Persepsi masyarakat bisa jadi pendorong kelas menengah untuk berbelanja barang palsu, walau mereka mengetahui betul kualitasnya yang rendah dan risiko hukum di belakangnya – demikian temuan sebuah riset baru.
Pertumbuhan ekonomi memunculkan kelas menengah baru yang juga membutuhkan gaya hidup baru. Indonesia memiliki populasi kelas menengah yang besar. Sebagian besar dari populasi tersebut adalah generasi milenial, yang kerap dicirikan memiliki gaya hidup yang konsumtif, trendi dan ingin mengalami banyak hal, termasuk dalam fesyen.
Fesyen kerap dianggap sebagai produk kasat mata yang merepresentasikan simbol status. Proses globalisasi membuat berbagai merek fesyen mewah dikenal dan diinginkan di seluruh dunia. Namun, daya beli kelas menengah milenial tidak selalu cukup untuk membeli merek-merek mewah. Demi mengikuti tren global, membeli produk palsu yang dapat mendukung gaya hidup dan pengalaman mereka menjadi alternatif pilihan.
Berdasarkan data yang dihimpun Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), Indonesia menderita kerugian hingga Rp291 triliun pada 2020 akibat barang palsu. Dari total peredaran di pasaran, masing-masing 38 persen dari produk fesyen dan barang kulit adalah barang palsu. Sementara, 50 persen kosmetik beredar bukanlah produk asli.
Padahal, Indonesia punya aturan yang menegaskan penggunaan barang palsu dapat dipidana hingga lima tahun dan didenda Rp2 miliar. Lantas, apa yang mendorong kelas menengah untuk terus membeli barang tiruan?
Ingin mencoba hal baru, tapi tak punya uang dan tak takut hukum
Permintaan barang palsu memang tidak main-main. Berdasarkan laporan dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Co-operation and Development/OECD), total impor barang palsu mencapai sekitar Rp 7.365 kuadriliun pada tahun 2016. Jumlah ini menyumbang 3,3 persen dari total impor global, dengan lebih dari 80 persen dari total produksi berasal dari Cina dan Hongkong.
Riset kami menunjukkan bahwa sikap terhadap barang palsu, kerentanan informasi, dan persepsi terhadap risiko berada di balik kesediaan konsumen untuk membeli barang-barang mewah tiruan.
Kami mewawancarai 193 responden berusia 19-44 tahun yang hidup di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Tangerang, Bogor, Bekasi, Yogyakarta, Bandung, Medan, Jambi, Batam, Pekanbaru dan Samarinda. Sekira 65 persen memiliki pendidikan tingkat sarjana, 21 persen memiliki gelar master dan sisanya menempuh jalur pendidikan diploma. Barang yang kami masukkan dalam survey adalah tas, sepatu, baju, jam tangan, topi, parfum, dan aksesoris fesyen lainnya.
Temuan kami menunjukkan bahwa sikap terhadap barang palsu utamanya berasal dari upaya konsumen untuk terus mencari kebaruan. Faktor ini menjelaskan bahwa individu terus menyimpan informasi baru terhadap ketidakpastian masa depan dan, berdasarkan informasi ini, mereka terus mencoba hal-hal baru.
Konsumen cenderung senang menggunakan merek mewah palsu karena rasa ingin tahu atau coba-coba terhadap sesuatu yang baru. Hasrat seseorang terhadap barang palsu adalah karena adanya dorongan untuk menemukan sesuatu yang unik dan menarik yang belum pernah ia temui sebelumnya. Karena barang asli tidak terjangkau, produk palsu menjadi pilihan favorit.
Selain itu, keinginan membeli merek mewah palsu cenderung dipengaruhi oleh informasi yang diberikan oleh rekan kerja atau teman. Selain menggambarkan kerentanan konsumen dalam menerima informasi baru, hal ini menunjukkan bahwa keinginan untuk membeli juga disebabkan oleh pengaruh sosial.
Temuan unik dari penelitian kami menunjukkan bahwa konsumen tidak memiliki kekhawatiran ketika membeli merek mewah palsu. Agaknya, responden menyadari bahwa harga rendah berbanding lurus dengan kualitas barang, dan hal itu tidak menjadi masalah bagi konsumen produk palsu.
Sementara, studi kami juga menunjukkan bahwa responden memiliki pemahaman mengenai hukum terkait pembelian barang palsu, tetapi pemahaman ini tidak cukup untuk menghentikan mereka membelinya. Mereka merasa tidak khawatir dan menganggap pembelian mereka tidak akan dikenai penalti.
Faktor apa saja yang menghalangi keinginan konsumen membeli barang palsu?
Kesadaran akan integritas dan konsumsi status menjadi faktor yang dapat mencegah konsumen untuk membeli barang tiruan.
Aspek integritas terkait dengan kejujuran, tanggung jawab dan konsistensi. Konsumen dengan integritas tinggi akan mempertimbangkan sikap mereka terhadap barang mewah dan merasa bahwa membeli produk palsu dapat membahayakan orang lain di masyarakat.
Pembelian produk palsu tidak hanya melukai ekonomi, namun juga merusak reputasi merek. Pembelian barang palsu di industri olahraga, misalnya, dapat mencederai pengguna karena kualitasnya yang tidak sebanding dengan merek asli.
Dorongan untuk memiliki merek mewah palsu cenderung melemah ketika konsumen memiliki pemahaman penuh tentang konsekuensi negatif dari pembelian tersebut.
Sementara, konsumsi status merupakan upaya seseorang menunjukkan status sosialnya lewat benda-benda yang mereka kenakan.
Konsumen yang berbelanja demi status memiliki sikap negatif terhadap merek mewah palsu. Konsumen dengan tipe ini berusaha untuk memiliki merek yang menunjukkan identitas diri dan prestasi mereka. Penggunaan barang mewah palsu tentunya akan melukai citra positif yang sedang mereka bangun.
Solusi apa yang dapat ditawarkan untuk mencegah pembelian barang palsu?
Solusi yang paling jelas adalah upaya penegakan hukum. Pemerintah harus memperkuat penegakan hukum sehingga mampu memberikan sanksi bagi produsen, distributor dan konsumen barang mewah palsu. Akan tetapi, kita juga tidak bisa abai pada kebutuhan konsumsi kelas menengah.
Menyadari hal ini, pemasar sebaiknya menawarkan merek prestisius yang diproduksi secara massal dan terjangkau, sehingga dapat mengurangi keinginan untuk membeli merek mewah palsu. Hal ini dapat mengatasi abainya konsumen terhadap risiko kualitas dan hukum dari pembelian barang palsu, lewat tersedianya merek-merek prestisius yang asli dan ramah di dompet mereka.
Selain itu, perlu adanya kebijakan pemerintah agar konsumen mengenali risiko yang terkait dengan pembelian merek mewah palsu, misalnya dengan merumuskan kebijakan yang memudahkan konsumen untuk dapat membeli merek asli dan membandingkannya dengan produk tiruan.
Riset ini dilaksanakan tim pengajar Universitas Paramadina, terdiri atas Iin Mayasari; Adrian Azhar Wijanarko (Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina); Handrix Chris Haryanto (dosen jurusan Psikologi Universitas Paramadina); serta Iyus Wiadi.
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.