Kutub Utara dan Kutub Selatan mengalami suhu panas ekstrem pada saat bersamaan.
Dikutip dari akun Twitter peneliti iklim Stefano Di Battista, stasiun penelitian Prancis-Italia Concordia mencatat suhu terpanas di Antartika pada Jumat lalu, mencapai -11,5 derajat Celsius. Washington Post melaporkan suhunya 70 derajat lebih hangat dari rata-rata. Antartika baru memasuki musim dingin, dan biasanya suhu di sana mencapai -50 hingga -60 derajat. Menurut media prakiraan cuaca Capital Weather Gang, suhu mendekati nol atau 10 derajat Celsius menandakan telah terjadi “gelombang panas hebat” di Kutub Selatan.
Anehnya, stasiun cuaca Arktik yang terletak di Norwegia dan Greenland menyaksikan fenomena serupa. Suhu di Kutub Utara 50 derajat lebih hangat daripada biasanya.
“Saya terkejut saat mengetahui suhu Antartika,” ucap Dr. Zachary Labe, peneliti pascadoktoral yang mendalami ilmu atmosfer di Colorado State University, saat dihubungi Motherboard. “Jauh lebih ganjil dan hangat daripada suhu rata-rata di Kutub Utara.”
Di Battista menyebutnya “gelombang panas brutal”. Sementara itu, Dr. Jonathan Wille, peneliti pascadoktoral meteorologi kutub di Université Grenoble Alpes, mengetwit, tren kenaikan suhu ini “seharusnya tak pernah terjadi” di kedua kutub Bumi.
“Gelombang panas Antartika mengubah persepsi kita tentang suhu Antartika selama ini,” terangnya dalam akun Twitter pribadi pada Sabtu lalu.
Profesor geosains University of Massachusetts, Dr. Julie Brigham-Grette, mengaitkan peningkatan suhu dengan gerakan arus jet: arus udara yang mengalir begitu cepat dengan bentuk berkelok-kelok dari barat ke timur. Para ilmuwan telah mengutarakan perubahan iklim dapat mempercepat aliran udara tersebut, sehingga dapat membawa arus udara dingin ke selatan dan arus udara panas ke utara. Brigham-Grette yakin hal ini menyebabkan terjadinya pemanasan suhu di kedua kutub.
“Peningkatan gelombang menunjukkan udara dingin yang jauh lebih ekstrem akan bergerak jauh ke selatan,” terangnya. “Begitu juga dengan udara panas yang berembus jauh ke utara. Seperti itulah yang terjadi di kedua belahan Bumi, yang sedang mengalami suhu ekstrem.”
Brigham-Grette secara spesifik mengatakan, Badai Musim Dingin Quinlan, front udara dingin yang menutupi Pantai Timur AS dengan salju akhir pekan lalu, bergerak ke arah samudra Atlantik Utara dan membawa angin panas ke Arktik pada saat bersamaan.
Saking mengejutkannya tren kenaikan suhu ini, Brigham-Grette sampai tak bisa berhenti mengamati gambar satelit sepanjang akhir pekan kemarin.
Labe berujar, gerakan arus jet membawa serta gumpalan uap air dan panas yang biasa disebut “sungai atmosfer”. Menurutnya, hal ini sering terjadi di Kutub Utara.
“Tapi kali ini sangat tidak biasa,” katanya, memperingatkan kenaikan suhu pada skala ini dapat membawa dampak jangka panjang terhadap ekosistem kutub, terutama jika panasnya sampai melelehkan lapisan es.
Labe yakin suhu Arktik bisa memanas karena perubahan iklim, terlebih lagi peningkatan yang tidak biasa di kedua wilayah sesuai dengan tren di kutub utara. Berdasarkan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal peer-review Geophysical Research Letters pada 2017, kenaikan suhu telah terjadi di wilayah tersebut sejak 1980.
“Ini sejalan dengan gagasan cuaca yang lebih panas dan basah mungkin akan semakin sering terjadi di masa depan akibat perubahan iklim,” simpulnya.