Pada akhir Februari 2021, majalah Bloomberg Businessweek menerbitkan laporan mendalam tentang perilaku sneakerheads yang memborong sepatu edisi terbatas untuk dijual kembali. Sebutan “sneakerhead” rasanya kurang tepat buat mereka, karena orang macam ini melihat koleksi sepatu sebagai peluang bisnis belaka. Mereka adalah reseller, tak lebih dan tak kurang.
Artikel ini menandai transformasi yang telah berlangsung lama di komunitas sneakerhead. Pada dasarnya, mengoleksi sneaker adalah kombinasi dari budaya pop dan kapitalisme. Tapi begitu pembelian sneakers berfokus pada fungsinya sebagai “aset investasi”, menurut Bloomberg, reseller akan mengambil bagian di dalamnya — tanpa benar-benar mengindahkan budaya yang melekat. Sebagian besar hanya peduli dengan keuntungan saja sekarang.
Artikelnya berpusat pada Joe Hebert, lelaki 19 tahun asal Portlandia yang berhenti kuliah untuk menekuni bisnis jual beli sneakers populer macam Air Jordan. Joe bekerja sama dengan anggota “cook group”, saluran pribadi sneakerhead yang menggunakan skrip otomatis atau “bot” dan info orang dalam untuk mengamankan sepatu edisi terbatas, khususnya pada hari peluncuran perdana.
Dengan bantuan bot komputer, Hebert mampu membeli sekian pasang sneaker Yeezy eksklusif senilai US$132 ribu (setara Rp1,89 miliar). Bloomberg mengungkapkan, dia membayar pakai kartu American Express sang ibu, Ann Hebert, yang kebetulan sudah 25 tahun menjabat sebagai pejabat eksekutif Nike. Ibunya bertanggung jawab memasarkan produk Nike langsung ke konsumen. Juru bicara Nike bersikeras Ann telah membuat pengakuan yang diperlukan tentang bisnis anaknya, West Coast Streetwear, pada 2018. Namun, dia mundur dari jabatannya lima hari setelah artikel Bloomberg terbit.
Komunitas sneakerhead tidak terkejut sama sekali dengan berita ini. “Begitu sneakers menjadi bagian besar dari budaya pop, kaum oportunis pasti merasa terpanggil jiwa bisnisnya—begitu mereka menyebutnya—untuk mencari keuntungan,” tandas Jacques Slade, mantan penulis yang rutin membahas segala sesuatu tentang sneaker. Pada 2013, dia membuat kanal YouTube seputar dunia sepatu yang sekarang memiliki 1,3 juta subscriber. “Sneaker semakin menjadi instrumen investasi. Reseller bukanlah hal baru [dalam dunia persepatuan].”
Jacques berujar, profesi reseller yang dulu dianggap sebagai aib di mata para kolektor, kini malah diagung-agungkan. “Ada daya tarik sosial untuk menjadi reseller barang yang sulit dicari.” Baginya, sosok Joe dalam laporan Bloomberg merupakan “gambaran sempurna dari apa yang orang pikirkan tentang reseller. Dia anak orang kaya yang ikut-ikutan jual beli sepatu hanya untuk menghasilkan keuntungan, bukan berpartisipasi dalam budayanya.”
Seperti banyak sneakerhead lainnya, Jacques menentang bisnis reseller. “Saya tidak pernah berpartisipasi atau beli sepatu dari orang-orang sepertinya,” dia melanjutkan. “Ini caraku menentang mereka.”
Sebagai konten kreator, dia merasa bertanggung jawab untuk tidak berurusan dengan reseller. “Saya berusaha mengajarkan bahwa kalian tidak perlu sepatu mahal untuk terlihat keren.”
Dia melihat sisi positif dari tereksposnya bisnis reseller sepatu. “Penonton yang lebih luas melihat sisi gelap pasar sneaker, dan bagaimana merek-merek itu berpartisipasi di dalamnya. Itulah yang paling saya hargai dari artikel ini. Laporannya menyoroti apa yang sudah lama terjadi dan sering dibicarakan orang. Tapi sekarang mereka harus menjawab pertanyaan dari orang-orang di luar industri.”
Reseller hanyalah bagian dari ekosistem yang cacat. Bisa dibilang perusahaan sneaker menciptakan dan mengendalikan sendiri kelangkaan atau keterbatasan dari produknya.
“Ini kurang lebih seperti Supreme yang memasok barang dalam jumlah sangat terbatas,” kata Nick Engvall, kreator yang telah berkecimpung di industri sneaker selama lebih dari 15 tahun.
“Isunya bisa membesar seperti ini karena kalian melihat foto [Hebert] membeli sepatu yang tidak tersedia di mana-mana, dalam jumlah yang tidak mungkin bisa diperoleh tanpa bantuan koneksi dekat atau akses langsung ke produk.”
Engvall menebak artikel Bloomberg akan menjadi sorotan negatif terhadap reseller seperti Joe, dan mendorong agar dikoreksi. Dia merujuk pada Adena dan Chad Jones, pendiri marketplace komunitas kulit Hitam Another Lane yang disinggung dalam artikel, sebagai bagian dari gerakan yang menjauhi praktik perampasan uang secara terang-terangan. “Kita akan melihat pergeseran itu, karena artikel macam begini mengangkatnya ke titik di mana orang ingin menjauhi pendekatan berbasis uang,” terangnya.
Agustus lalu, YouTuber dan sneakerhead DJ Willingham mengunjungi gudang Joe untuk mewawancarai dalang di balik West Coast Streetwear. “Saya cuma tahu kalau dia menggunakan bot,” Willingham menjelaskan melalui email. “Saya pertama kali bertemu dengannya di hari syuting. Itu semua hal baru bagiku. Saya datang cuma buat bikin video, tak pernah menyangka akan jadi seperti ini.”
Ketika diwawancarai Willingham, Joe mempromosikan “cook group”-nya sebagai cara untuk berinvestasi. Orang harus membayar US$50 (Rp716 ribu) per bulan jika ingin bergabung sebagai anggota. “Saya rela menghabiskan seluruh uang yang saya punya untuk beli sepatu,” Joe mengklaim.
Bloomberg menggambarkan bisnis sneaker dengan istilah “arbitrase”. Seandainya sepatu adalah saham, maka Joe adalah pemain sahamnya dan sang ibu bekerja di perusahaan saham tersebut. Dalam beberapa kasus, Nike menuntut mantan karyawan yang melancarkan “perdagangan orang dalam” alias menjual sepatu curian. Apabila sneaker adalah instrumen keuangan yang diatur, Joe seharusnya sudah diselidiki Komisi Sekuritas dan Bursa AS.
Follow Ashwin Rodrigues di Twitter.