasih, salah satu caranya adalah dengan menggunakan karya yang di dalamnya ada hak cipta orang di situ. Silakan saja kalau memang ada aturannya, tinggal gimana caranya biar sistematis tadi, enggak menyulitkan,” tutup Bunga.