“Gak terima orang India dan Bangladesh. Bukan rasis, cuma selera aja.”
Kira-kira begitulah isi biodata yang sering L Sharvesh temukan di aplikasi kencan.
“Saya sudah terbiasa melihat profil yang menyatakan… ‘Saya tidak suka orang India’,” tutur mahasiswa Tamil yang berkuliah di Singapura. Menurutnya, banyak lelaki Tionghoa dan beberapa lelaki Melayu yang mencantumkan “selera” mereka di profilnya.
Sharvesh sudah berulang kali mengalami rasisme seksual sejak mengaku queer pada usia 16. Istilah tersebut mengacu pada hasrat seksual berdasarkan ras. Ada banyak orang seperti dirinya yang merasakan konsekuensi dari tindakan ini.
Sikap antirasisme semakin keras digaungkan dalam setahun terakhir, tapi mirisnya rasisme seksual tak kunjung menghilang. Bagi orang Asia, colorism (politik warna kulit) dan stereotip negatif terhadap negara Asia tertentu telah memengaruhi tipe pasangan ideal mereka.
Sharvesh merupakan salah satu pendiri Minority Voices, inisiatif online yang menyoroti diskriminasi terhadap kelompok terpinggirkan di Singapura. Standar kecantikan yang ditentukan oleh warna kulit masih lazim di sana. Kulit cerah jauh lebih disukai daripada yang gelap.
“Colorism berperan besar dalam pencarian pasangan,” ujar lelaki 24 tahun tersebut. “Ini tak hanya terjadi antara orang Tionghoa dan etnis minoritas, tetapi juga dalam kelompok etnis minoritas itu sendiri. Banyak lelaki India yang lebih menyukai orang India berkulit putih atau India utara karena warna kulit mereka.”
Diskriminasi rasial sulit untuk dihindari bahkan di dunia kencan sekali pun. Sikap ini telah dijelaskan dalam studi komunitas gay di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, Australia, Jepang dan Singapura. Di aplikasi kencan gay, ras tertentu dikecualikan karena pengguna dengan gamblang mengekspresikan ketidaksukaan mereka pada etnis minoritas.
Namun, masalah ini tidak memandang jenis kelamin, seksualitas dan negara. Tingkat pernikahan antar ras terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, tetapi kenaikannya tidak signifikan. 17 persen pasangan di Amerika menikah dengan ras berbeda pada 2015, peningkatan yang signifikan dari tiga persen pada 1967. Pada 2017, 22 persen pernikahan di Singapura terjadi antar-etnis, dibandingkan dengan enam persen pada 1984.
“Saya sempat berpacaran dengan perempuan Tionghoa dan kami tidak bisa gandengan sama sekali di tempat umum karena takut ketahuan orang tua kalau dia berpacaran dengan orang India,” ungkap penulis India-Singapura yang meminta agar namanya dirahasiakan.
Ryan Wade, asisten profesor pekerjaan sosial University of Illinois, menjelaskan rasisme seksual dalam hubungan percintaan memiliki berbagai wujud, seperti penolakan atau fetish suatu ras, serta penghinaan eksplisit terhadap kelompok ras atau etnis. Objektifikasi ini dapat ditemukan baik dalam hubungan kasual maupun serius.
“Dinamika rasial mungkin saja diekspresikan atau diberlakukan begitu hubungannya terjalin,” Wade menambahkan.
Fetish orang Asia menjadi yang paling sering dihadapi perempuan Asia, khususnya bagi mereka yang termasuk minoritas di tempat tinggalnya. Emery Thanathiti tinggal di Portland, dan orang-orang sering merendahkan statusnya sebagai keturunan Tionghoa-Thailand. Komentar semacam “Biasa dibayar berapa?” atau “Yakin kamu bukan bencong?” sudah tidak asing di telinganya.
“Saya sering dianggap PSK karena saya orang Thailand,” Thanathiti memberi tahu VICE. “Bahkan ada yang bilang saya memenuhi ‘yellow fever’ [fetish orang Asia] mereka setelah kami kencan.” Dari situlah dia menyadari bahwa sebagian besar orang yang dia kencani — termasuk pacar-pacarnya dulu — memiliki fetish orang Asia.
Thanathiti pun mempertanyakan diri sendiri, apakah ada seseorang yang benar-benar mencintainya.
“Saya jadi kepikiran, jangan-jangan mereka punya ‘yellow fever’? Apakah mereka beneran tertarik dengan budaya Asia, terutama karena suka anime?” tanyanya. “Atau mereka cuma melihat saya sebagai cewek anime?”
Fetish sulit diidentifikasi, bahkan bagi perempuan yang menjadi subjek objektifikasi tersebut.
“Rasisme seksual terhadap perempuan Asia cukup membingungkan. Banyak komentar disalahartikan sebagai pujian… dan terkadang, saya termakan ‘pujian’ ini,” kata Sharon Jiang, keturunan Tionghoa yang tinggal di Australia.
Apa yang dianggap pujian sebenarnya merupakan sikap “membedakan” perempuan Asia yang kerap difantasikan sebagai tunduk dan patuh.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa orang Asia sendiri suka membeda-bedakan ras atau kelompok etnis lain.
“Belum banyak yang membahas bagaimana rasisme seksual juga bisa berbentuk ‘prasangka diri’ seksual. Orang kulit berwarna percaya warna kulit mereka tidak menarik, sehingga mereka enggan berkencan dengan orang kulit berwarna lain,” terang Gene Lim, kandidat doktor sosiologi La Trobe University di Australia.
Jiang mengaku pernah melakukan ini. Konsep hierarki rasial telah tertanam kuat dalam dirinya, bahwa memiliki pasangan kulit putih merupakan sebuah kesuksesan sosial. Dengan begini, orang Asia bisa memperbaiki keturunan.
“[Sebagai orang yang] besar di Australia, ada kalanya saya percaya mengencani orang Anglo jauh lebih menarik daripada ras lain. Saya mengira hal itu menggambarkan keberhasilan saya, seorang imigran Tiongkok, menyesuaikan diri dengan budaya Australia,” tutur Jiang.
Jiang menyiarkan Crazy Biatch Asians, podcast tentang orang Asia di Barat, bersama Juna Xu. Temannya itu memiliki sentimen serupa.
“Saya yakin akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan standar Barat dan menyembunyikan keturunan Asia saya jika menjalin hubungan selain dengan orang Asia dan yang menggambarkan cowok ideal,” Xu berujar.
Lim menyebut penggambaran orang Asia di media mainstream dan pornografi sebagai pendorong besar rasisme seksual.
“Seperti yang kita ketahui, orang cenderung membentuk ketertarikan seksual pada hal-hal yang familiar,” kata Lim, menambahkan pemisahan rasial di dunia kerja dan kehidupan santai membuat rasisme seksual “tak terhindarkan”.
Lim menegaskan pembentukan alami stereotip rasial tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menggeneralisasi seluruh etnis dalam hal ketertarikan seksual dan percintaan.
“Jika kita berinteraksi dengan manusia layaknya mereka hanyalah sebuah karakter, kita akhirnya mereduksi manusia menjadi karikatur yang diputuskan sebagai ‘fuckable’ atau ‘un-fuckable’. Ini tidak manusiawi dan reduktif,” dia melanjutkan.
Namun, sejumlah orang bersikeras mereka tidak bias terhadap ras tertentu. Mereka mengklaim hanya punya preferensi pribadi, seperti yang diperhatikan oleh Sharvesh.
“Orang suka menggunakan istilah preferensi atau mengatakan ada perbedaan budaya, tapi saya tidak setuju,” Sharvesh mengutarakan. “Ada alasan kenapa orang bilang tidak tertarik dengan etnis [tertentu]. Itu karena stereotip negatif tentang ras tersebut dan prasangka yang diyakini oleh mereka.”
“Bagian paling menarik dari topik ini adalah cara seseorang memandang ras sebagai masalah publik berbeda dengan bagaimana ras beroperasi dalam kehidupan pribadi. Orang yang progresif tentang kebrutalan polisi dan diskriminasi rasial masih sangat mungkin memiliki preferensi ras dalam hubungan percintaan,” Ken-Hou Lin, penulis buku The Dating Divide: Race and Desire in the Era of Online Romance, mengungkapkan. “Kita cenderung tidak berpikir keputusan pribadi juga bersifat politis, dan lebih mudah mengidentifikasi ketidakadilan rasial di masyarakat daripada dalam diri sendiri.”
Setelah kematian George Floyd memicu aksi solidaritas Black Lives Matter besar-besaran tahun lalu, sejumlah aplikasi kencan berjanji akan menghapus filter etnis dari platform mereka. Akan tetapi, dunia kencan online masih saja menjadi sarang diskriminasi rasial.
Tinder dan Bumble tidak memiliki kolom etnis, dan memberi tahu VICE melalui email bahwa kedua aplikasi ini tidak mengumpulkan informasi terkait ras pengguna. Namun, tak sedikit pengguna yang menyatakan preferensi ras mereka di biodata. Grindr dan OkCupid belum menghapus kolom etnis, dan tidak menanggapi email kami.
Meskipun rasisme telah merasuki percintaan dan hasrat seksual kita, Lim berpendapat individu masih bisa mengubah narasinya.
“Kita tidak memilih pesan yang tertanam dalam diri,” terangnya. “Tapi kita bisa memilih untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dengan mengakui bias rasis pribadi dan secara aktif menantangnya. Jangan sampai itu memengaruhi perlakuan kita terhadap manusia lain.”
Follow Koh Ewe di Instagram.