Berita  

Retorika Pelestarian Pappaseng Pada Generasi Milenial

retorika-pelestarian-pappaseng-pada-generasi-milenial

Oleh:
Andi Mutmainna Milasari Daud, Nurhikma, Arun Sanjaya
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Universitas Negeri Makassar)

Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang membentang dari sabang sampai merauke yang menjadikannya kaya akan budaya dan adat istiadat, salah satunya yaitu suku Bugis. Suku Bugis merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang bermukim di pulau Sulawesi tepatnya di provinsi Sulawesi Selatan.


Suku bugis adalah suku yang kental dengan adat istiadat dan budaya yang khas seperti, adat pernikahan, adat bertamu, adat bangun rumah, adat bertani, prinsip hidup dan sebagainya. Budaya Bugis yang sampai sekarang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan sikap saling menghormati yaitu budaya mengucapkan tabe’ (permisi) ketika lewat di depan sekumpulan orang. Tak heran jika pappaseng kerap kali dihiraukan oleh anak zaman sekarang. Pappaseng merupakan petuah, nasihat ataupun pesan orang terdahulun ( to riolo) sebagai pedoman dalam menghadapi masalah kehidupan.

Padahal ketika lebih mengindahkan yang namanya pappaseng akan lebih memudahkan kita dalam menjalani kehidupan, terkhusunya melihat di era zaman sekarang yang dimana terjadinya krisis moralitas yang dialami anak milenial sekarang ini yang sangat membutuhkan pendidikan karakter yang lebih dalam. Dengan adanya petuah bugis dapat dijadikan sebagai acuan dalam beretika dan bertindak kedepannya. Seperti pappaseng yang mengatakan “Siri’ émmi tuh rionroang ri lino” (Hanya siri’ itu sajalah kita tinggal di dunia). Makna pepatah ini menekankan kalau siri’ sebagai hal yang mendasar yang memberi identitas dan martabat pada pribadi orang Bugis dalam lingkungan sosialnya. Pepatah di atas memandang mengenai pentingnya seseorang menguatkan martabat diri dari hidupnya. Seseorang yang tidak memiliki harga diri (siri’) maka hidupnya setara dengan binatang (oloqkoloq). Selain itu, orang yang tidak memiliki harga diri (siri’) sering pula di istilahkan sebagai tomate jokka-jokka (mayat berjalan). Maka dari itu sangat penting menjaga harga diri agar kita dihargai oleh orang lain dan bgitu pula kita lebih menghargai diri kita sendiri.

Dalam menyampaikan pappaseng pasti erat kaitannya dengan retorika. Retorika merupakan seni berbicara yang dipergunakan dalam berkomunikasi antar manusia. Pada saat penyampaian sebuah pappaseng berhubungan dengan sifat retorika yakni bersifat informatif, persuasif, dan rekreatif. Yang bertujuan untuk menginformasikan, meyakinkan dan membuat pappaseng yang dituturkan menarik perhatian agar pendengar mau lebih mempelajari petuah tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan.

Untuk pengaplikasian pappaseng itu sendiri sebagai wujud pelestarian terhadap budaya kita. Selain itu, pappaseng dapat dijadikan sebagai pedoman dalam meningkatkan moralitas suatu bangsa karena didalamnya banyak sekali terkandung nilai kehidupan. Sebagai generasi muda kita dapat mempelajari lebih dalam mengenai petuah maupun pesan leluhur kita untuk diajarkan kepada anak cucu kita nantinya agar pappaseng tersebut tidak mengalami pergeseran budaya.

Oleh karena itu, Sebagai generasi milenial kita harus menjunjung tinggi budaya pappaseng sebagai warisan leluhur kita yang saat ini eksistensi penggunaannya dalam masyarakat terkhususnya suku Bugis telah mengalami penurunan yang mengakibatkan generasi muda semakin jauh dari budayanya sendiri. Dengan menjadikan pappaseng sebagai acuan dalam bertidak akan menjadikan kita sebagai generasi milenial yang berkarakter. Karena itu kita harus menjaga dan melestarikan pappaseng sebagai petuah warisan leluhur dalam menjalankan hidup agar tetap bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya, kekinian boleh asalkan tidak melupakan warisan leluhur karena generasi yang berkualitas adalah generasi yang melestarikan budayanya.

Berita dengan Judul: Retorika Pelestarian Pappaseng Pada Generasi Milenial pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com oleh Reporter : REDAKSI