Berita  

Refleksi Dalam Haul Gus Dur Mewujudkan Toleransi  dan Multikulturalisme  Melalui Deklarasi  Desa Damai

refleksi-dalam-haul-gus-dur-mewujudkan-toleransi -dan-multikulturalisme -melalui-deklarasi -desa-damai

Refleksi Dalam Haul Gus Dur Mewujudkan Toleransi  dan Multikulturalisme  Melalui Deklarasi  Desa Damai

LIPUTAN4.COM, Salatiga- Desa Tingkir secara morfologis berada di lenskap berupa bentangan alam diantara gugusan kaki Gunung Merbabu, kaki gunung Gajah Mungkur maupun kaki gunung Telomoyo. Tingkir termasuk daerah dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 450−825 dpl, sehingga memiliki iklim tropis, dengan suhu yang sejuk dan udara yang segar.


Tingkir saat ini secara administratif merupakan wilayah kecamatan di Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah yang membawahi 7 kelurahan administratif. Tingkir merupakan pintu masuk menuju kota Salatiga karena Terminal Bus maupun Gerbang Tol Salatiga berada di Tingkir.

Tingkir sudah mulai dikenal sejak abad XIV dimasa transisi Majapahit menuju Demak Bintoro. Kisah hidup Ki Ageng Tingkir dan Mas Karebet yang kelak populer dengan nama Joko Tingkir adalah salah satu rentetan kisah legendaris tentang wilayah yang di sebut Tingkir.

Runtuhnya Kraton Mataram Islam di Plered pada akhir Juni 1677 oleh Sinuwun Amangkurat II membuat keputusan untuk membuat kraton baru. Konon wilyah Tingkir disebut sebut sebagai alternatif tempat pembangunan kraton pengganti Kraton Plered meski kemudian pilihan jatuh di tanah Kartosuro.

Setelah Kraton Kartosuro berdiri namun dalam babak berikutnya juga berlangsung kisah dramatis “geger pacinan” yang mampu meruntuhkan Keraton Kartasura pada 1742. Geger Pacinan sendiri merupakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning (Sunan Amangkurat V). Karena Kraton Kartosuro berhasil dirobohkan maka telah menjadikan Kraton tersebut dianggap sudah tidak layak lagi sebagai kedaton. Dikisahkan Susuhan Pakubuwono II sebelum benar benar menjatuhkan pilihan pembangunan Kraton di Desa Sala pada 1744 Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Desa Tingkir juga disebut sebut menjadi alternatif pilihan lokasi pembangunan Kraton pengganti Kraton Kartosuro.

Refleksi Dalam Haul Gus Dur Mewujudkan Toleransi  dan Multikulturalisme  Melalui Deklarasi  Desa Damai

Tingkir adalah salah satu tempat yang cukup istimewa karena banyak tokoh tokoh besar muncul, sebut saja ada Prabu Sanjaya Raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (Mataram Kuno) yang memerintah dari tahun 732 – 760 Masehi yang dikisahkan telah muksa di umbul Senjaya yang airnya mengalir di setiap sudut Desa Tingkir. Tokoh Ki Ageng Tingkir, Joko Tingkir hingga pada periode periode berikutnya muncul banyak tokoh Kyai Ulama berada di Tingkir – baik yang terkait dengan pergolakan di Mataram dalam episode Perjanjian Giyanti (1755), Perjanjian Salatiga (1757) maupun terkait dalam perang Jawa (1825 – 1830).

Di Tanah Tingkir muncul banyak tokoh ulama yang ditandai dengan adanya makam Mbah Abdul Wahid (Kakek Canggah Gus Dur/Presiden RI ke 4). Kemudian juga ada makam Syekh Abidzarin, Ki Ageng Tingkir, Kyai Abdus Shomad, Kyai Dardiri, Kyai Khumaidi, Kyai Sholeh, Kyai Umar Fatah, Kyai Kurdi, Kyai Jupri, Kyai Abdan, Kyai Asmui, Kyai Muhtasip, Kyai Fadlun Nafar, Kyai Maliki Jufri dan masih mungkin banyak makam ulama lain yang belum bisa teridentifikasi.

Tingkir ketika susunan puzlenya dapat tersusun secara tepat maka akan terbentuk cermin piramida peradaban adiluhung yang dalam terminologi modern salah satu diantaranya adalah toleransi dan multikulturalisme.

Tingkir dalam rekam jejak masa lalu telah menampilkan keteladanan para Kyai – Ulama yang terbingkai melalui keteladanan sikap – perilaku masyarakat untuk dapat hidup harmoni berdampingan diantara perbedaan keyakinan, ras, suku dan antar golongan. Melestarikan sikap toleransi masyarakat menjadi sebuah keharusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, oleh karena itu di Kelurahan Tingkir Lor, Kota Salatiga telah dideklarasikan sebagai Desa Damai yang dilakukan oleh Mbak Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid (Putri Sulung KH. Abdurahman Wahid/ Gus Dur) selaku Direktur The Wahid Institute pada Rabu 12 Januari 2022.

Melalui prakarsa The Wahid Institute maka diharapkan Kelurahan Tingkir Lor, Salatiga menjadi salah satu kelurahan yang masyarakatnya mampu menjadi teladan dan sumber inspirasi atas hal sikap dan perilaku toleran dalam kehidupan sosial yang penuh kedamaian.

Sebagaimana telah disebutkan diatas jika di tanah Tingkir ada jejak leluhur Gus Dur (Mbah Abdul Wahid) – terkait dengan ini bukan asal kebetulan jika The Wahid Institute memprakarsai Desa Damai di Tingkir Lor sebab The Wahid Institute sendiri memiliki program untuk dapat meneruskan apa yang selama ini Gus Dur perjuangkan yaitu pemikiran Islam yang moderat – progresif untuk dapat mendorong terciptanya Demokrasi, muktikilturalisme, toleransi, kesejahteraan dan perdamaian di Indonesia dan seluruh dunia.

Meneladani kisah hidup Gus Dur maka kita akan tertampar kesadaran jika segala kegeniusan Gus Dur yang menampilkan cara berfikir yang komplek dan bervisi kedepan. Hal diimplementasikan bukan dalam bentuk penyampaian yang berapi api apalagi otot ototan. Labirin pemikiran Gus Dur yang komplek tersebut cukup disederhanakan dengan joke joke nan jenaka yang senyatanya adalah sebagai perantara untuk menyampaikan gagasan dan cara pandang atas adanya problematik, hingga akan dapat tertawa gembira ketika sudah melewati segala prosesnya.

Bagi yang sudah memahami maka lelucon bergaya satire yang diterapkan oleh Gus Dur adalah salah satu perangkat sosial yang apabila disampaikan secara tepat dan pada tempatnya maka dapat menjadi pintu keluar dari sudut pandang yang sempit. Karena pada hakikatnya humor dapat membantu orang untuk hidup lebih baik.

Walahhh ngono wae kok mumet..!!
Hi Hi Hi Hi hi Hi Hi
———————————————

Mendengar apa yang disampaikan Mbak Yenny Wahid dalam pidato Deklarasi Desa Damai Tingkir Lor Salatiga berlanjut dereake ziaroh di makam Mbah Wahid (Gantung Siwur – Eyang Ketujuh Mbak Yenny Wahid) maka kembali teringat petuah Gus Dur
“Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya. Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah. Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah marah”

Piye wis do mangan.?
Wk wk wk wk wk wk

Walah hidup sudah repot ngak usah dibuat repot lagi..

———————————————————————————
* Esai ditulis dalam lanjutan Haul Gus Dur – Deklarasi Desa Damai di Tingkir Lor, Kota Salatiga – Jawa Tengah. Oleh Direktur The Wahid Institute Mbak Zannuba Ariffah Chafsoh atau
Yenny Wahid Putri Sulung Gus Dur pada Rabu, 12/01/2022.


Oleh : @ Sofyan Mohammad*
** Penulis adalah anggota NU dan Penggemar Gus Dur sehari hari tinggal di Desa.

Berita dengan Judul: Refleksi Dalam Haul Gus Dur Mewujudkan Toleransi  dan Multikulturalisme  Melalui Deklarasi  Desa Damai pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com oleh Reporter : Jarkoni